Mereka yang tidak merayakan maulidan adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin serta para Imam madzhab yang empat (2)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullaah mengatakan di dalam kitab Fadhlu 'Ilmus Salaf halaman 31:
Adapun perkara yang telah disepakati oleh para 'ulama Salaf untuk mereka tinggalkan (yakni tidak mereka amalkan), maka hal itu menunjukkan bahwa terlarang bagi kita untuk mengerjakan dan mengamalkannya (karena berarti kita telah menyelisihi apa yang telah disepakati oleh para 'ulama Salaf). Karena tidaklah mereka meninggalkan suatu perkara (dan tidak mengamalkannya) melainkan karena mereka tahu bahwa perkara tidak layak untuk diamalkan.
Kemudian Syaikh 'Ali al-Halabi hafizhahullaah mengatakan halaman 110:
Maka termasuk dari kesempurnaan kita di dalam mengikuti (ittiba') kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam adalah dengan cara meninggalkan apa yang ditinggalkan oleh beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, dan juga mengamalkan (sebatas) apa yang telah beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam contohkan. Bila hal ini dilanggar, maka akan terbuka lebar pintu bid'ah, mudah-mudahan Allah melindungi kita dari hal itu.
Imam Ibnu Qayyim rahimahullaah mengatakan:
Adapun apa yang telah disebutkan dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa beliau telah meninggalkannya, maka hal itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Perkara yang telah dijelaskan dengan gamblang bahwa beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah meninggalkan perbuatan ini dan itu dan hal itu tidak diamalkan oleh beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Di antara contohnya adalah hadits beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tentang para Shahabat radhiyallaahu 'anhum yang wafat di perang Uhud:
Bahwa beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak memandikan mayat mereka dan tidak juga beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menshalatinya. (116)
Contoh yang lainnya adalah tentang Sunnah beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam pelaksanaan shalat 'Id, disebutkan dalam sebuah hadits:
Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak melaksanakan adzan dan iqamah serta seruan-seruan lainnya. (117)
Contoh yang lainnya adalah Sunnah beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam pelaksanaan jama' antara dua shalat, disebutkan dalam sebuah hadits:
Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak melaksanakan shalat sunnah rawatib di antara shalat Maghrib dan 'Isya (dalam safar) dan tidak juga beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaksanakan shalat sunnah rawatib itu setelah melaksanakan shalat Maghrib ataupun 'Isya. (118)
Yang kedua: Adalah apa yang tidak dinukil keterangannya dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa beliau mengerjakan perkara tertentu, padahal kita telah mengetahui bagaimana bersemangatnya para Shahabat radhiyallaahu 'anhu untuk menukilkan kepada kita apa yang telah ditetapkan sebagai Sunnah beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, entah dari orang banyak di antara mereka, ataupun hanya dari satu orang saja dari mereka. Maka ketika kita tidak mendapatkan keterangannya dari para Shahabat radhiyallaahu 'anhum bahwa beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengerjakan perkara tersebut sama sekali, dan tidak juga didapati salah seorang dari mereka yang membicarakannya di hadapan orang banyak, maka menunjukkan bahwa beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak pernah mengerjakannya sama sekali... (119)
Kemudian Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullaah menyebutkan beberapa contoh dalam masalah ini, seperti: Melafazhkan niat saat akan memasuki shalat (dengan mengucapkan: Ushalli...) dan yang lainnya. Sedangkan Syaikh 'Ali al-Halabi hafizhahullaah memberikan contoh dalam masalah ini dengan contoh perayaan maulidan.
Dari keterangan para 'ulama Islam di atas, tahulah kita bahwa orang-orang yang tidak merayakan perayaan maulidan adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dengan sebenar-benarnya, dan mereka juga adalah para pengikut Sunnahnya para Khulafaaur Rasyidin radhiyallaahu 'anhum, dan mereka juga adalah para pengikut para 'ulama Salaf yang datang setelah para Shahabat radhiyallaahu 'anhum, tidak ketinggalan mereka juga adalah sebagai pengikut para imam madzhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal) dan pembesar murid-murid mereka. Sehingga layak dan paslah kiranya kalau kita menyebut mereka sebagai pengikut Ahlus Sunnah yang sebenarnya.
Begitu juga para 'ulama telah menjadikan para Shahabat Nabi radhiyallaahu 'anhum sebagai ukuran benar atau tidaknya perbuatan seseorang yang datang belakangan. Sehingga Imam al-Auza'i mengatakaan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul sy-Syari'ah halaman 58 dan al-Khatib al-Baghdadi di dalam kitab Syaraf Ash-habil Hadits:
Bersabarlah kamu berada di atas Sunnah, dan bersikap tegarlah di dalam berpegang kepada Sunnah itu seperti yang dicontohkan oleh para Shahabat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, dan berkatalah dengan apa yang dicontohkan oleh mereka, dan janganlah kamu melakukan apa yang tidak mereka lakukan, dan berjalanlah di jaln para 'ulama Salaf yang shalih, karena apa yang cukup bagi mereka, maka itu pasti akaan cukup jugaa buatmu. (120)
===
(116) Shahih: Lihat kitab Ahkamul Janaa-iz halaman 72-73, karya Imam al-Albani.
(117) Tentang hadits yang berisi tentang tidak adanya adzan pada pelaksanaan shalaat 'Id, terdapat di dalam kitab: Shahiih al-Bukhari dan Sunan Abu Dawud nomor 1147 dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma. Kitab Shahiih Muslim nomor 887 dan Sunan at-Tirmidzi nomor 532 dari Jabir bin Samurah radhiyallaahu 'anhu. Lihat pula kitab Shahiihul Jami' nomor 4933 oleh Imam al-Albani. Kedua hadits di atas juga tercantum di dalam kitab Bulughul Maram nomor 184 dan 492.
(118) Shahih: Diriwayatkan oleh Imam an-Nasa-i nomor 3028 dan telah dishahihkan oleh Imam al-Albani dalam kitab Shahiih Sunan an-Nasa-i dengan lafazh sebagai berikut:
Dari Ibnu 'Umar radhiyallaahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjama' antara shalat Maghrib dan shalat 'Isya dengan satu kali iqamat, dan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak melaksanakan shalaat sunnat setelah di antara kedua shalat tersebut (yakni setelah shalat Maghrib) dan tidak juga setelah shalat 'Isya.
Lihat pula: kitab Hasyiyah as-Sindi.
(119) Lihat pula nukilannya di dalam kitab al-Ibda' fi Madharil Ibtida' halaman 37, karya Syaikh 'Ali Mahfuzh.
(120) Lihat nukilannya di dalam kitab Limadzakh Tartu Manhajas Salafi halaman 104 oleh Syaikh al-'Allamah Salim bin 'Id al-Hilali dan di dalam buku Pokok-pokok 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah halaman 14 karya guru kami Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas.
Adapun tentang contoh dari sikap para Shahabat radhiyallaahu 'anhum dalam masalah ini, maka akan diterangkan dalam buku Debat Ahlus Sunnah - Ahli Bid'ah, insya Allah.
===
Maroji'/ Sumber:
Judul buku: Benarkah Shalahuddin al-Ayubi merayakan Maulid Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam?, Penulis: Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa rahimahullaah, Muraja'ah: Ustadz 'Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullaah, Penerbit: Maktabah Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta - Indonesia, Cetakan ketiga, Syawwal 1435 H/ Agustus 2014 M.
===
Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com
===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT