Skip to main content

Tak Ada Riwayat Shahih yang Menyatakan Bahwa 'Umar Pernah Shalat Tarawih 20 Raka'at, dan Penelitian Riwayat-riwayat Tersebut serta Penjelasan Tentang Kedha'ifannya | 'Umar bin al-Khaththab Menghidupkan Kembali Shalat Tarawih (Berjama'ah) dan Menyuruh Manusia Kala itu Untuk Shalat Sebelas Raka'at | Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah

Shalaatu at-Taraawiihi.

Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.

Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Fasal IV.

'Umar bin al-Khaththab (radhiyallahu 'anhu) Menghidupkan Kembali Shalat Tarawih (Berjama'ah) dan Menyuruh Manusia Kala itu Untuk Shalat Sebelas Raka'at.

Tak Ada Riwayat Shahih yang Menyatakan Bahwa 'Umar radhiyallahu 'anhu Pernah Shalat Tarawih 20 Raka'at, dan Penelitian Riwayat-riwayat Tersebut serta Penjelasan Tentang Kedha'ifannya.

Riwayat yang shahih tadi, tidak boleh disanggah dengan apa yang diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaq lewat jalur yang lain dari Muhammad bin Yusuf, dengan lafazh: "Dua puluh satu raka'at." (32)

Karena lafazh jelas keliru sekali ditinjau dari dua sisi:

Yang pertama: Karena menyalahi perawi-perawi tsiqah (terpercaya) sebagaimana yang tersebut sebelumnya, yang meriwayatkan: "Sebelas raka'at."

Yang kedua: 'Abdurrazzaq sendiri meriwayatkannya secara menyendiri dengan lafazh ini. Kalaupun para perawi antara dia dengan Muhammad bin Yusuf selamat dari cela, justru cela itu berasal dari 'Abdurrazzaq sendiri. Karena dia -meskipun orang yang terpercaya lagi hafizh (penghafal hadits) dan termasyhur- adalah orang yang buta di akhir hidupnya, sehingga berubah, sebagaimana diutarakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Taqrib. Oleh sebab itu juga al-Hafizh Abu 'Umar Ibnu ash-Shalah mengomentarinya dalam Muqaddimah 'Ulumi al-Hadits (hal. 407): "Agak ngawur di akhir hidupnya." Ahmad bin Hambal juga menyatakan bahwa dia buta di akhir hidupnya. Sehingga dia hanya dapat didiktekan orang dan menghafal dari situ. Maka segala riwayat yang didengar dari dia setelah kondisinya demikian tak lagi ada apa-apanya (tak diterima)." Imam an-Nasa-i menyatakan: "Riwayat yang tertulis darinya di akhir hayatnya, perlu diteliti kembali."

Dalam mukaddimah fasal pembahasan yang sama dia (an-Nasa-i) menyatakan (hal. 391):

"Hukum atas mereka (yaitu perawi-perawi yang menyimpang di akhir hidupnya), boleh diambil periwayatan orang yang mengambil darinya sebelum menjadi ngawur (mungkin karena gila, atau terbakar buku-bukunya, -pent). Dan sesudah kondisi mereka yang demikian, tak boleh diterima setiap hadits yang diriwayatkan seseorang dari mereka. Atau bisa juga urusannya agak rumit, apakah hadits itu diriwayatkan sebelum atau sesudah kondisi mereka demikian. Itupun tidak diterima."

Aku katakan: Atsar/ riwayat ini termasuk kategori yang ketiga, yakni yang tak diketahui apakah diriwayatkan darinya sebelum atau sesudah menjadi ngawur, maka tidak bisa diterima. Itu kalau riwayat ini selamat dari keganjilan atau penyelisihan terhadap riwayat mereka yang terpercaya. Kalau ternyata demikian, bagaimana lagi bisa diterima?

Mungkin ada yang menyatakan: Atsar itu juga diriwayatkan oleh al-Firyabi dalam ash-Shiyam (76: 1) dan al-Baihaqi dalam as-Sunan (II: 496) (33) dari jalur Yazid bin Khushaifah dari as-Saib bin Yazid, bahwa dia berkata: "Mereka biasa shalat di masa 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu pada bulan Ramadhan sebanyak 20 raka'at." Dia melanjutkan: "Mereka juga biasa membaca hingga ratusan ayat. Sehingga mereka terpaksa bertelekan pada tongkat-tongkat mereka di masa kekhalifahan 'Utsman karena saking panjangnya shalat itu."

Maka aku katakan: Jalur yang menyebutkan 20 raka'at ini merupakan sandaran mereka yang beranggapan disyari'atkannya shalat tarawih di bulan Ramadhan 20 raka'at. Secara zhahir, sanadnya nampak shahih. Oleh sebab itu sebagian ulama menshahihkannya. Akan tetapi hadits itu memiliki cacat bahkan beberapa cacat tersembunyi yang tidak memungkinkan riwayat itu dikatakan shahih, bahkan menjadikannya sebagai riwayat dha'if dan munkar. Penjelasannya dalam beberapa sisi:

Yang pertama: Sesungguhnya Ibnu Khushaifah ini -meskipun orang yang terpercaya- Imam Ahmad telah mengomentarinya dalam salah satu riwayatnya: "Pemilik hadits-hadits munkar." Oleh sebab itu Imam adz-Dzahabi mengutarakannya dalam al-Mizan (34): "Dalam ucapan Ahmad itu terbetik bahwa Ibnu Khushaifah itu seringkali menyendiri dengan riwayat yang tak diriwayatkan oleh para perawi terpercaya. (35) Dalam kondisi demikian, maka haditsnya tertolak. (Karena) apabila ia menyelisihi perawi yang lebih jitu hafalannya darinya, maka haditsnya dianggap syadz (ganjil) sebagaimana ditetapkan dalam kodifikasi ilmu hadits. Dan atsar ini termasuk dalam kategori itu. Karena ruang lingkar periwayatannya berkisar atas diri as-Saib bin Yazid sebagaimana yang dapat kita saksikan. Lalu yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad bin Yusuf dan Ibnu Khushaifah. Dan keduanya berselisih dalam bilangan raka'at. Yang pertama (Muhammad bin Yusuf): 11 raka'at. Sedangkan yang lain (Ibnu Khushaifah): 20 raka'at. Maka yang benar adalah perkataan yang pertama, karena dia lebih terpercaya. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan kriterianya: "Terpercaya lagi meyakinkan." Namun mengenai perawi keduanya hanya menyatakan: "Terpercaya." Selisih ini sudah merupakan salah satu faktor keunggulannya apabila terjadi kontradiksi antara keduanya, sebagaimana sudah menjadi hal yang dikenal di kalangan mereka yang mengerti ilmu yang mulia ini (ilmu hadits, -pent).

Yang kedua: Sesungguhnya Ibnu Khushaifah sendiri berbolak-balik dalam meriwayatkan bilangan itu. Isma'il bin Umayyah menyatakan, bahwa Muhammad bin Yusuf, yaitu keponakan as-Saib bin Yazid itu mengabarkannya (aku katakan: lalu dia menyebutkan seperti riwayat Imam Malik dari Yusuf. Lalu Ibnu Umayyah berkomentar:) Aku bertanya: "Apa bukan 21 raka'at?" Maka dia (Ibnu Yusuf) menanggapi: "Ibnu Khushaifah sendiri yang meriwayatkannya dari as-Saib." Maka Ibnu Umayyah pun bertanya kepada Ibnu Khushaifah. Maka Ibnu Khushaifah menjawab: "Kurasa, as-Saib berkata: 21 raka'at."

Aku katakan: Derajat sanadnya shahih. Ucapannya dalam riwayat ini: 21, itu bertentangan riwayat dia sebelumnya: 20. Da ucapannya dalam riwayat ini juga: Aku rasa, artinya: Aku duga, itu menunjukkan bahwa dia berbolak-balik dalam meriwayatkan bilangan itu. Sehingga kesimpulannya, dia meriwayatkan hadits itu dengan "dugaan", tidak secara pasti, karena nampak dia belum hafal betul. (Pembuktian) ini saja sudah cukup untuk membatalkan hujjah bilangan (yang) 20 itu. Bagaimana kalau ditambah lagi dengan penyelisihannya terhadap para perawi yang lebih terpercaya/ jitu hafalannya dari dia sebagaimana dalam penjelasan sisi pertama?

===

(32) [Lihat Fathul Bari (IV: 204). {Juga al-Mushannaf no. 7730}]

(33) [Ibnu Hajar dalam al-Fath (IV: 204) menyandarkannya kepada Imam Malik, dugaan itu keliru.]

(34) [Dan sebagaimana sudah diketahui, dia (adz-Dzahabi) hanya menyebutkan dalam bukunya, itu para perawi yang bermasalah.]

(35) [Lihat ar-Raf'u wa at-Takmil fi Jarhi wa at-Ta'dil oleh Abi al-Hasanat al-Kanwi (hal. 14-15).]

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shalaatu at-Taraawiihi, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, Tanpa keterangan penerbit, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun, Judul terjemahan: Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Abu Umar Basyir al-Maidani, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan IV, Nopember 2000 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT