Pembahasan ketiga: Sejarah perkembangan maulidan di dunia Islam
Periode keenam:
Setelah kemangkatan raja Shalahuddin al-Ayubi, maka perayaan maulidan dimarakkan kembali melalui usaha gigih dari seorang penguasa kota Irbil (57) yang biasa disebut dengan nama Muzhaffar (549-639 H = 1154-1233 M) (58) -yakni iparnya raja Shalahuddin al-Ayubi, sehingga akhirnya perayaan bid'ah ini marak kembali, sampai pada masa kita hidup ini, wallaahul musta'an.
KH. Muhammad Hasyim Asy'ari menyebutkan di dalam kitabnya yang berjudul at-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna'ul Maulid bil Munkarat halaman 23 menukil keterangan Imam Abu Syamah di dalam kitab al-Ba'its 'ala Inkaril Bida' wal Hawadits:
Yang pertama kali merayakannya di kota Maushil adalah Syaikh 'Umar bin Muhammad al-Malla seorang ahli 'ibadah yang terkenal, kemudian hal itu diikuti oleh seorang penguasa kota Irbil (yang bernama al-Muzhaffar).
Syaikh al-'Allamah Muhammad Bakhit al-Muthi'i al-Hanafi mengatakan tentang perayaan maulidan yang diadakan oleh raja Muzhaffaruddin:
Dan bila saudara mengetahui apa yang diadakan oleh para pembesar kerajaan 'Ubaidiyyah (Fathimiyyah) dan raja Muzhaffaruddin di dalam acara perayaan maulidan maka saudara dapat memastikan bahwa tidak mungkin bagi kita untuk menghukuminya dengan hukum mubah (boleh). (59)
Faidah penting:
Besar kemungkinan berita yang banyak tersiar di masyarakat Indonesia bahwa raja Shalahuddin al-Ayubi memarakkan maulidan itu berakar dari sini. Padahal telah jelas keterangan 'ulama sebelum ini bahwa yang memarakkan perayaan maulidan bukanlah Shalahuddin al-Ayubi melainkan iparnya yang dikenal dengan raja al-Muzhaffar setelah kematian Shalahuddin al-Ayubi. Wallaahu a'lam.
Saya katakan: Seandainya saja disebutkan bahwa raja al-Muzhaffar yang shalih itu mengambil contoh perayaan maulidan itu dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam atau dari para Shahabat beliau radhiyallaahu 'anhum maka itu akan menjadi hujjah yang sangat kuat di dalam menetapkan perayaan maulidan. Tapi sayangnya raja al-Muzhaffar hanya mengambil contoh perayaan maulidan dari perbuatan seorang ahli 'ibadah saja. Wallaahul musta'an.
Dalam kesempatan ini saya teringat perkataan Imam an-Nawawi rahimahullaah di dalam membantah bid'ah pelaksanaan shalat alfiyah pada malam nishfu sya'ban, dimana kaum muslimin mengambil bid'ah ini dari perbuatan seorang ahli 'ibadah yang bernama Ibnu Abi al-Hamra dari penduduk kota Nabulus, dimana ia datang ke Baitul Maqdis pada tahun 448 H, dan ia adalah seorang yang bagus bacaan al-Qur-annya. Ia biasa shalat di Masjidil Aqsha pada malam nishfu sya'ban, maka kemudian ia diikuti oleh satu dua orang bermakmum di belakangnya, sehingga setelah selesai shalat ia melihat banyak orang yang mengikutinya bermakmum di belakangnya. Pada tahun berikutnya hal itu tersiar di tengah-tengah kaum muslimin, maka merekapun banyak melakukan bid'ah shalat tersebut, sehingga seakan-akan hal itu adalah Sunnah (60). Maka Imam an-Nawawi mengatakan:
Dan janganlah ada seorangpun yang terpengaruh untuk melakukannya, hanya lantaran perbuatan bid'ah ini telah tersebar dan dilakukan oleh kebanyakan orang, karena yang layak menjadi teladan dan panutan (untuk diikuti) hanyalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam seorang (dan tidak yang selain beliau)... (61)
Bersambung...
===
(57) Kota Irbil adalah nama sebuah kota besar di Irak yang terletak di sebelah timur kota Maushil, Irak. Dan masih termasuk bagian wilayah kota Maushil.
(58) Ia biasa diberi gelar dengan sebutan al-Malik al-Mu'azhzham (raja yang diagungkan) dan juga disebut sebagai Shahibu Irbil (pembesar kota Irbil) (549-630 H = 1154-1233 M). Namanya adalah Abu Sa'id Kukabura bin al-Amir Zainuddin Abul Hasan 'Ali bin Buktakin at-Turkimani, yang bergelar al-Malik al-Mu'azhzham (raja yang diagungkan), dan juga biasa disebut dengan Shahibu Irbil (penguasa kota Irbil) ia dilahirkan di Qal'ah kota Maushil, dan ia menjabat di kota Irbil setelah kemangkatan ayahnya pada tahun 563 H, dan pada saat itu ia masih berusia 14 tahun. Dan iapun berdomisili beberapa lama di kota itu, untuk kemudian pindah ke Maushil dan kemudian masuk ke wilayah Syam untuk bergabung dengan raja Shalahuddin al-Ayubi dan ia banyak membantunya, hingga akhirnya ia dinikahkan dengan saudari Shalahuddin al-Ayubi yang bernama Rabi'ah Khatun binti Ayyub. Ia banyak menyaksikan peperangan bersama Shalahuddin al-Ayubi, khususnya dalam perang Hittin. Dan iapun diangkat menjadi gubernur di kota Irbil, setelah kemangkatan saudaranya yang bernama Zainuddin pada tahun 580 H.
Ia terkenal juga sebagai seorang yang pemberani, adil, ahli shadaqah dan ahli 'ibadah. Di antara hal yang sangat menyolok darinya adalah perayaan maulid Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ini. Dimana ia biasa merayakannya, sehingga seorang 'ulama yang bernama Abul Khaththab mengarang satu kitab yang menyebutkan perayaan maulid ini dengan judul: at-Tanwir fi Maulidil Basyirin Nadzir. Dan iapun diberikan hadiah sebesar 1.000 dinar atas usahnya tersebut.
(Lihat kitab Wafayatul A'yan 4/113-121, dan kitab al-A'lam 5/237 oleh az-Zirikli)
Faidah:
Raja Muzhaffar di atas bukanlah raja Muzaffar Quthz yang mengalahkan pasukan Tatar di 'Ainu Jaluth. Karena beliau ini adalah Saifuddin, Quthz bin 'Abdillah al-Mu'aizzi (wafat 658 H = 1260 M). Ia adalah raja keempat dari kerajaan Mamalik di Mesir dan Syam. Awalnya ia adalah seorang budak milik al-Mu'iz Aibik at-Turkimani (1250 M) yang merupakan seorang raja Mamalik yang kedua. Kemudian ia diangkat menjadi panglima tentara pada masa pemerintahan al-Manshur bin Mu'iz Atabik (1257 M). Kemudian ia sendiri yang menjatuhkan raja al-Manshur dari tahta kerajaan, untuk kemudian menaiki tahta kerajaan setelahnya pada tahun 657 H. Ia juga mengangkat panglima perang Ruknuddin Baibrus al-Bandaqdari Atabik dan menyerahkan seluruh urusan kerajaan kepadanya. Ruknuddin Baibrus inilah yang kemudian bangkit memerangi pasukan Tatar dari Mongolia di sebuah tempat yang bernama 'Ainu Jaluth (di Palestina), dan mereka pun berhasil mengalahkan pasukan Tatar itu di sana pada tahun 658 H. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju Baisan dan merekapun memenangkan peperangan di sana, kemudian ke Damaskus dan mereka pun mencopot jabatan para pejabat kerajaan Bani Ayyub yang tersisa di sana, serta menggantikan mereka dengan para pejabat dari kerajaan Mamalik.
(Lihat kitab al-A'lam 5/201-202, oleh az-Zirikli)
(59) Sebagaimana hal itu dinukil oleh Syaikh al-'Allamah Isma'il al-Anshari di dalam kitabnya al-Qaulul Fashl fi Hukmil Ihtifal bi Maulidi Khairir Rasul halaman 501 -di dalam kumpulan Rasaa-il fi Hukmil Ihtifali bil Maulidin Nabawi.
(60) Lihat keterangannya di kitab al-Hawadits wal Bida' halaman 132-133 karya Imam Abu Bakar ath-Thurthusi, kemudian dinukil oleh Imam Abu Syamah asy-Syafi'i dalam kitabnya al-Ba'its 'ala Inkaril Bida' wal Hawadits halaman 50-51.
(61) Kitab al-Bida' al-Hauliyyah halaman 265-266. Nanti akan datang kelengkapan isi fatw Imam an-Nawawi ini pada tempatnya insya Allah Ta'ala.
===
Maroji'/ Sumber:
Judul buku: Benarkah Shalahuddin al-Ayubi merayakan Maulid Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam?, Penulis: Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa rahimahullaah, Muraja'ah: Ustadz 'Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullaah, Penerbit: Maktabah Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta - Indonesia, Cetakan ketiga, Syawwal 1435 H/ Agustus 2014 M.
===
Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com
===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT