Skip to main content

Hukum 'aqiqah | Aqiqah | Ketika Anak Itu Lahir | Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk Yang Dinanti

Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk Yang Dinanti.

Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah.

Bab II.

Ketika Anak Itu Lahir.

23. Aqiqah (اَلْعَقِيْقَةُ).

3. Hukum 'aqiqah.

Jumhur (kebanyakan) ulama seperti Imam Malik, asy-Syafi'iy, Ahmad dan al-Bukhari dan lain-lain berpendapat bahwa 'aqiqah tidak wajib akan tetapi sunnah mu'akkadah yang tidak patut ditinggalkan bagi orang yang mampu. Bahkan dengan tegas Imam asy-Syafi'iy mengatakan tentang masalah hukum 'aqiqah, apakah dia termasuk Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau bid'ah? Dan apakah hukumnya wajib atau sunnah mu'akkadah? "Ada dua orang (dua madzhab) yang telah melampaui batas dalam masalah ini, yang pertama mengatakan bahwa 'aqiqah itu bid'ah (!?) dan yang kedua mengatakan bahwa 'aqiqah itu wajib (!?)." (164)

Imam Ahmad sering ditanya tentang hukum 'aqiqah apakah wajib? Beliau menjawab, "Tidak! Akan tetapi barang siapa yang ingin menyembelih, maka hendaklah ia menyembelih." Dalam kesempatan yang lain beliau pernah ditanya lagi apakah 'aqiqah itu wajib, jawab beliau, "Adapun tentang wajibnya ('aqiqah) saya tidak mengetahuinya, (dan) saya tidak mengatakan bahwa 'aqiqah itu wajib." Dan beliau pun beberapa kali dalam jawabannya tentang hukum 'aqiqah mengatakan bahwa sesuatu yang paling kuat tentang masalah 'aqiqah ini ialah hadits yang menyatakan bahwa "anak itu tergadai dengan 'aqiqahnya." (165) (Lihat lafazh dan artinya di fasal 20 masalah yang pertama.)

Saya berkata: Dalil tentang tidak wajibnya 'aqiqah ditunjuki dari tiga jalan:

Pertama: Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ditanya tentang 'aqiqah di dalam hadits 'Abdullah bin Amr bin 'Ash yang lalu di masalah kedua hadits keenam, "Barang siapa yang suka/ ingin menyembelih untuk anaknya, maka hendaklah dia menyembelih untuk anaknya..."

Di dalam hadits yang mulia ini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengkaitkan dengan "keinginan (مَنْ أَحَبَّ)" yang maknanya, "Barang siapa yang ingin meng'aqiqahkan anaknya hendaklah dia meng'aqiqahkannya dan barang siapa yang tidak ingin maka tidak ada dosa baginya." Karena kaitan mahabbah (keinginan) menunjukkan diserahkannya pilihan kepada bapak, apakah dia akan 'aqiqahkan anaknya atau tidak terserah kepadanya. Hadits ini adalah sebesar-besar hadits yang menunjukkan bahwa 'aqiqah tidak wajib akan tetapi disukai atau sunat saja selain ditunjuki juga oleh jalan yang kedua di bawah ini:

Kedua: Fi'il beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak meng'aqiqahkan anaknya yang bernama Ibrahim (baca kembali haditsnya di fasal ke-20 masalah pertama). Menurut penelitian Ibnu Hajar tidak dinukil dari beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau meng'aqiqahkan anaknya. (Fat-hul Baari' kitab 'aqiqah bab I).

===

(164) Fat-hul Baari' Kitabul 'Aqiqah bab pertama.

(165) Tuhfatul Maudud bab VI fasal 7.

===

Maraji'/ Sumber:
Buku: Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis: Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah, Penerbit: Darul Qolam, Jakarta - Indonesia, Cetakan III, Tahun 1425 H/ 2004 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT