Skip to main content

Keutamaan Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhan (4) | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Kajian Keduapuluh Satu.

Kajian Ramadhan.

Keutamaan Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhan (4).

Diriwayatkan dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata: "Jika Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ingin mengerjakan i'tikaf, maka beliau mengerjakan shalat fajar (Shubuh), kemudian beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masuk ke tempat, i'tikaf." Lantas 'Aisyah meminta izin kepada beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam (untuk turut beri'tikaf), beliau pun mengizinkannya, lalu 'Aisyah mendirikan tenda. Selanjutnya Hafshah radhiyallaahu 'anha meminta kepada 'Aisyah agar memintakan izin untuknya, lalu 'Aisyah melakukannya, dan selanjutnya Hafshah mendirikan tenda. Ketika Zainab radhiyallaahu 'anha melihat hal itu, maka ia pun melakukan hal yang sama. Ketika Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melihat adanya beberapa tenda, maka beliau bersabda: "Apa-apaan ini?!" Orang-orang menjawab: "Ini adalah tenda milik 'Aisyah, Hafshah dan Zainab." Selanjutnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apakah mereka menginginkan kebaikan dengan melakukan hal ini?! Cabut tenda ini, aku tidak mau melihatnya." Akhirnya beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mencabut tenda itu, dan meninggalkan i'tikaf di bulan Ramadhan, sehingga akhirnya beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengganti dengan i'tikaf selama sepuluh hari di bulan Syawwal."
(HR. Ahmad dan at-Tirmidzi serta dishahihkan olehnya)

Yang dimaksud dengan i'tikaf adalah memutus hubungan dengan manusia lain untuk memfokuskan diri sepenuhnya untuk melakukan ketaatan (beribadah) di dalam masjid demi mencari keutamaan dan pahalanya, serta demi mendapatkan Lailatul Qadr. Oleh karena itu hendaknya orang yang beri'tikaf menyibukkan diri dengan berdzikir, membaca al-Qur-an, shalat, dan ibadah-ibadah yang lain. Di samping itu juga, ia harus menjauhi segala sesuatu yang tidak berguna yang berupa pembicaraan mengenai masalah keduniaan. Tapi tidak mengapa jika berbicara sedikit saja mengenai hal yang mubah dengan keluarganya atau orang lain untuk suatu kemaslahatan. Ini didasarkan pada hadits Shafiyah Ummul Mukminin radhiyallaahu 'anha bahwa ia berkata:

"Ketika Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang melakukan i'tikaf, aku datang mengunjunginya pada malam hari, lalu aku berbicara kepad beliau kemudian aku bangun untuk beranjak pergi, dan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun turut berdiri menyertaiku."
(Mutafaq 'alaih)

Orang yang sedang i'tikaf diharamkan berjima' dan melakukan hal-hal yang menjadi pengantar jima', seperti mengecup dan menyentuh dengan syahwat. Dasarnya adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid." (QS. Al-Baqarah (2): 187)

Adapun mengeluarkan sebagian anggota badan keluar masjid, maka tidak mengapa. Dasarnya adalah hadits 'Aisyah bahwa ia berkata:

"Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengeluarkan kepalanya dari masjid, sedangkan beliau ketika itu sedang beri'tikaf, lalu aku bersihkan kepala beliau padahal aku sedang haidh." (HR. Al-Bukhari)

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Aisyah pernah menyisir rambut beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, padahal ketika itu 'Aisyah sedang haidh, sedangkan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang beri'tikaf di masjid. Ketika itu 'Aisyah berada di biliknya, sementara Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjulurkan kepada beliau kepada 'Aisyah."

Namun jika yang keluar masjid itu adalah seluruh anggota badannya, maka dalam hal ini ada beberapa kategori:

Pertama, keluar masjid untuk kepentingan yang harus dilakukan, baik secara alami maupun syar'i, seperti buang hajat, wudhu' wajib (ketika hendak shalat), mandi wajib karena junub atau sebab lainnya, makan dan minum. Yang demikian ini adalah boleh jika hal itu tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Akan tetapi jika kesemuanya itu bisa dilakukan di dalam masjid, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan. Misalnya jika di dalam masjid ada toilet dan kamar mandi, yang memungkinkan bagi setiap orang untuk memenuhi hajatnya dan bisa mandi di sana, atau ada orang yang membawakan makanan dan minuman. Dalam keadaan seperti ini ia tidak boleh keluar dari masjid karena tidak ada kepentingan lagi untuk itu.

Kedua, keluar dari masjid untuk melakukan amal ketaatan yang tidak wajib atasnya, seperti mengunjungi orang sakit, menghadiri jenazah dan semisalnya. Hal semacam ini tidak boleh mereka lakukan, kecuali jika sejak awal i'tikafnya ia memang mensyaratkan seperti itu. Umpamanya ia punya keluarga yang sedang sakit yang wajib ia jenguk atau khawatir bila ia meninggal, lalu ia mensyaratkan sejak awal i'tikafnya bahwa ia akan keluar dari masjid untuk kepentingan itu. Jika keadaannya seperti ini, maka tidak mengapa jika ia keluar dari masjid untuk kepentingan tersebut.

Ketiga, keluar dari masjid untuk urusan yang menafikan i'tikaf itu sendiri, seperti keluar untuk berdagang, untuk berjima' dengan isteri-isterinya atau untuk bercumbu dengan mereka dan semisalnya. Hal semacam ini tidak boleh mereka lakukan, baik dengan syarat sebelumnya maupun tidak. Sebab, ini semua membatalkan i'tikaf dan menafikan maksud dari i'tikaf itu sendiri.

Di antara keistimewaan lain dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini adalah bahwa di dalamnya terdapat Lailatul Qadr yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Karena itu ketahuilah bahwa sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan ini mempunyai keutamaan yang sangat besar, sehingga jangan sampai kalian menyia-nyiakannya. Waktunya sangat berharga dan kebaikannya sangat nyata.

Ya Allah, tunjukkan kami kepada sesuatu yang memberikan kebaikan bagi agama dan dunia kami, jadikanlah kesudahan itu baik, dan muliakanlah hunian kami. Berilah kami ampunan, juga kedua orang tua kami, dan seluruh kaum muslimin dengan rahmat-Mu, wahai Dzat sebaik-baik pemberi rahmat.

Semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, serta kepada keluarga dan para Shahabat seluruhnya.
===

Maraji'/ sumber:
Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog