Skip to main content

Imam asy-Syafi'i dan at-Tirmidzi Mendha'ifkan Jumlah Tarawih 20 Raka'at yang Disandarkan Kepada 'Umar | 'Umar bin al-Khaththab Menghidupkan Kembali Shalat Tarawih (Berjama'ah) dan Menyuruh Manusia Kala itu Untuk Shalat Sebelas Raka'at | Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah

Shalaatu at-Taraawiihi.

Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.

Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Fasal IV.

'Umar bin al-Khaththab (radhiyallahu 'anhu) Menghidupkan Kembali Shalat Tarawih (Berjama'ah) dan Menyuruh Manusia Kala itu Untuk Shalat Sebelas Raka'at.

Imam asy-Syafi'i dan at-Tirmidzi Mendha'ifkan Jumlah Tarawih 20 Raka'at yang Disandarkan Kepada 'Umar radhiyallahu 'anhu.

Demikianlah, Imam at-Tirmidzi telah mengisyaratkan dalam Sunannya (II: 74) tentang tidak benarnya riwayat 20 raka'at yang disandarkan kepada 'Umar (radhiyallahu 'anhu) atau kepada Shahabat manapun. Dia menyatakan: "Diriwayatkan dari 'Ali, 'Umar dan lain-lain dari kalangan para Shahabat radhiyallahu 'anhum."

Imam asy-Syafi'i juga menyatakan: "(Diriwayatkannya) jumlah 20 raka'at dari 'Umar, sebagaimana yang dinukil oleh sahabatnya al-Muzanni darinya dalam Mukhtasharnya (I: 107).

Penyebutan atsar di atas dengan "Diriwayatkan", itu merupakan pendha'ifan dari keduanya, sebagaimana istilah yang sudah dikenal di kalangan ahli hadits. Dan sudah sepantasnya, bahwa Imam asy-Syafi'i dan at-Tirmidzi termasuk di kalangan ulama ahli penelitian yang disinggung oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu' (I: 63):

"Para ulama ahli penelitian dari kalangan ahli hadits dan lain-lain menyatakan: 'Bahwa bilamana sebuah hadits itu dha'if, pada konteks itu tak boleh dikatakan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, atau berbuat atau menyuruh, melarang ataupun menghukumi, dan segala bentuk ungkapan yang berkesan pasti. Demikian juga tak boleh dikatakan: Abu Hurairah (radhiyallahu 'anhu) meriwayatkan, atau berkata, atau menyebutkan, atau mengabarkan, atau menceritakan, atau menukil, atau berfatwa, atau yang sejenis itu. Di kalangan para tabi'in juga tak boleh kita katakan seperti itu kalau riwayatnya adalah lemah. Pokoknya, semua periwayatan itu tak boleh disampaikan dengan ungkapan yang bernada pasti. Akan tetapi dalam hal itu kita menggunakan ungkapan "Diriwayatkan, dinukil, diceritakan, atau yang sampai kepada kami begini, atau dikatakan, disebut diceritakan dan yang sejenisnya, yang disebut juga dengan ungkapan tamridh (tidak pasti), bukan ungkapan yang pasti." Mereka (ahli hadits) menyatakan: Bentuk-bentuk ungkapan bernada pasti itu hanya digunakan untuk riwayat yang hasan atau shahih, sedangkan bentuk ungkapan tak pasti, digunakan untuk selain keduanya (dha'if). Jadi bentuk ungkapan pasti itu mengharuskan riwayat itu secara global adalah shahih, sehingga tak boleh digunakan untuk riwayat yang tidak shahih. Kalau tidak, berarti manusia (penyampai kabar) itu seolah-olah berdusta. Etika semacam ini, banyak dikesampingkan oleh para penulis, dan ahli fiqih pada umumnya dari kalangan para sahabat kami dan yang lainnya, serta umumnya pemilik berbagai disiplin keilmuan. Kecuali, kaum cerdik pandai dari kalangan ahli hadits. Kebiasaan itu jelas kecerobohan yang negatif. Mereka seringkali menyebutkan satu hadits shahih dengan ungkapan: "Diriwayatkan", namun dalam hadits dha'if mereka justru mengungkapkan: Telah berkata si fulan, atau telah meriwayatkan si fulan. Itu jelas penyempalan dari kebenaran.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shalaatu at-Taraawiihi, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, Tanpa keterangan penerbit, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun, Judul terjemahan: Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Abu Umar Basyir al-Maidani, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan IV, Nopember 2000 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog