Skip to main content

'Umar bin al-Khaththab Menghidupkan Kembali Shalat Tarawih (Berjama'ah) dan Menyuruh Manusia Kala itu Untuk Shalat Sebelas Raka'at | Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah

Shalaatu at-Taraawiihi.

Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.

Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Fasal IV.

'Umar bin al-Khaththab (radhiyallahu 'anhu) Menghidupkan Kembali Shalat Tarawih (Berjama'ah) dan Menyuruh Manusia Kala itu Untuk Shalat Sebelas Raka'at.

Telah kami sebutkan sebelumnya (hal. 4), bahwa semenjak kematian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, para Shahabat radhiyallahu 'anhum terus menjalankan shalat tarawih dengan berpencar-pencar dan bermakmum kepada imam yang berbeda-beda. (29)

Itu terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar (radhiyallahu 'anhuma) dan di awal kekhalifahan 'Umar radhiyallahu 'anhu kemudian akhirnya 'Umar bin al-Khaththab menyatukan mereka untuk bermakmum kepada satu imam. 'Abdurrahman bin 'Abdul Qariy berkata:

"Suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama 'Umar bin al-Khaththab menuju masjid. Ternyata kami dapati manusia berpencar-pencar di sana sini. Ada yang shalat sendirian, ada juga yang shalat mengimami beberapa gelintir orang. Dia berkomentar: '(Demi Allah), seandainya aku kumpulkan orang-orang itu untuk shalat bermakmum kepada satu imam, tentu lebih baik lagi.' Kemudian dia melaksanakan tekadnya, dia mengumpulkan mereka untuk shalat bermakmum kepada Ubay bin Ka'ab radhiyallahu 'anhu." 'Abdurrahman melanjutkan: "Pada malam yang lain, aku kembali keluar bersamanya, ternyata orang-orang sudah sedang shalat bermakmum kepada salah seorang qari' mereka. Diapun berkomentar:

'Sebaik-baik bid'ah, adalah yang seperti ini. Namun mereka yang tidur dahulu (sebelum shalat) lebih utama dari mereka yang shalat sekarang.' Yang dia maksudkan yaitu mereka yang shalat di akhir waktu malam. Sedangkan orang-orang tadi shalat di awal waktu malam."

(Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa' (I: 136-137), demikian juga al-Bukhari (IV: 203), al-Firyabi (II: 73-74: 1-2). Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah (II: 91: 1) dengan lafazh yang mirip, namun tanpa ucapannya: "Sebaik-baiknya bid'ah, ya yang seperti ini." Demikian juga Ibnu Sa'ad (V: 42) dan al-Firyabi dari jalur lain (74: 2) meriwayatkannya dengan lafazh: "Kalau yang seperti ini dianggap bid'ah, maka sungguh satu bid'ah yang amat baik sekali." Para perawinya terpercaya kecuali Naufal bin Iyyas. Imam al-Hafizh mengomentarinya dalam at-Taqrib: "Bisa diterima maksudnya apabila diiringi hadits penguat. Kalau tidak, maka tergolong hadits yang agak lemah." Begitu penjelasannya dalam Mukaddimah buku tersebut.)

Perlu diketahui, bahwa di kalangan para ulama belakangan ini, cukup dikenal penggunaan ucapan 'Umar (radhiyallahu 'anhu) di atas, yaitu ucapannya: "Sebaik-baik bid'ah..." sebagai dalil dalam dua perkara:

Yang pertama: Berjama'ah dalam shalat tarawih adalah bid'ah yang tidak pernah ada di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Persepsi ini jelas amatlah keliru, tidak perlu banyak dikomentari karena sudah demikian jelasnya. Sebagai dalilnya, cukup bagi kita hadits-hadits terdahulu, yaitu yang mengkisahkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan manusia kala itu dalam tiga malam bulan Ramadhan. Kalaupun akhirnya beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) meninggalkan berjama'ah, semata-mata hanya karena takut dianggap wajib.

Yang kedua: Bahwa di antara bid'ah itu ada yang terpuji. Dengan (ucapan 'Umar (radhiyallahu 'anhu)) tadi, mereka mengkhususkan keumuman hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Setiap bid'ah itu sesat." Dan juga hadits-hadits lain yang sejenis. Pendapat ini juga batil, hadits tersebut harus diartikan dengan keumumannya, sebagaimana yang dijelaskan nanti dalam tulisan khusus mengenai bid'ah, insya Allahu Ta'ala. Adapun ucapan 'Umar: "Sebaik-baik bid'ah, adalah yang seperti ini," yang dia maksudkan bukanlah bid'ah dalam pengertian istilah, yang berarti: Mengada-ada dalam menjalankan 'ibadah tanpa tuntunan (dari Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam)). Sebagaimana yang kita tahu, dia tak pernah melakukannya sedikitpun. Bahkan sebaliknya, dia menghidupkan banyak sekali dari Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun yang dia maksudkan dengan bid'ah adalah dalam salah satu pengertiannya menurut bahasa. Yaitu satu kejadian yang baru yang belumlah dikenal sebelum dia perkenalkan. Dan tak diragukan lagi, bahwa tarawih berjama'ah belumlah dikenal dan belum diamalkan semenjak zaman khalifah Abu Bakar (radhiyallahu 'anhu) dan juga di awal-awal kekhalifahan 'Umar sendiri -sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya-. Dalam pengertian begini, ia memang bid'ah. Namun dalam kacamata pengertian bahwa ia sesuai dengan perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia adalah sunnah, bukannya bid'ah. Hanya dengan alasan itulah dia memberikan tambahan kata "baik". Pengertian seperti inilah yang dipegang oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti) dalam menafsirkan ucapan 'Umar tadi. 'Abdul Wahhab as-Subki dalam Isyraqul Mashabiih fi Shalati at-Tarawih yang berupa kumpulan fatwa (I: 168) menyatakan:

"Ibnu 'Abdil Barr berkata: 'Dalam hal itu 'Umar (radhiyallahu 'anhu) tidak sedikitpun membuat-buat sesuatu melainkan sekedar menjalani apa yang disunnahkan, disukai dan diridhai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dimana yang menghalangi beliau shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melakukan secara kontinyu semata-mata karena takut dianggap wajib atas ummatnya. Sedangkan beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah orang yang pengasih lagi pemurah terhadap ummatnya. Tatkala 'Umar mengetahui alasan itu dari Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam), sementara ia mengerti bahwa amalan-amalan yang wajib tak akan bertambah ataupun berkurang lagi sesudah kematian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia pun mulai menghidupkannya dan menyuruh manusia untuk melakukannya. Kejadian itu berlangsung pada tahun 14 Hijrah. Itu adalah keutamaan yang Allah simpan lalu diperuntukkan baginya radhiyallahu 'anhu. Yang mana Abu Bakar (radhiyallahu 'anhu) sekalipun tak pernah terinspirasi untuk melakukannya. Meskipun, ia lebih utama dan lebih segera melakukan kebaikan -secara umum- daripada 'Umar. Akan tetapi masing-masing dari keduanya dianugerahi Allah keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki yang lainnya." As-Subki menyatakan:

"Kalau melakukan tarawih berjama'ah itu tidaklah memiliki tuntunan, tentu ia termasuk bid'ah yang tercela, sebagaimana shalat sunnah hajat di malam Nishfu Sya'ban, atau di jum'at pertama bulan Rajab. Itu harus diingkari dan jelas kebatilannya (yakni kebatilan pendapat yang mengingkari bolehnya shalat tarawih berjama'ah). Dan kebatilan perkara tersebut merupakan pengertian yang sudah baku dalam pandangan Islam."

Al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami di dalam fatwa yang ditulisnya menyatakan:

"Mengeluarkan orang-orang yahudi dari semenanjung jazirah Arab, dan memerangi Turki (konstantinopel, -pent) adalah perbuatan yang dilakukan berdasarkan perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidka termasuk kategori bid'ah, meskipun belum pernah dilakukan di masa hidup beliau. Sedangkan ucapan 'Umar (radhiyallahu 'anhu) berkenaan dengan tarawih: 'Sebaik-baiknya bid'ah..." yang dimaksud adalah bid'ah secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebelumnya, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala:

'Katakanlah: Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul...' (QS. Al-Ahqaf: 9)

Jadi yang dimaksud bukanlah bid'ah secara istilah. Karena bid'ah secara istilah menurut syari'at adalah sesat, sebagaimana yang ditegaskan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun sebagian ulama yang membaginya menjadi bid'ah yang baik dan tidak baik, sesungguhnya yang mereka bagi hanyalah bid'ah menurut bahasa. Sedangkan orang yang mengatakan setiap bid'ah itu sesat, maksudnya adalah bid'ah menurut istilah. Bukankah kita mengetahui bahwa para Shahabat radhiyallahu 'anhum dan juga para Tabi'in yang mengikuti mereka dengan kebaikan juga menyalahi adzan pada selain shalat yang lima waktu misalnya shalat dua Hari 'Ied, padahal tidak ada larangannya (secara khusus). Mereka juga menganggap makruh mencium dua rukun Syami (di Masjid al-Haram), atau shalat seusai bersa'i antara Shafa dan Marwah yang dikiaskan dengan shalat seusai berthawaf. Demikian juga halnya segala yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sementara itu mungkin dilakukan, maka meninggalkan amalan itu menjadi sunnah, sementara mengamalkannya menjadi bid'ah yang tercela. Maka seperti: Mengusir orang-orang yahudi dari tanah Arab dan mengumpulkan al-Qur-an dalam satu mushhaf, tidaklah masuk dalam konteks pembicaraan kita tentang "yang mungkin" dikerjakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di masa hidupnya. Segala yang ditinggalkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena adanya penghalang seperti shalat tarawih berjama'ah misalnya, maka apabila ada kemungkinan yang pasti (30), berarti hilanglah penghalang yang ada tersebut. (31)

===

(29) [Aku katakan: "Demikianlah kondisi yang terjadi di masa hidup Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu beliau mengimami mereka selama tiga malam. Kemudian beliau meninggalkannya karena takut dianggap wajib atas mereka sebagaimana hadits 'Aisyah (radhiyallahu 'anhuma) terdahulu (hal. 11-12). Sehingga kembalilah kaum muslimin kepada kebiasaan semula, hingga 'Umar (radhiyallahu 'anhu) mengumpulkan mereka. Semoga Allah mengganjarnya dengan kebaikan atas jasanya terhadap Islam. Ibnu at-Tiien dan yang lainnya berkata: 'Umar bin al-Khaththab mengambil kesimpulan, dengan ketetapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam akan keabsahan shalat orang-orang yang bermakmum kepada beliau pada beberapa malam itu. Kalaupun ada yang beliau benci, hanya sebatas karena beliau khawatir akhirnya menjadi wajib atas mereka. Inilah yang menjadi rahasia kenapa al-Bukhari mengutip hadits 'Aisyah yang terdahulu sesudah hadits 'Umar. Setelah Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) meninggal, kekhawatiran itu sudah tidak berlaku lagi. 'Umar lebih mengutamakan kesimpulan demikian, karena berpencar-pencarnya kaum muslimin dapat menimbulkan perpecahan. Dan juga karena berjama'ah dengan satu imam itu lebih membawa semangat bagi banyak orang yang shalat... dan terhadap ucapan 'Umar itu, mayoritas ummat lebih cenderung..." (Fathul Bari IV: 203-204)]

(30) [Yang dimaksud dengan kemungkinan yang pasti: Adalah ketidakadaan penghalang itu sendiri. Contohnya Shalat Tarawih berjama'ah. Kemungkinan untuk melaksanakan perbuatan itu ada di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi ada penghalangnya, yaitu takut dianggap wajib. Maka pada saat itu kemungkinannya tidaklah pasti.]

(31) [Lihat al-Ibda' fi Mudhaaril Ibtida (hal. 22-24)].

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shalaatu at-Taraawiihi, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, Tanpa keterangan penerbit, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun, Judul terjemahan: Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Abu Umar Basyir al-Maidani, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan IV, Nopember 2000 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT