Skip to main content

Pendahuluan | Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah

Ahkaamul Janaa-iz wa Bida'uha.

Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah.

Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah.

Pendahuluan.

Segala puji hanya bagi Allah. Kepada-Nya kita memanjatkan pujian dan memohon pertolongan. Dan kita juga berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita sendiri dan keburukan amal perbuatan kita. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadahi (dengan benar)) selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali 'Imran: 102)

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu Yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu." (QS. An-Nisaa': 1)

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar." (QS. Al-Ahzab: 70-71)

Sebenar-benar kitab adalah Kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk urusan adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di Neraka.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Mahasuci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun." (QS. Al-Mulk: 1-2)

Dia juga berfirman:

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan." (QS. Al-Anbiyaa': 35)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Apalah artinya dunia ini bagiku. Tidaklah aku di dunia ini melainkan seperti orang yang menaiki kendaraan dan berteduh di bawah sebatang pohon, lalu pergi dan meninggalkannya." (1)

Ketika petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah pengurusan jenazah merupakan petunjuk yang paling baik yang bertolak belakang dengan petunjuk seluruh ummat lainnya, yang mencakup perlakuan baik kepada jenazah dan mengurusnya dengan sesuatu yang akan memberi manfaat di dalam kuburnya dan di hari Kiamat. Juga berlaku baik terhadap keluarga dan kaum kerabatnya serta menegakkan 'ubudiyyah orang-orang yang masih hidup dalam mengurus mayat.

Di antara petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam pengurusan jenazah adalah menegakkan 'ubudiyyah kepada Rabb Tabaaraka wa Ta'aala sesempurna mungkin serta berbuat baik kepada mayat dan menyiapkannya untuk menghadap kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Juga berdirinya beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) dan para Shahabatnya (radhiyallahu 'anhum) (untuk shalat jenazah) dalam barisan seraya memanjatkan pujian kepada Allah, memohonkan ampunan dan rahmat untuknya serta penghapusan atas semua dosa-dosanya. Dilanjutkan dengan berjalan di depannya, mendekati dan mengantarkannya sampai di peristirahatan terakhirnya. Kemudian berdiri di dekat kubur bersama-sama Shahabatnya seraya memohon keteguhan untuk si mayit. Semua itu merupakan hal-hal yang memang paling dibutuhkannya.

Setelah itu, diperintahkan untuk menziarahi kuburnya, mengucapkan salam dan mendo'akannya, sebagaimana hal tersebut diperintahkan juga bagi orang yang masih hidup semasa hidup di dunia.

Langkah pertama dalam hal itu adalah dengan menjenguknya pada saat dia tengah sakit dan mengingatkannya akan alam akhirat, seraya memerintahkannya untuk berwasiat dan bertaubat, juga menyuruh orang yang hadir di sekitarnya untuk mentalqin dengan mengucapkan kalimat syahadat (kesaksian) "laa ilaaha illallaah" agar ia menjadi kalimat terakhir yang diucapkannya.

Kemudian diikuti dengan larangan untuk menerapkan kebiasaan ummat-ummat yang tidak beriman dengan adanya hari Kebangkitan, yaitu berupa pemukulan pipi, penyobekan baju, pencukuran rambut, mengeraskan suara dalam meratap, dan lain sebagainya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyunnahkan untuk khusyu' dalam mengurus jenazah disertai tangisan yang tidak mengeluarkan suara dan menampakkan kesedihan hati. Bahkan beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) juga pernah mengerjakan hal tersebut seraya bersabda: "Mata itu menangis dan hati pun bisa bersedih, dan kami tidak berkata-kata kecuali apa yang diridhai Allah." (2)

Selain itu, beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) juga menyunnahkan ummatnya untuk memanjatkan pujian dan membaca istirja' (Inna Lillaahi wa Inna Ilaihi Raaji'uun), ridha kepada Allah, dan hal itu tidak bertolak belakang dengan tetesan air mata dan kesedihan hati. Oleh karena itu, beliau adalah orang yang paling ridha terhadap takdir-Nya dan paling banyak memanjatkan pujian kepada-Nya. Meski demikian, beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) tetap menangis pada hari puteranya Ibrahim meninggal dunia, sebagai ungkapan rasa kasih sayang beliau kepada anaknya sekaligus sikap lembut kepadanya. Hati beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) dipenuhi dengan keridhaan kepada Allah 'Azza wa Jalla dan bersyukur kepada-Nya, sedang lidah beliau sibuk berdzikir dan memanjatkan pujian. (3)

===

(1) Hadits shahih. Aku telah mentakhrijnya di dalam kitab Takhriij Fiqhis Siirah, hal. 478, karya al-Ghazali, cetakan keempat. Dan di dalam kitab (Silsilah) al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 438). Oleh karena itu, aku menyebutkannya di dalam bukuku, Shahiih al-Jaami' ash-Shaghiir wa Ziyaadatuhu (no. 5669).

(2) Lihat kitab (Silsilah) al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1732), dan akan diterangkan lebih lanjut pada halaman berikutnya.

(3) Dari ucapan Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam pasal pertama dari pembahasan tentang jenazah, dari kitab Zaadul Ma'aad (I/197). Berikut ini selengkapnya:

"Ketika pemandangan tersebut dan penyatuan antara dua hal (kesedihan dan kebahagiaan) menjadi sempit bagi sebagian orang-orang yang arif, pada hari meninggal anaknya, beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) justru tertawa sehingga ditanyakan kepada beliau: 'Mengapa engkau bisa tertawa dalam keadaan seperti ini?' Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda: 'Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menetapkan takdirnya sesuai dengan qadha'-Nya, sehingga aku pun ingin benar-benar ridha menerima ketetapan-Nya tersebut.'

Dan hal tersebut sempat membuat bingung beberapa ulama sehingga mereka mengatakan: 'Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menangis pada hari puteranya Ibrahim meninggal dunia, padahal beliau merupakan orang yang paling ridha kepada Allah. Dan keridhaan tersebut sampai membuat orang-orang yang arif ini tertawa' dan aku pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: 'Petunjuk Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam lebih sempurna dari petunjuk orang arif tersebut, dimana beliau memberikan 'ubudiyyah sesuai porsi haknya, sehingga hatinya menjadi lapang untuk ridha kepada Allah sekaligus mencurahkan rasa sayang dan kasihan beliau kepada puteranya, beliau pun memanjatkan pujian kepada Allah dan ridha terhadap qadha'-Nya. Dan beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) juga menangis sebagai wujud kasih sayang beliau, sehingga rasa kasihan itu membuatnya menangis, sedangkan 'ubudiyyah dan kecintaan beliau kepada Allah membuat beliau ridha dan memanjatkan pujian.

Adapun orang yang arif yang hatinya menjadi sempit dalam menyatukan dua hal tersebut, dan bathinnya tidak mampu menyaksikan keduanya serta menempatkan keduanya pada tempatnya, sehingga 'ubudiyyah yang dipenuhi dengan keridhaan membuat tunduk 'ubudiyyah yang dipenuhi dengan kasih sayang dan belas kasihan."

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: Ahkaamul Janaa-iz wa Bida'uha, Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, Penerbit: Maktabah al-Ma'arif, Riyadh - Saudi Arabia, Cetakan I, Tahun 1412 H/ 1993 M, Judul terjemahan: Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M., Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Pertama, Muharram 1426 H/ Maret 2005 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT