Skip to main content

Tak Ada Riwayat Shahih yang Menyatakan Bahwa 'Umar Pernah Shalat Tarawih 20 Raka'at, dan Penelitian Riwayat-riwayat Tersebut serta Penjelasan Tentang Kedha'ifannya (2) | 'Umar bin al-Khaththab Menghidupkan Kembali Shalat Tarawih (Berjama'ah) dan Menyuruh Manusia Kala itu Untuk Shalat Sebelas Raka'at | Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah

Shalaatu at-Taraawiihi.

Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.

Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Fasal IV.

'Umar bin al-Khaththab (radhiyallahu 'anhu) Menghidupkan Kembali Shalat Tarawih (Berjama'ah) dan Menyuruh Manusia Kala itu Untuk Shalat Sebelas Raka'at.

Tak Ada Riwayat Shahih yang Menyatakan Bahwa 'Umar radhiyallahu 'anhu Pernah Shalat Tarawih 20 Raka'at, dan Penelitian Riwayat-riwayat Tersebut serta Penjelasan Tentang Kedha'ifannya (2).

Yang ketiga: Muhammad bin Yusuf adalah keponakan as-Saib bin Yazid -sebagaimana dijelaskan sebelumnya-. Maka dengan dekatnya hubungan kerabatnya dengan Ibnu as-Saib, jelas dia lebih mengetahui dan lebih hafal tentang riwayat Ibnu as-Saib. Bilangan raka'at yang dia riwayatkan lebih utama ketimbang riwayatnya Ibnu Khushaifah. Itu lebih tertopang lagi, karena memang semakna dengan riwayat 'Aisyah (radhiyallahu 'anhuma) pada hadits terdahulu yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melebihi 11 raka'at (dalam shalat malam). Maka menafsirkan perbuatan 'Umar (radhiyallahu 'anhu) untuk disesuaikan dengan Sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam itu lebih baik dan lebih utama ketimbang menafsirkannya sehingga malah bertentangan dengannya. Perkara ini gamblang, dan tak ada lagi yang samar, insya Allah Ta'ala. (36)

Yang sama juga kelemahannya dengan riwayat ini dapat ditilik apa yang disebutkan oleh Ibnu 'Abdil Barr. Dia menyatakan: "Al-Harits bin 'Abdurrahman bin Abi Dziab (meriwayatkan) dari as-Saib bin Yazid, dia berkata: 'Shalat (Tarawih) pada masa 'Umar adalah 23 raka'at." (37)

Aku mengatakan: Derajat sanad hadits ini dha'if. Karena Ibnu Abi Dziab mempunyai kelemahan dalam sisi hafalannya. Ibnu Abi Hatim mengomentarinya dalam al-Jarh wa at-Ta'dil (1: 2: 80): "Ayahandaku menuturkan, bahwa ia (Ibnu Abi Dziab) meriwayatkan hadits-hadits munkar dari ad-Darawirdi. Dengan itu, dia bukanlah orang kuat, namun haditsnya ditulis (sebagai perbandingan)." Abu Zur'ah menyatakan: "Lumayan (sebagai celaan)."

Aku mengatakan: Oleh sebab itu, Imam Malik tak mau bersandar kepadaanya, sebagaimana tersebut dalam at-Tahdzib oleh Ibnu Hajar. Dia juga menyatakan dalam at-Taqrib: "Orang yang jujur, tapi suka menduga salah."

Aku mengatakan: Orang seperti itu tak dapat dijadikan hujjah, karena dikhawatirkan dugaannya yang salah. Apalagi kalau bertentangan dengan riwayat perawi yang terpercaya lagi meyakinkan, yaitu Muhammad bin Yusuf, kemenakan dari as-Saib. Dia menyatakan: "11 raka'at", sebagaimana yang terdahulu.

Namun begitu, kamipun belum mengetahui apakah sanad dari Ibnu 'Abdil Barr yang sampai kepadanya juga shahih. Karena bukunya itu tak ada di tangan kami sehingga bisa kami periksa seluruh jalur sanad-sanadnya, kalau dia memang menukilnya.

Yang sama juga kelemahannya dengan riwayat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Yazid bin Ruman, dia berkata: "Orang-orang biasa shalat Tarawih di masa 'Umar 23 raka'at."

Diriwayatkan oleh Imam Malik (I: 138) dari jalur yang sama juga al-Firyabi (76: 1) dan dalam al-Ma'rifah. Namun mengandung kelemahan, dengan ucapannya: "Yazid bin Ruman belum pernah bertemu 'Umar." (38)

Demikian juga Imam an-Nawawi, dia mendha'ifkannya dalam al-Majmu'. Di situ dia menyatakan (IV: 33).

"Imam al-Baihaqi meriwayatkannya tapi juga dengan sanad mursal. Karena Yazid bin Ruman memang belum pernah berjumpa dengan 'Umar." Tak juga berbeda dengan itu, al-'Aini mendha'ifkannya lewat pernyataannya dalam Umdatul Qari Syarhu Shahihi al-Bukhari (V: 357): "Derajat sanadnya terputus."

Jadi riwayat ini jelas lemah, ditilik dari sanadnya yang terputus antara Ibnu Ruman dengan 'Umar (radhiyallahu 'anhu), sehingga tak bernilai sebagai hujjah. Apalagi disamping itu ia juga bertentangan dengan riwayat yang shahih dari 'Umar berkenaan dengan perintahnya agar didirikan shalat Tarawih 11 raka'at.

Yang tak berbeda kelemahannya dengan itu, adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (II: 89: 2) dari Waki', dari Malik, dari Yahya bin Sa'ida, bahwasanya 'Umar bin al-Khaththab memerintahkan seorang lelaki untuk shalat dua puluh raka'at.

Riwayat ini juga terputus. Imam al-'Allamah al-Mubarakfuri menyebutkan dalam Tuhfah (II: 85):

An-Naimawi menyatakan dalam Atsaru as-Sunan: "Para perawinya terpercaya, hanya saja Yahya bin Sa'id al-Anshari belum pernah berjumpa 'Umar." Demikian dia nyatakan. Aku berkata: Betul apa yang dinyatakan oleh an-Naimawi. Atsar ini memang terputus dan tak layak dijadikan hujjah. Di samping itu, ia juga bertentangan dengan atsar yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari 'Umar radhiyallahu 'anhu bahwa dia memerintahkan Ubay bin Ka'ab dan Tamum ad-Dari untuk shalat mengimami manusia sebelas raka'at. Dikeluarkan oleh Malik dalam al-Muwaththa', sebagaimana tersebut sebelumnya. Selain itu, riwayat ini juga menyelisihi riwayat yang shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits.

===

(36) [Dengan penjelasan yang demikian gamblang dan lugas bagi pencari kebenaran seperti ini, rontoklah pernyataan tidak benar yang dilontarkan para penulis al-Ishabah! Yaitu: Riwayat 20 raka'at itu betul-betul shahih dilihat dari berbagai sisi." Itulah anggapan mereka! Anehnya, mereka tak secuil kalimatpun menyebutkan penjelasan tentang keshahihan hadits tadi, sehubungan dengan jalur-jalur sanad yang telah kami sebutkan tadi. Kalaulah mereka jujur, mereka akan ingat ucapan seorang ahli sya'ir:

"Dan mengaku-ngaku kalau tanpa bukti, ujung-ujungnya adalah merengek minta diakui."]

(37) [Lihat Umdatul Qari (V: 357).]

(38) [Al-Hafizh az-Zaila'i mengakui hal itu dalam Nashbu ar-Rayah (II: 154).

Setelah menulis apa yang terdahulu, tiba-tiba muncul menemui kami al-Ustadz yang mulia 'Abdul Ghani al-Bajiqani membawa sebuah buku kecil yang berjudul ar-Risalah al-Muwajjahah ila Syaikh Muhammad Nasib ar-Rifa'i fi Maudhu'i Qiyami Syahri Ramadhan Shalati at-Tarawih.

Menurut hemat kami, buku itu tak ada bedanya dengan buku al-Ishabah, dari sisi: Buku itu kosong dari penelitian ilmiah. Meskipun nampak penulisnya berupaya untuk tak terjerumus seperti penulis-penulis sebelumnya, yaitu al-Ishabah pada sisi tuduhan-tuduhan dan kekeliruan-kekeliruan serta yang lainnya. Setelah menyebut nama Allah, dia membuka tulisannya itu dengan ucapannya: "Kepada saudaraku yang mulia Syaikh Muhammad Nasib ar-Rifa'i..." Ia juga mengulang-ulang ungkapan "saudaraku" itu dalam banyak kesempatan. Itu jelas satu hal yang bagus, kalau ia mau konsisten melakukannya dalam tulisannya itu sebagai manifestasi persaudaraan Islam dengan cukup saling memberi nasihat lewat cara yang terbaik. Namun sayang sekali kami harus menyatakan, bahwa dia keluar dari kebiasaan itu dalam banyak kesempatan juga. Terkadang, ia mengorientasikan saudaranya itu sebagai "tukang cari kemenangan dan prestise." (Hal. 4)

Terkadang juga menuduhnya telah menyandarkan kedustaan kepada para ahli hadits dan para ahli fiqih lagi ahli ijtihad (hal. 10). Bahkan pada kesempatan lain ia menuduh, bahwa sanjungan Syaikh Nasib terhadap para tokoh fiqih yang empat itu hanyalah untuk mengambil hati/ cari perhatian! (hal 16-17). Dan banyak lagi tuduhan-tuduhan lainnya yang mana komentar ini tak cukup untuk menyebutnya satu persatu! Yang penting, aku hanya ingin menjelaskan bahwa tulisan ini satu jalan dengan tulisan sebelumnya pada tiga hal:

Yang pertama: Keshahihan (menurut mereka) riwayat tarawih yang 20 raka'at dari 'Umar radhiyallahu 'anhu.

Yang kedua: Kesepakatan ulama as-Salaf semenjak masa kedua dari kekhalifahan 'Umar untuk melakukannya 20 raka'at.

Yang ketiga: Shalatnya 'Umar dengan 11 raka'at, itu hanya pada awalnya saja.

Setiap orang yang sudah mempelajari buku kami dengan dasar ilmu, pemahaman dan sikap yang bijak, niscaya akan jelas baginya dengan amat gamblang bahwa semua yang tersebut (dalam bukunya tadi) tidaklah benar. Dengan buku ini juga, kita akan tahu kualitas buku al-Bajiqani tadi. Bahwa ia sebenarnya tak pernah berbuat sesuatu, melainkan sekedar mengulang apa yang didendangkan oleh konco-konconya para penulis al-Ishabah.

Memang betul, bahwa sedikit membawa tambahan dan sesuatu yang baru yang tak dimiliki teman-temannya tadi, dimana dia menshahihkan riwayat Yazid bin Ruman yang jelas terputus berdasarkan kesepakatan para ulama ini, mungkin dia menganggap itu sudah cukup! Sampai-sampai ia menisbatkan kepada al-Baihaqi bahwa dia menshahihkannya! Padahal dia (al-Baihaqi) malah mendha'ifkannya sebagaimana lafazh ucapannya yang kami temukan. Al-Bajiqani menyatakan: "Lihatlah bagaimana Imam al-Baihaqi ternyata menshahihkan hadits as-Saib yang ada dalam al-Muwaththa', dia juga mendapati ternyata hadits Yazid bin Ruman juga shahih!"

Aku tak menuduh al-Ustadz seperti tuduhan orang lain bahwa dia sengaja berdusta. Tidak, sama sekali tidak. Tetapi aku mengatakan: "Sesungguhnya ia telah mengutak-atik ilmu yang bukan merupakan spesialisasinya sehingga ia pun tidak beres. Akhirnya tanpa disadari, ia terjerumus dalam kedustaan. Semoga Allah merahmati orang yang tahu ukuran dirinya, sehingga ia tahu membawa diri.]

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shalaatu at-Taraawiihi, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, Tanpa keterangan penerbit, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun, Judul terjemahan: Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Abu Umar Basyir al-Maidani, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan IV, Nopember 2000 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog