Skip to main content

Tidak Ada Kesepakatan Para Ulama Tentang Tarawih 20 Raka'at | Tidak Ada Seorang pun Shahabat yang Pernah Shalat Tarawih 20 Raka'at, Penelitian Riwayat Tersebut dan Penjelasan Tentang Kelemahannya | Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah

Shalaatu at-Taraawiihi.

Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.

Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Fasal V.

Tidak Ada Seorang pun Shahabat (radhiyallahu 'anhum) yang Pernah Shalat Tarawih 20 Raka'at, Penelitian Riwayat Tersebut dan Penjelasan Tentang Kelemahannya.

Tidak Ada Kesepakatan Para Ulama Tentang Tarawih 20 Raka'at.

Dari penelitian ilmiah terdahulu, telah jelas bagi kita bahwa semua yang diriwayatkan dari para Shahabat (radhiyallahu 'anhum), bahwa mereka shalat tarawih 20 raka'at, tak ada satupun yang sah. Maka kalau ada sebagian yang menyatakan: "Sesungguhnya para Shahabat telah berkonsensus bahwa tarawih itu 20 raka'at", jelas tak dapat dijadikan sandaran, karena dasarnya yang memang lemah. Satu hal yang dibangun di atas dasar yang lemah, dengan sendirinya dia juga lemah. Oleh sebab itu Imam al-Mubarakfuri menegaskan dalam at-Tuhfah (II: 76): "Pernyataan itu adalah batil." Satu hal yang memperjelas kebatilan itu, kalau seandainya hal itu benar, tentu pengikut-pengikut merekapun tidak boleh menyelisihi mereka. Kenyataannya, mereka berselisih pendapat, ada yang lebih sedikit (raka'atnya) dan ada juga yang lebih banyak, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. Pengakuan adanya konsensus semacam ini mendorong sebagian ulama menjadi tergesa-gesa menerima keabsahan konsensus yang termuat dalam sebagian buku-buku itu. Padahal melalui penelitian terbukti, bahwa sebagian besar yang termuat dalam buku-buku itu tidaklah benar. Di antara contoh pengakuan adanya konsensus itu adalah yang dinukil sebagian mereka bahwa witir itu tiga raka'at. Padahal diriwayatkan dalam sanad yang shahih bahwa beberapa orang Shahabat berwitir hanya satu raka'at, sebagaimana akan dibahas menjelang fasal yang ketujuh.

Oleh karena itu seorang peneliti bernama Shiddiq Hasan Khan dalam mukaddimah as-Siraj al-Wahhaj min Kasyfi Mathalibi Shahih Muslim bin Hajjaj (I: 3) menyatakan: "Telah terjadi kecerobohan yang keterlaluan dalam penukilan adanya konsensus/ ijma'. Sampai-sampai orang yang tidak wajib baginya (demikian tertulis dalam teks aslinya, tapi mungkin yang benar: Yang tidak berbekal ilmu...) tentang madzhab-madzhab para ulamapun bisa beranggapan bahwa apa yang disepakati oleh penganut madzhabnya, atau para ulama di negerinya adalah ijma'. Ini jelas bencana besar. Dengan sekedar pengakuan, orang seperti itu telah menimbulkan bencana yang merata. Karena dia tak menyadari, bahwa para hamba Allah akan tertimpa bahaya besar dengan penukilan riwayat semacam itu, yang memang tidak melalui proses yang teliti dan penuh hati-hati. Adapun para penganut madzhab yang empat, mereka bahkan menganggap apa yang disepakati berdasarkan konsensus di antara mereka sendiri sebagai ijma' kaum muslimin, terlebih-lebih generasi mereka yang datang belakangan, seperti Imam an-Nawawi dalam Syarhu Muslim dan mereka yang mengikuti jejaknya ijma'/ konsensus semacam itu, bukanlah tergolong apa yang digunakan ulama sebagai hujjah (setelah al-Kitab dan as-Sunnah). Sesungguhnya sebaik-baiknya generasi adalah generasi awal (para Shahabat), kemudian generasi yang datang sesudah mereka, dan yang datang sesudah mereka (Tabi'in dan Tabi'u at-Tabi'in). Mereka hidup, sebelum munculnya madzhab yang empat. Kemudian, pada masa hidup masing-masing para imam fiqih tersebut, juga terdapat para ulama besar yang berkemampuan sebagai mujtahid yang mana mereka tidak terhitung dalam pencetus ijma'/ konsensus tersebut. Demikianlah, dan sampai batas itu juga yang terjadi pada masa-masa sesudah mereka. Hal ini dapat dimengerti oleh orang yang arif dan bijaksana. Tetapi sikap bijaksana itu ibarat bukit yang terjal, ia hanya dapat didaki oleh mereka yang Allah bukakan baginya pintu kebenaran dan Allah mudahkan baginya jalan untuk mencapainya."

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shalaatu at-Taraawiihi, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, Tanpa keterangan penerbit, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun, Judul terjemahan: Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Abu Umar Basyir al-Maidani, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan IV, Nopember 2000 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT