Skip to main content

Kemudian Meneruskan Puasa Sampai Malam Hari | Waktu Puasa | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kesembilan.

Waktu Puasa.

3. Kemudian Meneruskan Puasa Sampai Malam Hari.

Jika malam telah datang dari arah timur dan siang pergi dari arah barat serta matahari pun telah terbenam maka dipersilahkan bagi orang yang berpuasa untuk berbuka.

Dari 'Umar radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Jika malam telah datang dari arah sini dan siang telah berlalu dari arah sini serta matahari pun telah terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka." (55)

Dan itu berlangsung tepat setelah bulatan matahari terbenam, sekalipun sinarnya masih tampak. Salah satu petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika beliau tengah berpuasa, dimana beliau memerintahkan seseorang untuk memantau (melihat) sesuatu (matahari), dan jika dia mengatakan, "Matahari telah terbenam," maka beliau pun langsung berbuka. (56)

Sebagian orang ada yang mengira bahwa malam itu tidak terealisasi langsung setelah matahari terbenam, tetapi masuk setelah tersebarnya kegelapan, baik di bagian timur maupun barat. Dan hal tersebut telah terjadi pada sebagian Shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau memberikan pemahaman bahwa waktu malam itu cukup pada permulaan gelap dari arah timur, langsung setelah bulatan matahari tenggelam.

Dari 'Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, kami pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan sedang waktu itu beliau dalam keadaan puasa (pada bulan Ramadhan). Pada saat matahari terbenam, beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda kepada beberapa orang: "Wahai fulan (dalam sebuah riwayat Abu Dawud: "Hai Bilal), berdiri dan siapkan minuman dan makanan untuk kami." Dia berkata: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau menunggu sampai sore hari," (dalam riwayat al-Bukhari disebutkan: "Seandainya engkau menunggu sampai sore tiba." Dan dalam riwayat yang lain disebutkan: "Matahari"). Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: "Singgah dan siapkanlah makanan dan minuman untuk kami." Dia mengatakan: "Sesungguhnya ini masih siang." Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: "Singgah dan siapkanlah makanan dan minuman untuk kami." Maka dia pun singgah dan menyiapkan minuman untuk mereka. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun minum. (Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: "Seandainya ada salah seorang yang berusaha melihat matahari di atas untanya niscaya akan melihatnya.") Kemudian beliau melempar. (Dalam riwayat al-Bukhari disebutkan: "Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) memberi isyarat dengan tangannya"). (Dan dalam riwayat Syaikhani disebutkan: "Dan beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) memberi isyarat dengan jarinya ke arah timur). Selanjutnya beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: "Jika engkau melihat malam telah tiba dari sini berarti orang yang berpuasa sudah boleh berbuka." (57)

Ditegaskan bahwa para Shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengikuti sabda beliau, dimana apa yang mereka kerjakan sesuai dengan sabda beliau, dan Abu Sa'id al-Khudri (radhiyallahu 'anhu) berbuka puasa saat bulatan matahari tenggelam. (58)

Peringatan:

1. Hukum-hukum puasa yang diterangkan di atas berkaitan dengan penglihatan mata telanjang, sehingga tidak harus mempersulit diri serta tidak perlu melihat bulan dan fajar dengan berbagai macam peralatan astronomi modern atau dengan berpegang pada ketentuan perhitungan ahli perbintangan (astrolog), dimana banyak kaum muslimin yang menyimpang dari Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga kebaikan yang ada pada mereka sangat minim, sedangkan keburukan melimpah-ruah pada diri mereka. (59) Wallaahu a'lam.

2. Di beberapa negara Islam, para muadzin menggunakan bantuan penanggalan yang telah berlalu lebih dari 50 tahun, sehingga mereka mengakhirkan waktu berbuka dan menyegerakan waktu sahur, yang mengakibatkan terjerumus ke dalam pertentangan dengan petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Di negara seperti ini, sebagian orang yang berpegang teguh pada Sunnah berbuka dengan berdasarkan pada matahari dan melakukan sahur berdasarkan pada fajar. Artinya, jika matahari telah terbenam, maka mereka akan berbuka dan jika fajar shadiq telah terbit -sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya- maka mereka akan menghentikan diri dari makan, minum dan bercampur. Yang demikian itu merupakan amalan yang sesuai dengan syari'at dan benar serta tidak diwarnai keraguan. Orang yang menilai mereka melakukan penyimpangan, berarti dia benar-benar telah salah. Tidak ada daya dan upaya melainkan hanya milik Allah semata.

Bukan rahasia lagi bahwa ibadah ini sangat berkaitan erat dengan matahari dan fajar. Jika mereka menyalahi hal tersebut, berarti mereka benar-benar telah melakukan kesalahan, tidak demikian orang yang berpegang pada ketentuan hukum pokok. Adzan merupakan sarana pemberitahuan masuknya waktu shalat. Karenanya, jika waktu shalat sudah masuk sementara adzan dikumandangkan terlambat atau dikumandangkan lebih awal sementara waktu shalat belum masuk, maka yang berlaku tetap pada hukum pokok adalah wajib. Oleh karena itu, peliharalah ini dan renungkanlah.

===

(55) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 171) dan Muslim (1100). Dan sabda beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam): "Orang yang berpuasa sudah boleh berbuka," yakni dari sisi hukum dan bukan dari sisi realitas, karena sudah masuk waktu berbuka.

(56) Diriwayatkan oleh al-Hakim (I/ 434) dan Ibnu Khuzaimah (2061). Dinilai shahih oleh al-Hakim dengan syarat Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim).

(57) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 199), Muslim (1101), Ahmad (IV/ 381), Abu Dawud (2352). Tambahan pertama milik Muslim (1101). Tambahan kedua milik 'Abdurrazzaq (IV/ 226).

Dalam hadits tersebut terkandung manfaat yang cukup banyak. Lihat uraiannya di dalam kitab, Fat-hul Baari (IV/ 198). Dan sabda beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam): (اجْدَØ­ْ Ù„َÙ†َا) "Buatkanlah untuk kami," yaitu siapkan makanan dan minuman untuk kami. Asal arti dari kata al-Jadh yaitu mengaduk makanan, susu atau air dengan 'uud (kayu).

(58) Disampaikan oleh al-Bukhari sebagai komentar (IV/ 196). Dan disambung oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf (III: 12), dan Sa'id bin Manshur sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Fat-hul Baari (IV/ 196), dan juga 'Umdatul Qaari' (IX/ 130). Lihat juga buku, Taghliiqut Ta'liiq (III/ 195).

(59) Bagi yang berminat untuk menambah penjelasan dan keterangan lebih rinci, silahkan membaca beberapa buku berikut ini:

1. Majmuu' Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (rahimahullah) (XXV/ 126-202).

2. Al-Majmuu' Syarh al-Muhadzdzab (VI/ 279), karya an-Nawawi rahimahullah.

3. At-Talkhiishul Habiir (II/ 187-188), karya Ibnu Hajar rahimahullah.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog