Hukum 'aqiqah (2) | Aqiqah | Ketika Anak Itu Lahir | Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk Yang Dinanti
Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah.
Bab II.
Ketika Anak Itu Lahir.
23. Aqiqah (اَلْعَقِيْقَةُ).
3. Hukum 'aqiqah (2).
Saya berkata: Ibrahim ini lahir jauh sesudah Hasan dan Husain. Padahal beliau meng'aqiqahkan keduanya, kenapa terhadap Ibrahim beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak meng'aqiqahkannya? Jawabnya: Ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menjelaskan kepada ummatnya dengan fi'il (perbuatan) beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa 'aqiqah itu hukumnya tidak wajib selain dengan qaul (sabda) beliau shallallahu 'alaihi wa sallam di atas dan jalan yang ketiga di bawah ini:
Ketiga: Taqrir (persetujuan) beliau shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perbuatan sebagian Shahabat. Masih dalam penelitian Ibnu Hajar bahwa tidak dinukil dari Abu Musa dan Abu Thalhah bahwa keduanya meng'aqiqahkan anaknya. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang memberi nama kepada anak keduanya (baca kembali haditsnya di fasal 20 masalah yang pertama).
Setelah kita mengetahui ketiga jalan di atas yang menjadi hujjah bagi kebanyakan ulama bahwa 'aqiqah itu hukumnya tidak wajib, sekarang bagaimana dengan hadits Samurah bin Jundab (radhiyallahu 'anhu) (166) bahwa setiap anak itu tergadai dengan 'aqiqah-nya yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama khususnya madzhab Dawud azh-Zhahiriy untuk mewajibkan 'aqiqah? (167) Jawabannya sebagaimana jawaban Imam Ahmad yang lalu bahwa hadits Samurah ini adalah hadits yang paling keras/ kuat tentang permasalahan 'aqiqah yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Meskipun demikian beliau tidak menjadikan hadits di atas untuk menetapkan bahwa 'aqiqah itu hukumnya wajib. Bahkan beliau menegaskan bahwa 'aqiqah itu hukumnya tidak wajib bersamaan dengan itu beliau pun tidak menyukai bagi orang yang mampu akan tetapi meninggalkannya dan tidak meng'aqiqahkan anaknya. Sampai beliau pernah berfatwa bagi orang yang tidak mampu boleh dia meminjam (uang) untuk meng'aqiqahkan anaknya demi menghidupkan salah satu Sunnah dari Sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikuti apa-apa yang datang dari beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dan mudah-mudahan Allah segera menggantikannya. (168)
Keterangan Imam Ahmad di atas tentang hadits Samurah dan hukum 'aqiqah menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak sampai kepada hukum wajib akan tetapi hanya sampai pada hukum penekanan atau dengan kata lain sunnah mu'akkadah atau mengambil istilah Imam Malik sunnah waajibah (سنة واجبة). Ibnu Qayyim menjelaskan yang dimaksud ialah sunnah mu'akkadah yang tidak disukai kalau ditinggalkan. Oleh karena itu mereka mengatakan, "Mandi jum'at itu sunnah waajibah, udh-hiyah (qurban) itu sunnah waajibah dan 'aqiqah itu sunnah waajibah." Ibnu Qayyim pun menegaskan bahwa tidak ada keterangan yang tegas dari Imam Malik tentang wajibnya 'aqiqah. (169)
Saya berkata: Al-Imam Ibnu 'Abdil Bar dari madzhab Malik di kitabnya al-Kaafi (bagian kitabul 'aqiqah) menegaskan bahwa madzhab Malik tentang hukum 'aqiqah adalah sunnah mu'akkadah. Demikian juga hadits-hadits yang lain dikiaskan dengan hadits Samurah bahwa perintah 'aqiqah adalah sunnah mu'akkadah. Inilah madzhab yang shahih -insya Allahu Ta'ala- lantaran itu Imam asy-Syafi'iy mengatakan bahwa orang yang mewajibkan 'aqiqah melampaui batas atau berlebihan. Wallahu A'lam.
===
(166) Baca lafazh-nya di fasal 20 masalah pertama.
(167) Tuhfatul Maudud bab VI fasal ketujuh. Al-Muhalla (juz 7 hal. 523 dan seterusnya Kitabul 'Aqiqah) oleh al-Imam Ibnu Hazm.
(168) Tuhfatul Maudud bab VI fasal 7.
(169) Tuhfatul Maudud bab VI fasal 7.
===
Maraji'/ Sumber:
Buku: Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis: Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah, Penerbit: Darul Qolam, Jakarta - Indonesia, Cetakan III, Tahun 1425 H/ 2004 M.
===
Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT