Kalaupun Shahih Riwayat Hadits 20 Raka'at Itu, Tidak Lain Hanyalah Karena Satu Sebab, dan Sebab Itu Sudah Tak Ada Lagi | 'Umar bin al-Khaththab Menghidupkan Kembali Shalat Tarawih (Berjama'ah) dan Menyuruh Manusia Kala itu Untuk Shalat Sebelas Raka'at | Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah
Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Fasal IV.
'Umar bin al-Khaththab (radhiyallahu 'anhu) Menghidupkan Kembali Shalat Tarawih (Berjama'ah) dan Menyuruh Manusia Kala Itu Untuk Shalat Sebelas Raka'at.
Kalaupun Shahih Riwayat Hadits 20 Raka'at Itu, Tidak Lain Hanyalah Karena Satu Sebab, dan Sebab Itu Sudah Tak Ada Lagi.
Artinya, kalaupun dimisalkan ada seseorang yang belum puas dengan penjelasan terdahulu tentang dha'ifnya riwayat 20 raka'at itu dari 'Umar (radhiyallahu 'anhu) -dan hal itu tentu mustahil bagi orang yang bijak- atau dimisalkan ada orang yang membawa riwayat yang shahih dari 'Umar dengan jumlah bilangan tersebut -dan ini lebih mustahil lagi dari yang pertama-, kalau memang ada, sesungguhnya kita katakan: Tidaklah juga harus mengamalkan (tarawih) dengan jumlah raka'at itu, dengan konsekuensi meninggalkan pengamalan Sunnah yang shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang sebelas raka'at. Apalagi dengan anggapan bahwa orang yang mengamalkan Sunnah itu telah keluar dari al-Jama'ah! Sebabnya, mengharuskan satu perbuatan itu membutuhkan nilai lebih dari sekedar mengamalkannya sebagaimana yang kami utarakan. Karena, perbuatan 'Umar yang melakukan 20 raka'at itu hanya menunjukkan hal itu disyari'atkan, tidak lebih perbuatan 'Umar itu tetap harus diseiringkan dengan perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyelisihinya dalam jumlah raka'at. Dalam konteks seperti itu, jelas tak boleh mengesampingkan dan berpaling dari perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan hanya menetapi perbuatan 'Umar radhiyallahu 'anhu. Paling jauh, kesimpulannya boleh mengikuti perbuatan 'Umar tadi, tapi tetap dengan keyakinan yang pasti bahwa mengikuti perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tetap lebih utama. Persepsi ini tak layak diragukan oleh orang yang berakal. (Hal. 39). Ini semua, kalau dimisalkan bahwa 'Umar memang menambah-nambahi jumlah raka'at yang disunnahkan dengan alasan bahwa menambah jumlah itu tidaklah terlarang secara mutlak -sebagaimana yang diyakini sebagian mereka dan sudah kami sanggah sebelumnya-. Atau bisa juga 'Umar tidak beralasan demikian, tapi alasan dia adalah untuk memberi keringanan kepada manusia (sebagai ganti) dari panjangnya raka'at pada tarawih yang biasa dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersama para Shahabat (radhiyallahu 'anhum), sebagaimana yang dapat dipahami oleh pembaca budiman dalam hadits-hadits yang telah kami utarakan pada fasal pertama (hal. 9-15). Karena sebagian ulama menyebutkan bahwa dilipatgandakan raka'at itu sebagai ganti dari panjangnya shalat. (41)
===
(41) [Lihat Majmu' al-Fatawa - oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (I: 148), Fathul Bari (IV: 204), al-Hawi lil Fatawa - oleh Imam as-Suyuthi (II: 77) dan lain-lain.]
===
Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shalaatu at-Taraawiihi, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, Tanpa keterangan penerbit, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun, Judul terjemahan: Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Abu Umar Basyir al-Maidani, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan IV, Nopember 2000 M.
===
Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT