Persamaan dalam hudud (ketentuan hukuman) dan sanksi syari'ah
Allah berfirman,
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
(Qur-an Surah al-Maa-idah: ayat 38)
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dera, dan janganlah belas kasihan kamu kepada mereka, mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kiamat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman."
(Qur-an Surah an-Nur: ayat 2)
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasiq."
(Qur-an Surah an-Nuur: ayat 4)
'Ulama telah sepakat bahwa tidak ada khilaf dalam masalah hukum bagi mereka yang menuduh dan yang dituduh. Sebagaimana telah didera secara sama dalam peristiwa tuduhan keji pada 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma (yang dikenal dengan hadits ifki) dua orang lelaki dan seorang perempuan: Hasan, Misthah dan Hamnah binti Jahsy. Demikian pula dalam masalah-masalah tindak kriminal yang lain (hudud). Oleh sebab itulah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyamakan hukum rajam bagi Ma'iz dan al-Ghamidiyah tatkala keduanya melakukan zina dan kedua-duanya adalah orang yang sudah menikah.
Sementara bagaimana ternyata mereka yang mengaku sebagai orang-orang yang memiliki peradaban yang tinggi dan modern, tidak menyamakan antara wanita dan lelaki dalam masalah ini. Kami akan nukilkan di bawah ini beberapa klausul undang-undang pidana Mesir -sebagai sebuah undang-undang yang banyak dipengaruhi oleh undang-undang Perancis:
Pasal 273: "Tidak dibolehkan menjatuhkan hukuman terhadap seorang wanita yang berzina kecuali atas dasar pengaduan suaminya. Berbeda halnya dengan seorang lelaki yang berzina dimana dia tinggal di tempat isterinya (sebagaimana dijelaskan dalam pasal 277), maka tidaklah didengar pengaduannya terhadap isterinya."
Pasal 274: "Seorang wanita yang bersuami yang telah jelas-jelas berzina, maka hendaklah dihukum kurungan tidak lebih dari dua tahun! Namun hukuman ini bisa dihentikan jika sang suami rela untuk menerima dia kembali sebagaimana sebelumnya."
Pasal 275: "Seorng wanita yang berzina dengan lelaki, hendaklah ia dijatuhi hukuman yang serupa. Demikian ini adalah hukuman zina yang berhubungan dengan seorang wanita. Sedangkan yang bersangkaut paut dengan hukuman zina seorang lelaki, maka sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 277; Setiap lelaki yang berzina di rumah tempat isterinya dan ditetapkan bahwa dia betul berzina sesuai dengan pengaduan isterinya, maka dia diganjar dengan hukuman kurungan tidak lebih dari enam bulan."
Masalahnya telah demikian jelas dan tidak perlu kita beri komentar apa pun.
Dimana di dalam undang-undang itu tidak ada pertimbangan ilahiyah, yang ada di dalamnya hanyalah pertimbangan kehormatan seorang lelaki semata, yang itu pun juga tidak dianggap berarti, jika ternyata lelaki itu adalah lelaki yang dayyuts (yang tidak memiliki rasa dan gairah cemburu), dimana dia menghentikan eksekusi hukum itu dan ridha untuk menerima kembali isterinya sebagaimana sebelumnya.
Artinya adalah: Hukum positif -sampai kondisi yang sangat sensitif- tidak menyatakan adanya keadilan antara lelaki dan perempuan dalam hal hukuman yang harus mereka terima. Dimana seorang lelaki mendapat hukuman hanya enam bulan, sementara seorang perempuan harus mendapat hukuman kurungan selama dua tahun.
Tidak adil (dibedakan) pula dalam hal tempat berzina; dimana seorang lelaki disyaratkan (untuk mendapat hukuman) jika perzinaan itu terjadi di rumah isterinya. Sedangkan bagi wanita di mana pun perzinaan itu terjadi, ia berhak mendapat hukuman.
Mungkin hikmah yang diharapkan oleh para pembuat hukum positif ini adalah: untuk menjaga perkawinan yang resmi, dari adanya pelecehan suami yang berupa pengkhianatan terhadap isterinya di rumah kediaman miliknya. (1)
Jadi sangat jelas di sini, bahwa logika pembuatan undang-undang positif itu sangat berbeda secara mendasar dengan logika Islam yang disebutkan sebelumnya, yang menyamakan secara adil antara lelaki dan perempuan dalam sanksi, selama kejahatan yang dilakukan adalah sama derajatnya.
Bersambung...
===
(1) Bandingkan sanksi-sanksi itu yang disertai kritik dalam tulisan Muhammad Manshur al-Qadhi, 344.
===
Maroji'/ Sumber:
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.
===
Layanan gratis estimasi biaya rangka atap baja ringan, genteng metal, dan plafon gypsum:
http://www.bajaringantangerang.com
===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT