Pasal pertama
Definisi 'udh-hiyah (berqurban) dan hukumnya
Hukum 'udh-hiyah
Hukum asal bagi 'udh-hiyah adalah, ia disyari'atkan untuk orang hidup sebagaimana Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam dan para shohabat melakukannya untuk diri mereka sendiri dan keluarganya. Apa yang dipahami oleh sementara orang di kalangan masyarakat awam bahwa 'udh-hiyah khusus untuk orang yang sudah mati, maka pemahaman tersebut tidak ada dasarnya.
'Udh-hiyah (berqurban) untuk orang mati itu terbagi tiga:
1. Berqurban untuk mereka dengan mengikut yang masih hidup, seperti seseorang berqurban untuk dirinya dan untuk keluarganya dengan diniatkan untuk yang masih hidup dan yang telah mati dari mereka. Dasarnya adalah bahwa Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam telah menyembelih qurban untuk diri Beliau dan ahli baitnya, dimana di antara mereka ada yang telah meninggal.
2. Berqurban untuk orang yang sudah meninggal sesuai dengan wasiatnya. Dasarnya adalah firman ALLOH Ta'ala:
"Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya ALLOH Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
(Qur-an Suroh al-Baqoroh (2): ayat 181)
3. Berqurban untuk orang yang telah meninggal sebagai hadiah atau sumbangan (pahala) untuk mereka, yaitu dengan dipisahkan (dalam niat) dari orang yang hidup. Hal ini boleh dilakukan menurut keyakinan para fuqoha madzhab Hanbali rohimahuLLOOH, bahwa pahalanya akan sampai kepadanya karena diqiyas kepada shodaqoh. Tetapi kami melihat bahwa mengkhususkan qurban untuk yang telah meninggal bukan merupakan sunnah. Karena Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tidak pernah menyembelih hewan qurban dikhususkan untuk salah seorang dari keluarganya yang telah meninggal.
Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tidak pernah berqurban untuk Hamzah ro-dhiyaLLOOHU 'anhu sebagai anggota keluarganya yang termulia. Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam juga tidak berqurban untuk anak-anaknya yang telah meninggal yang terdiri dari tiga orang puterinya dan tiga orang anaknya yang masih kecil, dan tidak pula untuk Khodijah ro-dhiyaLLOOHU 'anha sebagai wanita yang paling dicintainya. Sementara dari kalangan shohabat pun tidak ada yang menyembelih qurban untuk salah seorang dari mereka yang telah meninggal. Penulis juga memandang salah terhadap apa yang diperbuat oleh sebagian orang, dimana mereka menyembelih qurban untuk mayit pada tahun pertama kematiannya. Mereka meyakini bahwa tidak boleh orang lain ikut (mendapatkan) pahalanya. Atau mereka menyembelih qurban untuk orang mati sebagai hadiah atau sumbangan (pahala) atau untuk memenuhi wasiatnya, tetapi mereka sendiri tidak berqurban untuk dirinya atau untuk keluarganya. Itu adalah salah. Sekiranya mereka mengetahui bahwa ketika seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya berarti mencakup berqurban untuk yang masih hidup dan sekaligus yang telah mati dari mereka, tentulah mereka tidak melakukan hal itu.
===
Sumber:
Kitab: Talkhishu Kitabi Ahkamil 'Udh-hiyah wadz Dzakat, Penulis: Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin, Penerbit: Darul Muslim, Judul terjemahan: Berqurban Cara Nabi, Penerjemah: Nabhani Idris Lc, Penerbit: Robbani Press - Jakarta, Cetakan I, Syawwal 1425 H/ Desember 2004 M.
===
Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com
===
Definisi 'udh-hiyah (berqurban) dan hukumnya
Hukum 'udh-hiyah
Hukum asal bagi 'udh-hiyah adalah, ia disyari'atkan untuk orang hidup sebagaimana Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam dan para shohabat melakukannya untuk diri mereka sendiri dan keluarganya. Apa yang dipahami oleh sementara orang di kalangan masyarakat awam bahwa 'udh-hiyah khusus untuk orang yang sudah mati, maka pemahaman tersebut tidak ada dasarnya.
'Udh-hiyah (berqurban) untuk orang mati itu terbagi tiga:
1. Berqurban untuk mereka dengan mengikut yang masih hidup, seperti seseorang berqurban untuk dirinya dan untuk keluarganya dengan diniatkan untuk yang masih hidup dan yang telah mati dari mereka. Dasarnya adalah bahwa Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam telah menyembelih qurban untuk diri Beliau dan ahli baitnya, dimana di antara mereka ada yang telah meninggal.
2. Berqurban untuk orang yang sudah meninggal sesuai dengan wasiatnya. Dasarnya adalah firman ALLOH Ta'ala:
"Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya ALLOH Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
(Qur-an Suroh al-Baqoroh (2): ayat 181)
3. Berqurban untuk orang yang telah meninggal sebagai hadiah atau sumbangan (pahala) untuk mereka, yaitu dengan dipisahkan (dalam niat) dari orang yang hidup. Hal ini boleh dilakukan menurut keyakinan para fuqoha madzhab Hanbali rohimahuLLOOH, bahwa pahalanya akan sampai kepadanya karena diqiyas kepada shodaqoh. Tetapi kami melihat bahwa mengkhususkan qurban untuk yang telah meninggal bukan merupakan sunnah. Karena Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tidak pernah menyembelih hewan qurban dikhususkan untuk salah seorang dari keluarganya yang telah meninggal.
Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tidak pernah berqurban untuk Hamzah ro-dhiyaLLOOHU 'anhu sebagai anggota keluarganya yang termulia. Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam juga tidak berqurban untuk anak-anaknya yang telah meninggal yang terdiri dari tiga orang puterinya dan tiga orang anaknya yang masih kecil, dan tidak pula untuk Khodijah ro-dhiyaLLOOHU 'anha sebagai wanita yang paling dicintainya. Sementara dari kalangan shohabat pun tidak ada yang menyembelih qurban untuk salah seorang dari mereka yang telah meninggal. Penulis juga memandang salah terhadap apa yang diperbuat oleh sebagian orang, dimana mereka menyembelih qurban untuk mayit pada tahun pertama kematiannya. Mereka meyakini bahwa tidak boleh orang lain ikut (mendapatkan) pahalanya. Atau mereka menyembelih qurban untuk orang mati sebagai hadiah atau sumbangan (pahala) atau untuk memenuhi wasiatnya, tetapi mereka sendiri tidak berqurban untuk dirinya atau untuk keluarganya. Itu adalah salah. Sekiranya mereka mengetahui bahwa ketika seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya berarti mencakup berqurban untuk yang masih hidup dan sekaligus yang telah mati dari mereka, tentulah mereka tidak melakukan hal itu.
===
Sumber:
Kitab: Talkhishu Kitabi Ahkamil 'Udh-hiyah wadz Dzakat, Penulis: Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin, Penerbit: Darul Muslim, Judul terjemahan: Berqurban Cara Nabi, Penerjemah: Nabhani Idris Lc, Penerbit: Robbani Press - Jakarta, Cetakan I, Syawwal 1425 H/ Desember 2004 M.
===
Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com
===