Skip to main content

Syarat Batalnya Puasa dan Hal-hal yang Dibolehkan bagi Orang yang Berpuasa | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Kajian Ramadhan.

Kajian Kelima Belas.

Syarat Batalnya Puasa dan Hal-hal yang Dibolehkan bagi Orang yang Berpuasa.

Segala puji bagi Allah yang Maha Bijaksana, Maha Pencipta, Mahaagung, Maha Penyantun, Maha Benar, Maha Penyayang, Mahamulia, dan Maha Pemberi rezeki. Ia telah mengangkat tujuh langit tanpa penyangga, meneguhkan bumi dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi, mengenalkan kepada makhluk-Nya dengan berbagai bukti nyata, menjamin rezeki kepada semua makhluk, menciptakan manusia dari air yang menyembur lalu membuatkan syari'at untuknya untuk menyambung hubungan serta memberikan maaf kepadanya atas kesalahan dan kelupaan dalam hal yang tidak sejalan dengannya.

Aku memuji Allah selamanya, dan aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali hanya Allah yang tak bersekutu dengan persaksian orang yang ikhlas dan bukan sperti persaksian orang munafik. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang membawa dakwah ke seluruh penjuru yang dekat maupun yang jauh.

Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan kedamaian kepada Nabi Muhammad, kepada shahabat dekat beliau, Abu Bakar, yang telah melawan kaum murtad dengan gigih, kepada 'Umar yang membuat pusing orang-orang kafir serta yang telah membuka berbagai pintu yang tertutup, kepada 'Utsman, dimana tidak ada yang menghalalkan darahnya kecuali orang yang telah keluar dari agama, kepada 'Ali yang dengan keberaniannya mau menempuh jalan sempit, serta kepada keluarga dan para shahabat beliau yang masing-masing lebih unggul dari kaum selain mereka.

Hal-hal yang membatalkan puasa di atas, selain haidh dan nifas, yaitu jima', keluarnya mani dengan sengaja, makan dan minum serta hal yang semakna dengannya, berbekam serta muntah, tidak membatalkan puasa seseorang kecuali jika dilakukan dalam keadaan mengetahui, ingat dan sengaja. Berikut ini adalah penjelasan mengenai ketiga syarat tersebut:

Syarat pertama, mengetahui.

Jika ia tidak mengetahuinya, maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Dasarnya adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 286). Allah berfirman: "Aku telah mengabulkannya." (34)

Juga firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qur-an Surat al-Ahzab (33): ayat 5)

Ketidaktahuan ini bisa mengenai hukum syar'i, seperti menyangka bahwa sesuatu itu tidak membatalkan puasa sehingga ia melakukannya, atau bisa juga ketidaktahuan mengenai keadaan dan waktu, seperti mengira bahwa fajar belum terbit lalu ia makan, padahal sebenarnya fajar sudah terbit, atau menyangka bahwa matahari sudah terbenam sehingga ia pun berbuka puasa padahal sebenarnya matahari belum terbenam. Hal seperti ini tidak membatalkan puasa.

Dasarnya adalah hadits yang disebutkan dalam kitab Shahihain dari Abi bin Hatim radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata: Ketika turun ayat: "Sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 187), maka aku menyiapkan dua buah ikat kepala, salah satunya berwarna hitam dan satunya lagi berwarna putih. Aku letakkan keduanya di bawah bantal untuk kemudian aku lihat, jika sudah jelas olehku yang putih dari yang hitam, maka aku pun mulai berpuasa. Di pagi harinya aku berangkat menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu aku ceritakan apa yang semalam aku lakukan. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kemudian bersabda: "Sesungguhnya bantalmu tentu sangat lebar jika dikiranya yang dimaksud dengan benang putih dan benang hitam itu adalah bantalmu. Sebenarnya yang dimaksudkan adalah putihnya siang dan hitam (gelap)nya malam.l

Adi masih makan ketika fajar sudah terbit, dan ia belum juga menahan makan minum (mulai berpuasa) sehingga menjadi terlihat dengan jelas baginya kedua benang itu. Namun Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak menyuruhnya untuk mengqadha puasanya, karena apa yang dilakukan oleh Adi adalah karena ketidaktahuannya mengenai hukum.

Dalam kitab Shahih al-Bukhari disebutkan hadits dari Asma binti Abu Bakar radhiyallaahu 'anhuma bahwa ia berkata:

"Kami berbuka di zaman Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika hari sedang mendung, kemudian terbitlah matahari."

Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk mengqadha puasa, karena mereka melakukan hal itu karena ketidaktahuan mereka mengenai waktu. Seandainya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk mengqadhanya, sudah tentu terdapat riwayat mengenai hal itu, karena begitu pentingnya persoalan ini.

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Risalah Haqiqatush Shiyam mengatakan: "Hisyam bin Urwah, salah seorang perawi hadits, meriwayatkan dari ayahnya, yaitu Urwah, bahwa mereka itu tidak diperintah untuk mengqadha puasa."

Akan tetapi jika ia mengetahui bahwa ternyata memang masih siang, dan matahari pun belum terbenam, maka ia harus menahan diri sehingga matahari benar-benar terbenam.

Hal yang sama juga berlaku jika ia makan sesudah terbit matahari dengan keyakinan bahwa fajar belum terbit, lalu sesudah itu ternyata sudah terbit, maka puasanya tetap sah dan tidak ada kewajiban untuk mengqadhanya. Sebab, hal itu dilakukannya karena tidak tahu mengenai waktu. Allah membolehkan makan dan minum serta jima' sehingga jelas bagi seseorang bahwa fajar sudah terbit. Hal mudah yang dibolehkan itu tidak mengharuskan pelakunya untuk mengqadha. Akan tetapi jika ia kemudian tahu, padahal ia sedang makan atau minum, bahwa matahari belum terbenam atau fajar telah terbit, maka ia harus menghentikannya dan mengeluarkan makanan yang sudah ada dalam mulutnya karena sudah tidak ada alasan (udzur) lagi ketika itu.

Baca selanjutnya: Syarat Batalnya Puasa dan Hal-hal yang Dibolehkan bagi Orang yang Berpuasa (2)

===

(34) Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT