Skip to main content

Benarkah bid'ah itu memiliki lima hukum?

Benarkah bid'ah itu memiliki lima hukum?

Bila mereka mengatakan bahwasanya bid'ah itu memiliki lima macam hukum: Ada kalanya wajib, adakalanya mandub (sunnat), adakalanya mubah (boleh), adakalanya makruh, dan adakalanya juga haram. Maka tidak boleh untuk menghukumi langsung perayaan maulidan sebagai bid'ah yang terlarang...

Ahlus Sunnah balik bertanya: Baiklah sementara kita terima saja pembagian sesat ini, namun pertanyaannya adalah: Perayaan maulidan masuk ke dalam bagian yang mana? Kemudian apa dalilnya saudara memasukkan ke dalam bagian tersebut dan mengapa demikian?

Bila saudara menjawab bahwa perayaan maulidan ini masuk ke dalam bagian yang pertama, yakni bid'ah yang wajib (?!), maka berarti berdosa hukumnya untuk kita tinggalkan. Itu berrarti bahwa para 'ulama Salaf dari para Shahabat radhiyallaahu 'anhum, Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in dan para 'ulama yang mengikuti mereka dengan kebaikan seperti para Imam madzhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad bin Hambal) seluruhnya juga telah berdosa. Dimana mereka telah meninggalkannya dan tidak mengerjakannya walaupun hanya sekali dalam hidup mereka.

Kemudian mana dalil yang menunjukkan hukum wajibnya? Dan mengapa ditetapkan demikian? Kemudian bila dikatakan bahwa hukumnya wajib, maka apakah wajibnya sekali seumur hidup ataukah wajib setiap tahun?

Sudah dapat dipastikan mereka akan terdiam seribu bahasa.

Kalau mereka menjawab yang kedua, yakni hukum (bid'ah yang) mandub (sunnat), maka Ahlus Sunnah bertanya lagi: Mana dalilnya yang menetapkan hukum mandub (sunnat) itu? Dan mengapa dihukumi seperti itu?

Kalaupun dapat ditetapkan hukumnya seperti itu, maka dikatakan kepada mereka: Bukankah perbuatan yang hukumnya sunnah itu berarti bahwa mereka yang meninggalkannya (tidak mengerjakannya) tidak berdosa? Kalau demikian, maka bagaimana kalau kita tinggalkan perayaan maulidan ini untuk satu tahun ini saja, yakni sekali saja kita tidak merayakannya, karena hukumnya hanya sunnah dan bukan wajib. Bila dikatakan kepada mereka seperti itu, sudah pasti mereka tidak akan mau untuk meninggalkannya walaupun satu kaali dalam hidup mereka. Hal itu lantaran mereka menganggap bahwa hukumnya adalah (bid'ah yang) wajib, walaupun mereka tidak merasa berkata seperti itu. Di antara buktinya adalah sebagian besar mereka telah mencela Ahlus Sunnah yang tidak mau mengerjakan maulidan, sehingga mereka memberikan gelar-gelar buruk kepada Ahlus Sunnah, seperti GAM (Gerakan Anti Maulid) atau gelar membenci dan tidak mencintai Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam (123) dan gelar-gelar buruk lainnya. Wallaahul musta'an. Semua hal itu membuktikan bahwa sebenarnya mereka berkeyakinan bahwa maulidan itu hukumnya wajib, untuk itu mereka mencela orang yang meninggalkannya.

Begitu juga dikatakan bila dipilih hukum (bid'ah yang) mubah. (Jawaban yang sama dengan jawaban ketika mereka mengatakan hukumnya (bid'ah yang) mandub (sunnat)).

Maka tidak tertinggal melainkan dua hukum: Makruh dan Haram. Inilah yang menjadi kesepakatan kita bersama. Walhamdulillaah.

Kalau ada yang bertanya: Mengapa bid'ah hanya dimasukkan ke dalam dua hukum: (yakni) Makruh dan Haram?

Ahlus Sunnah menjawab: Karena Islam telah melarang kita (dengan tegas) dari perkara bid'ah, dan tidak disebutkan lafazh bid'ah di dalam dalil-dalil agama melainkan hanya dalam bentuk larangan atau celaan. Seperti sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:

"Maka jauhilah olehmu perkara-perkara yang baru yang diada-adakan oleh manusia (dan tidak pernh dicontohkan oleh kami), karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan oleh manusia dan tidak ada contohnya dari kami itu) adalah kesesatan." (124)

Dan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:

"Dan setiap bid'ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di Neraka." (125)

Untuk itu, kata bid'ah tidak dipakai kecuali dalam artian yang buruk dan celaan. (126)

Bersambung...

===

(123) Ketahuilah wahai saudaraku seiman bahwa perkataan atau tuduhan bahwa Ahlus Sunnah tidak mencintai Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam atau membenci beliau, berarti sama saja mengkafirkannya. Mengapa? Karena seluruh 'ulama Islam telah sepakat bahwa seorang yang membenci Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan tidak mencintai beliau, maka orang itu kafir, murtad keluar dari Islam. Tapi yang perlu diingat adalah bila seseorang muslim menuduh saudaranya yang muslim dengan tuduhan kafir, ternyata saudaranya itu tidak kafir menurut Allah Subhaanahu wa Ta'aala, maka kekafiran itu akan kembali kepada dirinya sendiri. Takutlah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Hal ini telah disebutkan oleh Syaikh Abu Bakar al-Jazaa-iri di dalam kitabnya al-Inshaf fima Qila fil Maulid minal Ghuluwwi wal Ihjaf halaman 47.

(124) Shahih: Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi nomor 2676, dan redaksi di atas adalah dari lafazh hadits miliknya, Imam Abu Dawud nomor 4607, Imam Ibnu Majah nomor 43, 44, Imam Ahmad 4/126, Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak 1/95-96, Imam al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan al-Kubra 10/114, Imam Ibnu Hibbaan nomor 5, Imam al-Baghawi di dalam kitab Syarh as-Sunnah nomor 102, Imam ath-Thabrani di dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir 18/818, hadits ini telah dishahihkan oleh Imam at-Tirmidzi, Imam Ibnu Hibban, Imam al-Hakim, Imam al-Baghawi dan Imam al-Albani. Lihat kitab Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah nomor 937, lihat pula takhrijnya di dalam kitab Bashaa-ir Dzawisy Syaraf halaman 67-69 karya Syaikh al-'Allamah Salim bin 'Id al-Hilali.

(125) Shahih: Imam Muslim nomor 867, dari Jabir radhiyallaahu 'anhu.

(126) Dan hal ini sangat sesuai dengan fitrah umumnya kaum muslimin dimana mereka sangat marah ketika mendengar ucapan "bid'ah" ini. Sehingga mereka enggan untuk mendengar sebutan "bid'ah" dari lisan para da'i, bahkan celakanya mereka justru mencela para da'i yang menggunakan istilah "bid'ah" ini, padahal ini adalah istilah syar'i yang jelas. (Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lah orang yang jelas-jelas mengucapkan kata "bid'ah" wahai kaum muslimin!!!)

===

Maroji'/ Sumber:
Judul buku: Benarkah Shalahuddin al-Ayubi merayakan Maulid Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam?, Penulis: Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa rahimahullaah, Muraja'ah: Ustadz 'Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullaah, Penerbit: Maktabah Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta - Indonesia, Cetakan ketiga, Syawwal 1435 H/ Agustus 2014 M.

===

Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com

===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog