Menolak Syubuhat dan Tuduhan | Keharusan Berkonsisten dengan 11 Raka'at, Dalil-dalil Berkenaan dengan Hal Itu | Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah
Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Fasal VII.
Keharusan Berkonsisten dengan 11 Raka'at, Dalil-dalil Berkenaan dengan Hal Itu.
Menolak Syubuhat dan Tuduhan.
Kemudian, ketika kami bersikeras untuk lebih mengutamakan bilangan raka'at yang tersebut dalam ajaran as-Sunnah, meninggalkan selain itu, hal itu tak mengharuskan kami -sebagaimana yang dituduhkan mereka yang kami isyaratkan dalam komentar kami tadi- untuk mendiskreditkan mereka yang berpendapat menyelisihi kami. Karena kami yakin bahwa mereka berpendapat demikian dalam hal itu, atau dalam hal lain, tidaklah karena memperturutkan hawa nafsu belaka, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya (hal. 9, 10, 11) pada tulisan pertama, dan (hal. 35-39) pada buku ini. Oleh sebab itu kami pun heran, mengapa masih terbetik dalam pikiran seorang muslim, bahwa ada orang Islam (kami), yang menuduh mereka (para ulama) itu sebagai ahli bid'ah, sungguh mereka itu amat jauh dari tuduhan tersebut. Justru mereka itu tetap akan mendapatkan ganjaran, apapun hasil ijtihad mereka itu sebagaimana yang telah kami jelaskan berulang-ulang. Bagaimana tidak? Sedangkan mereka adalah orang-orang yang membimbing kita untuk mengikuti petunjuk al-Kitab dan as-Sunnah, dari sisi mendahulukan keduanya di atas selainnya. Coba lihat Imam asy-Syafi'ie rahimahullah yang menyatakan: "Sudah menjadi konsensus kaum muslimin; bahwa apabila sudah jelas bagi seorang muslim itu satu Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka haram baginya untuk meninggalkan Sunnah tersebut karena perkataan seseorang." (Lihat takhrijnya dalam Shifat Shalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal. 28)
Juga bukan keharusan bagi kami -sebagaimana yang disangka sebagian mereka- untuk menganggap diri kami ketika menyelisihi para Imam itu, lebih utama dalam ilmu dan pemahaman. Sama sekali tidak. Itu sangkaan yang batil. Karena secara mendasar kita sudah meyakini, bahwa para Imam yang empat itu lebih alim ketimbang murid-murid mereka, dan generasi sesudah mereka lagi. Meski demikian, tetapi murid-murid itu juga menyelisihi mereka dalam banyak pendapat mereka. Demikianlah bergulir Sunnatullah, yang datang belakangan menyelisihi yang hidup sebelum mereka. Itu berlaku selama di kalangan kaum muslimin masih terdapat para ulama ahli penelitian ilmiah. Namun tidaklah terkesan bahwa menyelisihi pendahulu, berarti menganggap diri lebih utama dari mereka. Dengan sekedar menyelisihi mereka, bagaimana dapat diukur bahwa (si pengeritik) lebih utama dari ulama itu, sedangkan level mereka masih beberapa tingkat di bawah para ulama tersebut! Yang jelasnya, sikap kami terhadap para ulama tersebut adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ashim bin Yusuf (61), bahwa dia pernah ditanya: "Mengapa engkau banyak menyelisihi Abu Hanifah?" Dia menanggapi: "Abu Hanifah itu mendapat banyak sesuatu yang kita tidak dapat. Dia memahami sesuatu yang kita tidak paham. Dan kita hanya diberi pemahaman apa adanya. Maka tak ada hujjah bagi kita untuk memfatwakan ucapannya, kalau kita tidak mengetahui darimana dia mengambil!" (62)
Aku ungkapkan hal ini, dengan tetap menyadari bahwa rahmat Allah itu terlalu luas, kalau hanya dikhususkan pada Imam yang empat itu saja. Allah Berkuasa, untuk menciptakan sepeninggal mereka orang yang lebih alim dari mereka. Dengan catatan juga, bahwa orang yang kalah keutamaannya, terkadang memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang yang lebih utama darinya. Hal ini lumrah, dan sudah dikenal dengan baik di kalangan para ulama. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
"Ummat ibarat hujan, tak diketahui mana yang terbaik, yang terdahulu, atau yang datang belakangan."
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (IV: 4) dan dihasankan oleh al-Uqaili hal. 110-111, juga yang lainnya)
===
(61) [Beliau termasuk di antara para sahabat Imam Muhammad dan pernah juga belajar dari Abu Yusuf. Lihat buku Shifat ash-Shalah (hal. 35) cetakan yang ke sebelas - al-Maktab al-Islami.]
(62) [Al-Fulani dalam Ieqadhu al-Himam, menukil ucapan dari al-Faqih Abu Laits as-Samarqandi. Ashim menyinggung akhir penyataannya: "...maka tak ada hujjah bagi kita untuk memfatwakan...dst!" dengan menisbatkan asalnya pada ucapan Abu Hanifah sendiri: "Haram bagi seseorang mengambil pendapat kami, kalau ia tidak mengetahui darimana kami mengambilnya." Maka sebenarnya orang itu tetap mengikuti jejak Abu Hanifah, meskipun dengan harus menyelisihinya?!]
===
Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shalaatu at-Taraawiihi, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, Tanpa keterangan penerbit, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun, Judul terjemahan: Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Ustadz Abu Umar Basyir al-Maidani hafizhahullah, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan IV, Nopember 2000 M.
===
Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT