Skip to main content

Apakah darah tergolong najis? (2)

Kitab Thoharoh

Thoharoh haqiqiyah

Najis

Apakah darah tergolong najis?

Darah itu ada beberapa jenis:

2. Darah manusia (1)

Terdapat perselisihan pendapat mengenainya. Pendapat yang masyhur di kalangan 'Ulama-'ulama madzhab fiqih bahwa darah adalah najis. Namun, mereka tidak memiliki hujjah. Hanya saja darah itu diharomkan berdasarkan nash al-Qur-an, dalam firman-NYA:

"Katakanlah, 'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharomkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi; karena sesungguhnya semua itu kotor."
(Qur-an Suroh al-An'am: Ayat 145)

Menurut mereka, pengharoman itu mengindikasikan kenajisan, sebagaimana yang mereka lakukan berkenaan dengan khomer. Dan ini sudah jelas. Tetapi telah dinukil dari sejumlah 'Ulama tentang ijma' penajisannya. Akan disebutkan pembahasannya tentang hal ini.

Di lain pihak, sejumlah 'Ulama muta'akhirin, di antaranya asy-Syaukani, Shiddiq Khan, al-Albani, dan Ibnu 'Utsaimin berpendapat mengenai kesuciannya. Karena, menurut mereka, tidak ada ketetapan ijma'. Mereka berargumen dengan dalil-dalil berikut ini:

a. Hukum asal segala sesuatu itu suci, hingga ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Kami tidak pernah mengetahui bahwa Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam memerintahkan untuk mencuci darah selain darah haidh. Padahal banyak orang sering mengalami luka atau sejenisnya. Jika darah itu najis, niscaya Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam telah menjelaskannya karena masalah ini sangat dibutuhkan.

b. Kaum Muslimin, dari dahulu hingga sekarang, tetap diperintahkan mengerjakan sholat dengan luka-luka yang ada pada tubuh mereka. Bahkan ada yang mengalirkan darah sangat banyak yang tidak bisa ditolerir. Namun, tidak pernah diriwayatkan dari Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam bahwa Beliau memerintahkan untuk mencucinya. Tidak pernah pula diriwayatkan, mereka mempersoalkan tentang darah-darah yang mengucur ini.

Al-Hasan berkata, "Dari dahulu sampai sekarang kaum Muslimin tetap mengerjakan sholat dengan luka-luka pada tubuh mereka." (2)

Dalam hadits Shohabat Anshor, "Ketika ia sholat pada malam hari, ia dipanah oleh seorang musyrik. Lalu ia mencabut panahnya dan meletakkannya. Hingga ia dipanah sampai tiga kali. Kemudian ia ruku', sujud, dan terus melanjutkan sholatnya, sementara darah terus mengalir." (3)

Syaikh al-Albani rohimahuLLOOH berkata, (4) "Hadits ini memiliki hukum marfu', karena mustahil Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam tidak mengetahuinya. Jika darah yang banyak keluar itu membatalkan wudhu'nya, tentulah Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam telah menjelaskannya. Karena menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan adalah tidak boleh, seperti yang dikenal dalam kaidah 'ilmu ushul. Anggaplah Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam tidak mengetahuinya, tapi hal ini tidak tersembunyi bagi ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala yang tidak ada perkara yang tersembunyi bagi-NYA di langit dan di bumi. Jika itu membatalkan wudhu', atau najis, tentulah ALLOH telah mewahyukan tentang hal itu kepada Nabi-NYA, sebagaimana kenyataannya yang sudah jelas bagi siapapun."

Dalam hadits tentang terbunuhnya 'Umar bin al-Khoththob rodhiyaLLOOHU 'anhu disebutkan, "Umar terus mengerjakan sholat, sementara darahnya membasahi sekujur tubuhnya." (5) Yakni darahnya terus mengalir.

c. Hadits 'Aisyah rodhiyaLLOOHU 'anhuma tentang kisah kematian Sa'd bin Muadz, ia berkata, "Sa'd bin Muadz terluka pada peperangan Khondak karena dipanah oleh seorang laki-laki pada pelipisnya. Lalu Rosululloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam membuatkan kemah di masjid agar mudah untuk menjenguknya. Ketika malam tiba, melebarlah lukanya, lalu mengalirlah darah dari lukanya hingga membasahi kemah yang ada di sampingnya. Mereka berkata, 'Hai penghuni kemah, apa yang kalian kirimkan kepada kami?' Ketika mereka melihatnya, ternyata luka Sa'd telah pecah dan darahnya memancar deras. Kemudian dia pun meninggal." (6)

Penulis berkata: Tidak diriwayatkan bahwa Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam memerintahkan untuk menyiramkan air padanya. Apalagi hal ini terjadi di masjid, sebagaimana Beliau memerintahkan untuk mengguyurkan air pada air seni orang Arob badui.

d. Ketika Ibnu Rusyd menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan 'Ulama tentang darah ikan, dia menyebutkan sebab perselisihan mereka yaitu tentang masalah status bangkainya. Pihak yang berpendapat bangkainya itu termasuk dalam keumuman pengharoman, maka mereka menghukumi darahnya juga demikian. Sementara pihak yang mengeluarkan bangkai ikan dari keumuman dalil maka mereka mengeluarkan hukum darahnya dari hukum tersebut, karena diqiyaskan pada bangkai.

Penulis berkata: Mereka juga berpendapat sucinya mayat manusia, demikian juga darahnya, menurut kaidah mereka.

Karena itu, Ibnu Rusyd mengomentari setelahnya, "Nash hanya menunjukkan najisnya darah haidh. Adapun selain itu maka hukumnya tetap pada hukum asal yang telah disepakati di antara kedua pihak yang bersengketa, yaitu suci. Dan, tidak boleh dikeluarkan dari hukum asal, kecuali dengan nash yang dengannya hujjah dapat ditegakkan."

Jika ditanyakan: Mengapa tidak diqiyaskan saja dengan darah haidh? Bukankah darah haidh adalah najis?

Kita jawab: Ini adalah qiyas yang tidak tepat.

Karena darah haidh adalah darah kebiasaan kaum wanita. Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam bersabda,

"Sesungguhnya ini adalah sesuatu yang telah ALLOH tetapkan bagi kaum wanita keturunan Adam." (7)

Rosululloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam bersabda tentang darah istihadhoh,

"Itu adalah darah yang berasal dari urat." (8)

Kemudian darah haidh adalah darah yang sangat kental dan berbau tidak sedap. Ia menyerupai tinja dan air seni, bukan darah yang keluar dari selain dua jalur tersebut.

===
(1) Lihat kitab Tafsir al-Qurtubi 2/221, kitab al-Majmu' 2/511, kitab al-Muhalla 1/102, kitab al-Kafi 1/110, kitab Bidayah al-Mujtahid, kitab Sail al-Jaror 1/31, kitab asy-Syarh al-Mumti' 1/376, kitab Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah, kitab Tamam al-Minnah halaman 50.

(2) Sanadnya shohih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori secara mu'allaq 1/336, dan asalnya dari Imam Ibnu Abu Syaibah dengan sanad shohih, seperti disebutkan dalam kitab al-Fat-hul Baari 1/337.

(3) Shohih, diriwayatkan oleh secara mu'allaq oleh Imam al-Bukhori 1/336, dan diriwayatkan secara bersambung oleh Imam Ahmad dan selainnya dengan sanad shohih.

(4) Lihat kitab Tamam al-Minnah halaman 51-52.

(5) Shohih, diriwayatkan oleh Imam Malik 82, Imam al-Baihaqi 1/357, dan selainnya, dengan sanad shohih.

(6) Shohih, diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud 3100 secara ringkas, dan Imam ath-Thobroni dalam kitab al-Kabir 6/7.

(7) Shohih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori 294, dan Imam Muslim 1211.

(8) Shohih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori 327, dan Imam Muslim 333.

===

Maroji':
Kitab: Shohih Fiqh as-Sunnah, wa adillatuhu wa taudhih madzahib al-a'immah, Penulis: Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Penerbit: Maktabah at-Taufiqiyah, Kairo - Mesir, Cetakan 1424 H/ 2003 M, Judul terjemah: Shohih Fiqih Sunnah Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka at-Tazkia, Jakarta, Cetakan IV, 1430 H/ 2009 M.

===

Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com

===

Software islami ensiklopedi hadits kitab 9 imam berisi kumpulan hadits dan terjemah

===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog