Skip to main content

Benarkah bid'ah itu memiliki lima hukum? (2)

Benarkah bid'ah itu memiliki lima hukum? (2)

Alasan mereka dengan perkataan 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu...

Kalau ada yang berkata: Bukankah 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu telah menyebutkan bid'ah dalam konteks pujian dan suatu hal yang baik, yakni ketika beliau radhiyallaahu 'anhu melihat para Shahabat radhiyallaahu 'anhum shalat Tarawih secara berjama'ah, beliau radhiyallaahu 'anhu berkata:

"Sebaik-baik bid'ah adalah hal ini." (127)

Ahlus Sunnah menjawab dengan dua jawaban:

Jawaban pertama:

Bahwa yang dimaksud dari perkataan 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu di atas adalah bid'ah secara bahasa dan bukannya bid'ah secara syar'i (artinya bahwa shalat Tarawih berjama'ah bukanlah bid'ah karena pernah dicontohkan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam). Hal itu dapat disimpulkan dari beberapa bukti:

Pertama, bahwa shalat Tarawih berjama'ah (128) telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam tiga malam, dimana beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaksanakannya secara berjama'ah bersama para Shahabatnya radhiyallaahu 'anhum, dan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak meninggalkannya kecuali lantaran khawatir kalau shalat Tarawih itu akan diwajibkan, sehingga hal itu menjadi Sunnah fi'liyyah (perbuatan). Sedangkan dalilnya adalah hadits berikut ini:

Dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma: Bahwasanya pada suatu malam Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam keluar dari rumahnya pada tengah malam, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun shalat di masjid, maka ada beberapa orang laki-laki yang shalat bermakmum di belakang beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Hingga keesokan harinya, manusia saling membicarakan apa yang terjadi semalam. Kemudian para Shahabat radhiyallaahu 'anhum yang lain pun ikut berkumpul pada malam yang selanjutnya untuk ikut shalat bermakmum di belakang Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Di keesokan harinya para Shahabat radhiyallaahu 'anhum yang ikut shalat membicarakan lagi apa yang terjadi semalam, maka para Shahabat radhiyallaahu 'anhum yang lainnya pun ikut berkumpul untuk ikut shalat berjama'ah bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sehingga masjid penuh sesk oleh para Shahabat radhiyallaahu 'anhu. Akhirnya pada malam yang keempat. Para Shahabat radhiyallaahu 'anhum menunggu beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sampai tiba waktu shalat Shubuh. Maka setelah selesai shalat Shubuh beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berbalik menghadap kepada para Shahabat radhiyallaahu 'anhum seraya bersabda kepada mereka:

"Amma ba'du: Sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu menungguku keluar untuk shalat berjama'ah bersamamu (semalam), dan alasanku tidak keluar adalah lantaran aku khawatir kalau shalat ini diwajibkan atasmu, dan kamu akan merasa lemah untuk mengerjakannya." (129)

Kedua, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah memerintahkan dan menganjurkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat Tarawih secara berjama'ah, karena itulah yang lebih utama berdasarkan hadits berikut:

Dari Abu Dzar radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau tidak pernah melaksanakan shalat Lail di bulan Ramadhan berjama'ah bersama kami,hingga tidak tertinggal dari bulan Ramadhan melainkan 7 hari saja. Maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam shalat berjama'ah mengimami kami hingga lewat sepertiga malam (yang pertama). Kemudian beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak melaksanakannya pada malam yang ke-24, dan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaksanakannya lagi pada malam yang ke-25 hingga lewat setengah malam (yang pertama). Kemudian kami (para Shahabat radhiyallaahu 'anhum) memohon kepada beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dengan berkata: "Wahai Rasulullah! Sudilah kiranya bila engkau mau mengimami kami pada sisa-sisa malam berikutnya di bulan Ramadhan ini. Mendengar permohonan mereka itu, maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Sesungguhnya barangsiapa yang shalat bersama imam sampai selesai, maka dituliskan baginya pahala shalat satu malam suntuk."

Abu Dzar radhiyallaahu 'anhu melanjutkan: Kemudian beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak melaksanakannya lagi pada malam berikutnya, hingga datang malam ke-27, maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memanggil keluarga dan isteri-isteri beliau untuk shalat Lail berjama'ah pada malam itu, dan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengimami kami hingga mendekati waktu sahur, barulah setelah itu beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam selesai dari shalat... (130)

Ketiga, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun telah menyetujui perbuatan para Shahabatnya radhiyallaahu 'anhum yang melaksanakan shalat Tarawih secara berjama'ah. Berdasarkan hadits berikut:

Dari Tsa'labah bin Abi Malik al-Qurazhi radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: Pada suatu malam di bulan Ramadhan, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah keluar menemui kami di masjid, maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melihat para Shahabat radhiyallaahu 'anhum yang shalat Lail berjama'ah bersama seorang imam, maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertanya: "Apakah yang mereka perbuat itu?" Kemudian ada seorang dari para Shahabat yang menjawab: "Wahai Rasulullah, mereka itu adalah sebagian orang yang tidak memiliki hafalan al-Qur-an, sedangkan Ubay bin Ka'ab adalah seorang ahli qira'at al-Qur-an, kemudian merekapun bermakmum mengikuti shalatnya Ubay. Maaka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Mereka telah berbuat yang baik." Atau beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Mereka telah berbuat hal yang benar."

Dan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak membenci apa yang dilakukan oleh para Shahabat radhiyallaahu 'anhum itu. (131)

Keempat, bahwa shalat Tarawih berjama'ah telah ditetapkan berdasarkan ijma' para Shahabat Nabi, sedangkan ijma' adalah salah satu dalil dan hujjah yang tetap dalam agama Islam.

Dengan demikian berarti bahwa shalat Tarawih berjama'ah bukanlah perbuatan bid'ah melainkan Sunnah yang tetap secara syar'i, baik secara Sunnah qauliyyah (perkataan), ataupun Sunnah fi'liyyh (perbuatan), ataupun Sunnah taqririyyah (penetapan/ pembenaran) serta ijma' par Shahabat radhiyallaahu 'anhu. Maka perkataan 'Umar radhiyallaahu 'anhu di atas haruslah difahami dengan bid'ah secara bahasa dan bukan secara syar'i. Karena sudah dapat dipastikan bahwa 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu mengetahui akan Sunnah tersebut (yakni 'Umar radhiyallaahu 'anhu mengetahui bahwa shalat Tarawih berjama'ah adalah Sunnah bukan bid'ah). Bila ternyata 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu belum mengetahui Sunnah tersebut, maka hal itu tambah menguatkan hujjah Ahlus Sunnah dalam hal ini, wallaahu a'lam.

Untuk itu Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi'i telah menyatakan di dalam kitab Fatawanya:

"Sesungguhnya yang dikategorikan sebagai bid'ah secara syar'i adalah perkara yang tidak ditetapkan oleh dalil syar'i (al-Qur-an, as-Sunnah, dan ijma') bahwa perkara tersebut wajib atau sunnat. Karena kalau sebuah perkara itu telah ditetapkan oleh dalil syar'i, maka tidak dikategorikan sebagai bid'ah secaara syar'i, sama saja apakah perbuatan itu pernah dikerjakan pada masa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam atau tidak pernah...sedangkan perkatan 'Umar tentang shalat Tarawih: "Ini adalah sebaik-baik bid'ah", maka yang dimaksud oleh beliau adalah bid'ah secara bahasa (dan bukan bid'ah secara syar'i).

Bersambung...

===

(127) Shahih: Imam al-Bukhari nomor 1906, Imam Malik nomor 250, Imam 'Abdurrazzaq 4/256 nomor 7723, Imam Ibnu Khuzaimah nomor 1100, Imam al-Baihaqi 2/493.

(128) Kata "berjama'ah" sangat penting dalam masalah ini, sebab yang dianggap sebagai "Sebaik-baik bid'ah" dalam perkataan 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu di atas adalah shalat Tarawih dengan berjamaa'ah dan bukan shalat Tarawih dengan sendiri-sendiri. Karena shalat Tarawih sendiri-sendiri dan tidak berjama'ah telah ditetapkan dalam agama ini berdasarkan hadits yang sangat terkenal:

"Barangsiapa yang shalat malam di bulan Ramadhan, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu."
(Muttafaq 'alaih: Imam al-Bukhari nomor 37 dan Imam Muslim nomor 759)

(129) Muttafaq 'alaih: Imam al-Bukhari nomor 924 dan Imam Muslim nomor 761.

(130) Shahih: Imam at-Tirmidzi nomor 806, Imam an-Nasa-i 3/83, Imam Abu Dawud nomor 1370, Imam Ibnu Majah nomor 1327, dan telah dishahihkan oleh Imam al-Albani di dalam kitab Irwaa-ul Ghalil nomor 447, tahqiq kitab Misykatul Mashabih nomor 1298.

(131) Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam kitab Sunan al-Kubra 2/495, lihat kitab Shalat at-Tarawih halaman 10 oleh Imam al-Albani.

(132) Lihat nukilannya di dlam kitab al-Ibda' fi Madharil Ibtid' halaman 38 oleh Syaikh 'Ali Mahfuzh asy-Syafi'i.

===

Maroji'/ Sumber:
Judul buku: Benarkah Shalahuddin al-Ayubi merayakan Maulid Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam?, Penulis: Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa rahimahullaah, Muraja'ah: Ustadz 'Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullaah, Penerbit: Maktabah Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta - Indonesia, Cetakan ketiga, Syawwal 1435 H/ Agustus 2014 M.

===

Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com

===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog