Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.
Kajian Ramadhan.
Kajian Kelima Belas.
Syarat Batalnya Puasa dan Hal-hal yang Dibolehkan bagi Orang yang Berpuasa (3).
Syarat ketiga, sengaja.
Maksudnya, ia melakukan hal yang membatalkan puasa di atas dalam keadaan sadar dan disengaja berdasarkan kehendaknya. Jika ia makan dalam keadaan dipaksa, maka puasanya tetap sah, dan ia tidak punya kewajiban untuk mengqadha. Sebab, Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah mengangkat hukum dari orang yang kufur sekalipun jika dalam keadaan dipaksa, asalkan hatinya tetap beriman. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar." (Qur-an Surat an-Nahl (16): ayat 106)
Jika Allah berkenan mengangkat hukum kufur dari orang yang dipaksa untuk kufur, maka untuk perkara yang lebih rendah lagi tentunya lebih tidak menjadi persoalan. Di samping itu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam juga bersabda:
"Sesungguhnya Allah memaafkan dari ummatku ketersalahan, lupa dan sesuatu yang dipaksakan terhadap mereka." (Hadits Riwayat Imam Ibnu Majah dan Imam al-Baihaqi serta dihasankan oleh Imam an-Nawawi)
Maka jikalau ada seseorang yang memaksa isterinya untuk melayaninya bersetubuh sedangkan wanita itu sedang berpuasa, maka puasanya tetap sah. Kecuali jika puasa yang dikerjakannya adalah puasa sunnah tanpa izin suaminya, sedangkan sang suami ada di rumah. Jika misalnya ada debu yang terbang lalu masuk ke dalam perut orang yang sedang berpuasa, atau jika ada sesuatu yang masuk ke dalam perutnya tanpa ia sengaja, atau jika ia berkumur atau beristinsyaq (menghirup air dengan hidung) dan kemudian air itu masuk ke dalam perutnya tanpa ia sengaja, maka puasanya tetap sah, dan ia tidak berkewajiban untuk mengqadhanya.
Puasanya seseorang tidaklah batal jika ia mengenakan celak atau obat mata, sekalipun ia merasakan adanya rasa di tenggorokannya. Sebab, hal itu tidak bisa dikatakan makan atau minum atau sesuatu yang semakna dengan keduanya. Puasanya juga tidak batal karena meneteskan obat pada hidungnya, atau meletakkan obat pada bagian tubuh yang luka, sekalipun ia merasakan rasa obat itu di tenggorokannya. Sebab, hal itu tidak bisa dikatakan sebagai makan dan minum atau sesuatu yang semakna dengan keduanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam risalah Haqiqatush Shiyam mengatakan: "Kami mengetahui bahwa di dalam Kitab dan Sunnah tidak ada sesuatu yang menunjukkan batalnya puasa oleh sebab-sebab seperti ini. Dengan demikian, kami berpendapat bahwa ini semua tidak bisa membatalkan puasa." Beliau selanjutnya mengatakan: "Puasa merupakan bagian dari ajaran agama kaum muslimin yang perlu dimengerti oleh kalangan khusus (orang 'alim) maupun awam. Jika hal-hal seperti termasuk bagian yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya dalam puasa dan menyebabkan rusaknya puasa seseorang, maka sudah tentu hal ini wajib dijelaskan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam (dan ternyata tidak). Seandainya hal itu disebutkan dalam hadits, maka para shahabat radhiyallaahu 'anhum tentu mengetahui dan kemudian menyampaikannya kepada ummat sebagaimana mereka telah menyampaikan seluruh syari'at lainnya. Mengingat bahwa tidak ada seorang 'ulama pun yang membawakan riwayat mengenai hal itu dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, baik melalui hadits yang shahih, atau dha'if, atau musnad, atau mursal, maka dapat diketahui bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan hal itu sama sekali. Hadits yang diriwayatkan mengenai pemakaian celak, yaitu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengatakan: "Hendaklah orang yang berpuasa itu berhati-hati dari mengenakan celak." Adalah hadits dha'if yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab as-Sunan, dan tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya, Abu Dawud sendiri mengatakan: Yahya bin Ma'in berkata kepadaku bahwa hadits ini munkar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Hukum-hukum yang sangat dibutuhkan oleh ummat untuk diketahui sudah tentu harus dijelaskan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dengan penjelasan secara umum dan juga mesti diriwayatkan oleh ummat Islam (para 'ulama hadits). Jika hal ini tidak ada, maka dapat diketahui bahwa ini bukan merupakan bagian dari agama beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam."
Demikianlah penjelasan yang diberikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah yang merupakan pendapat yang sangat kuat yang didasarkan pada hujjah-hujjah yang jelas serta kaidah-kaidah yang tetap.
Baca selanjutnya: Syarat Batalnya Puasa dan Hal-hal yang Dibolehkan bagi Orang yang Berpuasa (3/2)
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.
===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT