Skip to main content

Dua Macam Fajar | Waktu Puasa | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kesembilan.

Waktu Puasa.

2. Dua Macam Fajar.

Di antara hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam secara rinci terdapat keterangan yang menerangkan bahwa fajar itu ada dua, yaitu:

a. Fajar kadzib, yaitu fajar dimana shalat Shubuh tidak sah untuk dilakukan dan tidak pula diharamkan bagi orang yang akan berpuasa untuk makan dan minum pada waktu itu.

b. Fajar shadiq, yaitu saat dimana orang yang berpuasa diharamkan untuk makan dan minum dan dihalalkan untuk mengerjakan shalat Shubuh.

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Fajar itu ada dua: Adapun fajar yang pertama, makanan tidak diharamkan dan tidak diperbolehkan mengejakan shalat. Sedangkan fajar yang kedua, makanan diharamkan dan dibolehkan mengerjakan shalat Shubuh." (49)

Ketahuilah saudaraku, bahwa:

a. Fajar kadzib: Berwarna putih panjang yang menjulur ke atas seperti ekor serigala.

b. Fajar shadiq: Berwarna merah yang naik dan muncul dari puncak gunung dan yang tersebar di jalanan, gang-gang, dan rumah-rumah. Inilah yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dan shalat.

Dari Samurah radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Janganlah kalian tertipu oleh adzan Bilal dan warna putih ini untuk waktu Shubuh sehingga naik." (50)

Dari Thalq bin 'Ali (radhiyallahu 'anhu) bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Makan dan minumlah serta janganlah kalian tertipu oleh pancaran putih yang naik. Makan dan minumlah sehingga tampak oleh kalian warna merah." (51)

Ketahuilah bahwa sifat-sifat fajar shadiq adalah sesuai dengan ayat mulia ini: "Sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." Jika cahaya fajar telah tampak di ufuk dan puncak gunung sehingga terlihat seakan-akan ia sebagai benang putih, lalu tampak pula di bagian atasnya benang warna hitam, yaitu sisa-sisa malam yang akan segera beranjak pergi.

Jika hal tersebut telah benar-benar tampak, maka berhentilah dari makan dan minum serta bercampur. Dan jika tangan engkau masih memegang gelas berisi air atau minuman, maka minumlah dengan tenang dan nikmat, karena hal itu sebagai keringanan yang sangat berharga dari Rabb yang Mahapenyayang kepada hamba-hamba-Nya yang mengerjakan puasa, sekalipun engkau telah mendengar adzan berkumandang.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Jika salah seorang di antara kalian mendengar suara adzan sedang bejana masih di tangannya (sedang meneguk air minum), maka janganlah dia meletakkannya sehingga keperluannya pada bejana itu terpenuhi." (52)

Yang dimaksud dengan an-nida' di sini adalah adzan Shubuh kedua saat fajar shadiq telah tiba berdasarkan pada tambahan yang diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 510) dan Ibnu Jarir ath-Thabari (II/ 102) dan lain-lain setelah hadits: "Dan muadzin mengumandangkan adzan jika sudah terbit fajar." (53)

Makna ini diperkuat oleh apa yang diriwayatkan oleh Abu Umamah radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, "Pernah iqamat dikumandangkan, sedang bejana masih di tangan 'Umar (radhiyallahu 'anhu). Dia bertanya, 'Apakah aku boleh meminumnya, wahai Rasulullah?' Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam) menjawab, 'Boleh.' Maka 'Umar pun meminumnya." (54)

Dengan demikian, jelas sudah bahwa pengadaan istilah imsak dari makan sebelum terbit fajar shadiq dengan alasan pencegahan adalah bid'ah, yang diada-adakan.

Di dalam kitab Fat-hul Baari (IV/ 199), al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: "Di antara bid'ah yang harus ditolak yang berkembang pada zaman sekarang ini adalah pnengumandangan adzan kedua tiga jam sebelum terbit fajar pada bulan Ramadhan dan juga mematikan lampu yang dijadikan sebagai tanda diharamkannya makan dan minum bagi orang yang hendak berpuasa. Hal tersebut dilakukan dengan alasan untuk mengambil sikap hati-hati dalam beribadah. Dan tidak ada yang mengetahui hal tersebut kecuali beberapa orang saja. Hal tersebut telah menyeret mereka untuk tidak mengumandangkan adzan kecuali setelah beberapa saat matahari terbenam untuk meyakinkan masuknya waktu. Oleh karena itu, mereka mengakhirkan waktu berbuka dan menyegerakan waktu sahur, dan mereka juga menyalahi Sunnah. Oleh sebab itu, kebaikan mereka sangat minim sekali, sedangkan keburukan mereka sangat banyak. Hanya Allah yang patut menjadi tempat meminta pertolongan.

Dapat kam katakan: "Bid'ah imsak sebelum terbit fajar ini masih berlangsung bersamaan dengan penetapan waktu sebelum waktunya. Dan hanya kepada Allah sepatutnya kita mengadu."

===

(49) Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (III/ 210), al-Hakim (I/ 191 dan 495), ad-Daraquthni (II/ 165), al-Baihaqi (IV/ 261) melalui jalan Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari 'Atha`, dari Ibnu 'Abbas. Dan sanadnya adalah shahih.

Hadits ini juga memiliki satu syahid dari Jabir (radhiyallahu 'anhu), diriwayatkan oleh al-Hakim (I/ 191), al-Baihaqi (IV/ 215), ad-Daraquthni (II/ 165).

Dan terjadi perbedaan dalam washl dan irsalnya. Ada syahid lain dari ats-Tsauban yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (III/ 27).

(50) Diriwayatkan oleh Muslim (1094).

(51) Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (III/ 76), Abu Dawud (II/ 304), Ahmad (IV/ 23), Ibnu Khuzaimah (III/ 211) melalui jalan 'Abdullah bin Nu'man, dari Qais bin Thalq, dari ayahnya, sanadnya shahih. 'Abdullah bin Nu'man dinilai tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Ibnu Hibban, dan al-Ajali. Dan Ibnu Khuzaimah tidak mengetahui keadilannya. Ibnu Hajar mengatakan: "Maqbul."

(52) Diriwayatkan oleh Abu Dawud (235), Ibnu Jarir (3115), al-Hakim (I/ 426), al-Baihaqi (II/ 218), Ahmad (423) melalui jalan Hammad, dari Muhammad bin 'Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah (radhiyallahu 'anhu). Sanadnya hasan. Hadits ini mempunyai jalan lain, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 510), al-Hakim (I/ 203 dan 205) melalui jalan Hammad, dari 'Ammar bin 'Ammar, dari Abu Hurairah (radhiyallahu 'anhu). Dan sanadnya shahih.

(53) Tambahan ini membatalkan apa yang disampaikan oleh Syaikh Habiburrahman al-A'zhami al-Hanafi sebagai komentar terhadap buku, Mushannaf 'Abdurrazzaq (IV/ 173), dimana dia mengatakan, "Hadits tersebut diartikan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengetahui bahwa muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar." Walhamdulillaah.

(54) Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (II/ 102) melalui dua jalan darinya.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog