Skip to main content

Mereka yang tidak merayakan maulidan adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin serta para Imam madzhab yang empat

Mereka yang tidak merayakan maulidan adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin serta para Imam madzhab yang empat

Imam Abu Syamah rahimahullaah telah berkata:

"Meninggalkan perkara yang (dianggap) disunnahkan itu haruslah lebih didahulukan daripada (khawatir) terjerumus ke dalam perbuatan bid'ah."

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu disebutkan: Bahwa ada tiga orang yang datang ke rumah-rumah para isteri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, mereka bertanya tentang 'ibadahnya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, tatkala mereka mendapatkan jawabannya, maka mereka merasa bahwa 'ibadah mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan 'ibadahnya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sehingga mereka berkata: Apa harganya 'ibadah kita bila dibandingkan 'ibadahnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam padahal telah diampuni apa yang telah berlalu ataupun yang akan datang dalam hidup beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam.

Anas radhiyallaahu 'anhu melanjutkan: Maka salah seorang dari mereka berkata: Aku akan shalat tahajjud sepanjang malam (dan tidak tidur), yang satunya lagi berkata: Aku akan berpuasa sepanjang hayat dan aku tidak akan berbuka, dan yang terakhir berkata: Aku akan hidup membujang sepanjang hayat dan aku tidak akan menikah.

Ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang dan mendengar apa yang mereka katakan itu, maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

Kamukah yang tadi berkata begini dan begitu?! Demi Allah! Sesungguhnya aku adalah orang yang bertaqwa dan takut kepada Allah. Tetapi (walaupun demikian) aku tetap berpuasa, dan aku juga berbuka, aku juga shalat (malam) tapi aku juga tidur, dan aku juga tetapi menikahi wanita-wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai Sunnahku (yang seperti itu), maka ia bukan termasuk golonganku. (112)

Para 'ulama telah menyebutkan (113) bahwa hadits di atas menjadi dasar di dalam menetapkan kaidah Sunnah Tarkiyyah. Yakni: Termasuk mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam adalah dengan cara meninggalkan apa yang beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tinggalkan dan tidak beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam laksanakan. Contohnya dalam hal ini adalah adzan pada saat pelaksanaan shalat 'Id. Ketika beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak melaksanakan adzan pada saat pelaksanaan shalat 'Id, maka termasuk Sunnah beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang wajib untuk diikuti adalah meninggalkan pelaksanaan adzan dalam shalat 'Id. Dan barangsiapa yang mengadakan adzan pada saat pelaksanaan shalat 'Id, maka berarti orang itu telah berbuat bid'ah dalam agama sekaligus telah menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam.

Di antara keterangan para 'ulama dalam menetapkan kaidah ini adalah perkataan al-Hafizh al-'Aini rahimahullaah yang dinukil oleh al-'Azhim al-Abadi di dalam kitab I'lamu Ahlil 'Ashr halaman 95:

Ringkasnya: Bahwa apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, padahal beliau adalah seorang yang paling tamak dan rajin di dalam mengamalkan kebaikan. Maka hal itu menunjukkan bahwa mengerjakan hal yang ditinggalkan oleh beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam hukumnya adalah terlarang (di dalam agama ini).

Imam asy-Syafi'i rahimahullaah mengatakan:

"Akan tetapi kami hanyalah mengikuti Sunnah, dengan cara mengamalkan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan meninggalkan apa yang beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tinggalkan." (114)

Ketika 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu akan mencium Hajar Aswad, maka beliau mengatakan:

"Sesungguhnya aku sangat mengetahui bahwa engkau ini hanyalah sebongkah batu, yang tidak dapat mendatangkan mudharat (menimpakan bahaya) ataupun mendatangkan manfaat dengan sendirinya. Kalaulah aku tidak melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menciummu, pastilah aku tidak akan menciummu." (115)

Sikap 'Umar radhiyallaahu 'anhu inilah yang harusnya menjadi teladan dalam kita menjalankan agama Islam ini, yakni: "Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menciummu, pastilah aku tidak akan menciummu." Dari sini kita juga harus mengatakan: "Kalau Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak merayakan perayaan maulid (hari ulang tahunnya), maka akupun tidak merayakannya." Dengan demikian berarti kita telah menyempurnakan ittiba' kita kepada Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam.

Bersambung...

===

(112) Muttafaq 'alaih: Imam al-Bukhari nomor 5064 dan Imam Muslim nomor 1401.

(113) Saya menukil pembahasan ini dari kitab yang berjudul 'Ilmu Ushulil Bida' halaman 107-119, karya Syaikh 'Ali Hasan al-Halabi hafizhahullaah.

(114) Lihat nukilannya di dalam kitab Fat-hul Baari 3/475 ketika al-Hafizh Ibnu Hajar mensyarah bab Man Lam yastalim illa ar-Ruknaini al-Yamaaniyain (Para 'ulaama yang berpendapat untuk tidak menyentuh kecuali dua rukun Ka'bah (Hajar Aswad dan Rukun Yamani).

(115) Muttafaq 'alaih: Imam al-Bukhari nomor 1520 dan Imam Muslim nomor 1270.

===

Maroji'/ Sumber:
Judul buku: Benarkah Shalahuddin al-Ayubi merayakan Maulid Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam?, Penulis: Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa rahimahullaah, Muraja'ah: Ustadz 'Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullaah, Penerbit: Maktabah Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta - Indonesia, Cetakan ketiga, Syawwal 1435 H/ Agustus 2014 M.

===

Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com

===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT