Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Fasal VIII.
Tata Cara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Shalat Malam dan Witir (6/2).
Al-Hafizh Muhammad bin Nashir al-Mirwazi rahimahullah menyatakan dalam Qiyamul Lail (hal. 119):
"Yang menjadi pilihan kami, untuk orang yang shalat malam baik pada bulan Ramadhan atau bulan yang lain; hendaknya ia bersalam pada setiap dua raka'at. Sampai kalau dia mau shalat witir yang tiga raka'at, hendaknya dia membaca Sabbihisma Rabbika pada raka'at pertama, Qul Yaa Ayyuhal Kafirun pada raka'at kedua, lalu pada raka'at yang kedua itu dia bertasyahhud dan salam. Kemudian dia bangkit dan shalat satu raka'at dengan membaca al-Fatihah, Qul Huwallahu Ahad, dan Mu'awwidzatain (an-Nas dan al-Falaq)." Setelah itu dia menyebutkan bentuk ragam shalat malam yang lain. Dan melanjutkan: "Semuanya itu boleh dilakukan, untuk mencontoh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun yang terpilih, adalah yang kami sebutkan tadi. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala ditanya tentang shalat malam, beliau bersabda: "Shalat malam itu dua raka'at, dua raka'at." Maka yang kita pilih, adalah apa yang beliau pilihkan bagi ummatnya. Namun kita tetap membolehkan perbuatan beliau itu untuk dicontoh dan diikuti, kalau memang tak ada riwayat bahwa beliau melarangnya." Setelah itu dia melanjutkan lagi (hal. 121):
"Mengamalkan semua riwayat-riwayat ini bagi kami boleh saja. Terjadinya corak ragam itu karena shalat malam itu baik witir maupun bukan, adalah shalat sunnah. Shalat malam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik witirnya maupun bukan, memang beragam coraknya sebagaimana yang kami sebutkan: Terkadang beliau shalat begini, terkadang begitu. Semuanya itu boleh-boleh dan bagus saja (dilakukan). Adapun berwitir dengan tiga raka'at, sesungguhnya kami belum pernah mendapatkan dalil shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa beliau berwitir tiga raka'at dengan hanya bersalam pada akhir raka'atnya, sebagaimana yang kami dapatkan (dalilnya) pada witir lima, tujuh dan sembilan raka'at. Yang kami dapatkan hanyalah bahwa beliau berwitir dengan tiga raka'at, namun tak ada disebut-sebut tentang salam di situ." (71) Kemudian dia menyitir hadits dengan sanad yang shahih dari Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma): "Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berwitir tiga raka'at, beliau membaca Sabbihisma Rabbika, Qul Yaa Ayyuhal Kafirun, dan Qul Huwallahu Ahad." Setelah itu dia melanjutkan lagi: "Dalam hal itu juga diriwayatkan dari Imran bin Hushain, 'Aisyah, 'Abdurrahman bin Abzi dan Anas bin Malik." Dia berkata: "Semua riwayat-riwayat ini masih samar. Bisa jadi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersalam pada raka'at yang kedua dari tiga raka'at witir itu yang diriwayatkan bahwa beliau melakukannya. Karena kalau ada orang yang shalat sepuluh raka'at lalu bersalam pada setiap dua raka'at, boleh saja kita katakan bahwa orang itu shalat sepuluh raka'at. Maka riwayat-riwayat yang jelas, (72) yang hanya mengandung satu pengertian saja, lebih layak untuk diikuti dan dijadikan hujjah. Hanya saja kami meriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau memberi pilihan kepada ummatnya untuk berwitir dengan lima, tiga atau satu raka'at. Kami juga meriwayatkan dari sebagian Shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa mereka berwitir tiga raka'at dan hanya salam pada akhir raka'at. Maka mengamalkan semua itu ya boleh-boleh saja. Namun yang menjadi pilihan tetap yang kami sebutkan tadi." Lalu dia melanjutkan (hal. 123):
"Maka persoalannya menurut kami, witir dengan satu raka'at, tiga, lima, tujuh, atau sembilan ya bagus dan boleh-boleh saja berdasarkan riwayat-riwayat yang kami sebutkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabat radhiyallahu 'anhum sepeninggal beliau. Dan yang kami pilih adalah apa yang telah kami beberkan tadi. Apabila seseorang shalat 'Isya di akhir waktu, kemudian dia hendak melakukan witir sesudahnya satu raka'at, sementara sebelumnya (dan sesudah 'Isya) tak ada shalat lain yang dilakukannya, yang kami pilih dan kami anjurkan, hendaknya ia membuka dengan dua raka'at atau lebih terlebih dahulu, baru dia berwitir. Namun kalau itu tak dilakukannya, artinya dia langsung shalat witir, juga tak ada salahnya. Kami telah meriwayatkan dari sejumlah Shahabat besar radhiyallahu 'anhum bahwa mereka melakukan hal itu. Imam Malik memang memakruhkan cara itu, namun para Shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lebih layak untuk diikuti." Selanjutnya dia mengutarakan:
"Berkenaan dengan dimakruhkannya shalat witir tiga raka'at, ada beberapa riwayat di antaranya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sebagian lagi dari para Shahabat radhiyallahu 'anhum dan para Tabi'ien. Misalnya sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Janganlah kamu sekalian berwitir tiga raka'at, karena akan serupa dengan shalat Maghrib, tapi berwitirlah lima raka'at..."
Sanad hadits ini dha'if. Bahkan (sebaliknya) Imam ath-Thahawi dan yang lainnya meriwayatkannya dari jalur lain dengan sanad yang shahih sebagaimana yang kami ungkapkan pada komentar kami hal. 84 (buku asli), dimana riwayat itu zhahirnya bertentangan dengan hadits Abu Ayyub yang tertera di situ, lafazhnya (hadits Abu Ayyub):
"Dan barangsiapa yang mau, ia boleh berwitir tiga raka'at..."
Untuk menggabungkan makna kedua hadits itu kita katakan: Bahwa larangan itu ditafsirkan apabila tiga raka'at witir itu dengan dua tasyahhud. Karena dengan bentuk seperti itu ia menyerupai shalat Maghrib. Tapi kalau duduknya hanya sekali di akhir shalat, tak ada keserupaan antara keduanya. Ungkapan seperti ini dilontarkan oleh al-Hafizh dalam al-Fath (IV: 301) dan mendapat tanggapan baik dari Imam ash-Shan'ani dalam Subulu as-Salam (II: 8). Dan tak diragukan lagi, bahwa shalat itu dapat lebih tidak serupa lagi dengan Maghrib, apabila ada salam pemisah antara dua raka'at pertamanya dengan satu raka'at terakhirnya. Oleh sebab itu Ibnul Qayyim menyatakan dalam Zadul Ma'ad (I: 122), setelah menyebutkan hadits Nabi "Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bersalam pada raka'at kedua shalat witirnya", ia menyatakan:
"Bentuk shalat seperti itu perlu diteliti lagi. Karena Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Janganlah kalian berwitir tiga raka'at, tapi berwitirlah kamu lima raka'at, atau tujuh raka'at, dan janganlah kalian serupakan dengan shalat Maghrib."
Imam ad-Daruquthni berkomentar: "Para perawi hadits itu seluruhnya terpercaya." Dia melanjutkan: "Aku pernah bertanya kepada Abu 'Abdillah (Imam Ahmad) apa pendapat kamu tentang shalat witir, apakah kamu bersalam pada raka'at kedua?" Dia menjawab: "Iya." Aku bertanya lagi: "Alasannya apa?" Dia menjawab lagi: "Karena hadits-haditsnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lebih banyak dan lebih kuat." Harits juga pernah menyatakan: "Imam Ahmad pernah ditanya tentang witir. Dia menjawab: 'Dengan salam pada raka'at kedua. Kalau tanpa salam, aku harap juga sah. Tetapi dengan salam itu lebih shahih riwayatnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.'" (73)
Kesimpulan dari semua pembahasan terdahulu, bahwa berwitir dengan segala cara yang dijelaskan sebelumnya bagus dan boleh-boleh saja. Witir tiga raka'at dengan tasyahhud seperti shalat Magrib tidak memiliki dalil shahih yang jelas. Sebaliknya, seluruh dalil itu tak lepas dari cacat. Oleh sebab itu kami memilih tanpa duduk setelah raka'at kedua. Kalaupun duduk, ya sekalian salam. Itulah yang terbaik, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Allah-lah Pemberi taufik, dan tiada Rabb selain diri-Nya.
===
(71) [Artinya, tidak disebutkan, bukan berarti tidak ada. Bahkan kejadian bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan salam itu memang ada. Demikian disebutkan dalam catatan kaki bukunya. Ucapan itu sungguh benar, didukung dengan hadits-hadits terdahulu.]
(72) [Yakni yang di dalamnya dijelaskan tentang salam antara raka'at genapnya dengan raka'at ganjilnya. Sedangkan hadits-hadits yang menyatakan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam hanya salam di akhir raka'at (dalam witir 3 raka'at) sungguh lemah. Di antaranya adalah hadits Ubay bin Ka'ab (radhiyallahu 'anhu) yang dijadikan hujjah oleh penulis komentar Nashbu ar-Rayah (II: 118), dengan lafazh: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam shalat witir membaca (beliau menyebutkan tiga surat tadi), dan hanya salam pada akhir raka'at." Diriwayatkan oleh an-Nasa`i (I: 248). Dengan lafazh: "...dan beliau hanya salam..." 'Abdul 'Aziz bin Khalid meriwayatkannya secara menyendiri dari Sa'id bin Abi Urubah lewat jalur sanadnya dari Ubay. Sedangkan 'Abdul 'Aziz itu, tak seorang ulama pun yang mempercayainya. Dalam at-Taqrib disebutkan bahwa dia orang yang dapat diterima haditsnya (yaitu bila diiringi penyerta), kalau tidak, maka haditsnya agak lemah. 'Isa bin Yunus -yakni perawi terpercaya- menyelisihinya. Dia meriwayatkannya dari Sa'id bin Abi Urubah juga dengan lafazh itu, namun tanpa tambahan tadi. Diriwayatkan oleh Ibnu Nashar (126), an-Nasa`i juga, dan ad-Daruquthni (hal. 74). Selain Ibnu Abi Urubah juga meriwayatkan tanpa tambahan itu, baik dalam riwayat an-Nasa`i maupun yang lainnya. Dengan itu, jelas bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak boleh dijadikan hujjah.]
(73) [Lihat Masail al-Imam Ahmad, yang diriwayatkan oleh muridnya Ibnu Hani (I: 100). Di dalamnya termuat ucapan-ucapan Imam Ahmad tentang witir - Zuheir.]
===
Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shalaatu at-Taraawiihi, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, Tanpa keterangan penerbit, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun, Judul terjemahan: Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Ustadz Abu Umar Basyir al-Maidani hafizhahullah, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan IV, Nopember 2000 M.
===
Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT