Penukilan Pendapat Mereka yg Mengingkari Tambahan Raka'at dari Kalangan Ulama | Tidak Ada Seorang pun Shahabat yg Pernah Shalat Tarawih 20 Raka'at, Penelitian Riwayat Tersebut & Penjelasan Tentang Kelemahannya | Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah
Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Fasal VI.
Tidak Ada Seorang pun Shahabat (radhiyallahu 'anhum) yang Pernah Shalat Tarawih 20 Raka'at, Penelitian Riwayat Tersebut dan Penjelasan Tentang Kelemahannya.
Penukilan Pendapat Mereka yang Mengingkari Tambahan Raka'at dari Kalangan Ulama.
Oleh sebab itu kita menyatakan: Kalaupun benar riwayat tambahan dari 11 raka'at dalam shalat Tarawih dari salah seorang al-Khulafa' ar-Rasyidun atau ahli fiqih lainnya dari kalangan para Shahabat, tak akan lebih yang kita ucapkan dari sekedar membolehkannya. (57)
Karena kita menyadari akan keutamaan dan kefaqihan mereka, bahwa mereka juga tak mungkin melakukan perbuatan bid'ah dalam Islam karena mereka juga melarang manusia untuk melakukannya. Akan tetapi karena memang tak ada riwayat yang shahih dari mereka sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, maka kitapun tak membolehkan adanya tambahan raka'at tersebut. Yang mencetuskan pendapat ini sebelum kami adalah para pionirnya para ulama yang diujung-tombaki oleh al-Imam Malik dalam salah satu dari dua pendapatnya. Imam as-Suyuthi dalam al-Mashabih fis Shalati at-Tarawih (II: 77 dari fatwa-fatwanya) menyatakan: "Salah seorang dari sahabat kita yaitu al-Juri (58) meriwayatkan dari Imam Malik bahwa dia pernah berkata: "Jumlah raka'at yang diperintahkan 'Umar ketika dia mengumpulkan orang banyak itu lebih aku sukai, yaitu: 11 raka'at. Karena itu adalah shalatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." Seseorang bertanya: "Apakah 11 raka'at itu sudah termasuk witir?" Dia menjawab: "Sudah, dan kalau dilakukan 13 raka'at juga tak jauh berbeda." (59) Dia melanjutkan: "Aku tidak tahu, siapa yang membuat bid'ah shalat dengan raka'at banyak seperti begini?!"
Imam Ibnul 'Arabi dalam Syarhu at-Tirmidzi (IV: 19) setelah menyinggung riwayat-riwayat dari 'Umar yang saling berkontrakdiksi, juga menyinggung pendapat bahwa bilangan raka'at Tarawih itu tidak memiliki batasan tertentu, dia berkata:
"Yang benar, bahwa hendaknya seseorang shalat dengan bilangan raka'at yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yakni 11 raka'at. Adapun bilangan raka'at selain itu, maka tak ada asalnya, dan memang juga tak memiliki batasan. Kalau tak ada batasannya, maka tak mungkin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat seperti itu. Karena beliau, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, tak pernah (shalat malam) melebihi 11 raka'at. Shalat yang dimaksudkan di situ adalah shalat malam. Maka sudah menjadi keharusan kita mencontoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam."
Oleh sebab itu, Imam ash-Shan'ani menegaskan dalam Subulu as-Salam, bahwa jumlah raka'at yang 20 dalam Tarawih itu bid'ah. Dia berkata (II: 11-12): "Tak ada bid'ah yang terpuji, setiap bid'ah itu sesat." (60)
Aku mengatakan: Nanti akan dijelaskan pembahasan ini pada tulisan khusus tentang bid'ah, insya Allah. Kali ini cukup kami ingatkan para pembaca dengan ucapan seorang Shahabat yang agung 'Abdullah bin 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhuma: "Setiap bid'ah itu sesat, meskipun manusia menganggapnya baik." Agar merekapun mengerti dengan jelas bahwa mereka yang beranggapan sedang membela para Shahabat Nabi tersebut, pada hakekatnya sedang berada pada taraf menyelisihi apa yang dilarang oleh para Shahabat tersebut radhiyallahu 'anhum. Tidak cukup dengan itu, mereka malah menuduh para da'i yang mengajak untuk mengamalkan as-Sunnah bahwa merekalah yang menyelisihi para Shahabat. Padahal justru mereka itulah pada hakekatnya yang paling mengikuti jejak para Shahabat kalau memang shahih periwayatannya dari mereka (Shahabat) itu. Hal yang sudah gamblang bagi pembaca yang budiman dengan penjelasan pada tulisan yang pertama dan tulisan ini.
===
(57) [Itu pun kalau dimisalkan tak ada cacat tersembunyi yang menyebabkan gugurnya hukum tersebut sebagaimana yang telah kami utarakan sebelumnya (hal. 61-66)].
(58) [Didhammahkan awal namanya. Mereka yang memiliki nama serupa dari kalangan penganut madzhab Syafi'iyyah banyak sekali, di antaranya Umar bin Ahmad al-Juri dari Abu Ahmad bin asy-Syuraqi. Yang serupa juga namanya; Amru bin Ahmad bin Muhammad al-Juri dari Abul Husein al-Khaffaf, juga saudaranya Zahir yang berkuniyah Abu Manshur, wafat tahun 469 H. Al-Hafizh Muhammad Nashiruddin ad-Dimasyqi menyebutkannya dalam at-Taudhihul Musytabih (161/ II/ 162). Aku tidak tahu, siapa di antara mereka itu yang diinginkan oleh Imam as-Suyuthi rahimahullah.
Perhatian: Buku at-Taudhih tadi, sebagaimana yang aku sebutkan adalah tulisan al-Hafizh Ibnu Nashiruddin, tersimpan dalam tiga jilid yang menjadi inventaris perpustakaan az-Zhahiriyah. Al-Ustadz Yusuf al-'Isy telah membuat katalog untuk muatan manuskrip perpustakaan itu -di bidang sejarah- (hal. 21) untuk lembaga tertentu. Hanya saja dia menisbatkan buku itu kepada Ibnu Hajar al-Asqalani, itu keliru sekali. Dalam hal itu aku punya banyak alasan yang aku kemukakan dalam komentarku terhadap satu bab pembahasan yang mengutarakan: "Berbagai pembahasan Abu Ja'far Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah dengan para gurunya." Dan tidak pada tempatnya untuk dibahas di sini.]
(59) [Dia mengisyaratkan beberapa riwayat dari 'Aisyah (radhiyallahu 'anhuma). Dan itulah yang kuat menurut kami sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (hal. 16), bahwa dua raka'at di antaranya adalah Sunnah ba'diyah 'Isya. Nanti akan lebih dijelaskan lagi.]
(60) [Dari penjelasan ini, dan juga penjelasan sebelumnya, kita mengetahui kebatilan pendapat para penulis al-Ishabah dalam tulisan mereka itu (hal. 60): "Para Shahabat, Tabi'in dan generasi sesudah mereka sampai dengan sekarang ini secara bersamaan telah mengakui keabsahan Tarawih 20 raka'at." Karena pengakuan itu jelas tak benar diriwayatkan dari satupun di antara Shahabat radhiyallahu 'anhum, sebagaimana telah dibuktikan sebelumnya. Bahkan itu bertentangan dengan perintah 'Umar untuk ditegakkannya Tarawih 11 raka'at. Mereka juga menyatakan: "Dan tak seorangpun di antara mereka yang menyelisihi dengan menolak keabsahannya selain segelintir orang yang muncul di zaman sekarang ini seperti Syaikh Nashir (al-Albani) dan pengikutnya." Ini sungguh satu kebodohan, atau memang mereka pura-pura bodoh/ tak tahu ucapan Imam Malik, Ibnul 'Arabi, ash-Shan'ani dan para ulama lain yang tidak kami sebutkan ucapan-ucapan mereka. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala tak pernah menjanjikan untuk memelihara ucapan-ucapan mereka yang seide dengan kita dalam membela mengingkari sesuatu yang menyelisihi as-Sunnah. Tapi Allah menjanjikan bagi kita untuk memelihara Sunnah itu sendiri. Sunnah itu sudah jelas bagi kita maka kita tidak boleh meninggalkannya hanya karena ucapan seseorang, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam asy-Syafi'ie rahimahullah yang akan disebutkan nanti. Lalu mereka melanjutkan: "Mereka telah mendiskreditkan ummat ini dari awal hingga akhirnya, dimana di dalamnya juga terdapat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya radhiyallahu 'anhum." Ini termasuk di antara fitnah mereka yang banyak terhadap diri kami, yang sebagian telah disinggung pada tulisan kami yang pertama. Dan kami bersabar untuk tidak membalas perlakuan mereka. Karena menjunjung adab-adab Islam.]
===
Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shalaatu at-Taraawiihi, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, Tanpa keterangan penerbit, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun, Judul terjemahan: Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Ustadz Abu Umar Basyir al-Maidani hafizhahullah, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan IV, Nopember 2000 M.
===
Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT