Skip to main content

Sejarah maulidan (13)

Sejarah maulidan (13)

Pembahasan ketiga: Sejarah perkembangan maulidan di dunia Islam

Periode kedua:

Seorang ahli sejarah Mesir yang bernama Abul 'Abbas al-Maqrizi menyebutkan di dalam kitabnya yang berjudul al-Mawa'idz wal I'tibar bi Dzikril Khithathi wal Atsar biasa disebut dengan Khithath Maqrizi 2/216 ketika menerangkan tentang apa yang dilakukan oleh penguasa kerajaan Fathimiyyah di Mesir: "Duduknya khalifah (raja) kerajaan 'Ubaidiyyah untuk menyaksikan acara perayaan maulidan dengan menggunakan teropong dari atas pintu gerbang kota Kairo yang bernama gerbang adz-Dzahab":

(Ibnu al-Makmun melanjutkan perkataannya:) Dan wazir kerajaan 'Ubaidiyyah (Fathimiyyah) yang bergelar al-Afdhal bin Amirul Juyusy (51) telah melenyapkan perayaan-perayaan maulid yang terdiri dari empat macam yaitu: Perayaan maulid Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, maulid 'Alawi, maulid Fathimi, dan maulid Imam al-Hadhir. Sehingga empat macam perayaan itu tidak lagi diperhatikan oleh manusia dan akhirnya merekapun melupakan dan meninggalkannya, hingga datang penguasa yang bercokol setelahnya, maka merekapun mulai memperbaharuinya kembali yakni pada masa pemerintahan raja al-Amir biahkamillah, dan seringkali perayaan ini diperbincangkan dan dibayangkaan akan keuntungan yang dapat diraih, sehingga akhirnya acara maulid dimarakkan kembali secara resmi oleh kerajaan. (52)

Jadi, pada periode kedua ini perayaan maulid sempat diberhentikan berkat karunia Allah kemudian berkat kegigihan usaha seorang panglima perang kerajaan yang disebut al-Afdhal bin Amiril Juyusy untuk melenyapkan perayaan maulid ini.

Bersambung...

===

(51) Al-Afdhal bin Amirul Juyusy adalah seorang panglima besar angkatan bersenjata kerajaan Fathimiyyah dan seorang wazir mereka yang bermadzhab Ahlus Sunnah. Namanya adalah Ahmad, Abul Qasim Syahansyah bin al-Malik Amirul Juyusy (panglima perang) Badr al-Jamali al-Armini. Yang bergelar: al-Malik al-Afdhal (458-515 H = 1066-1121 M). Al-Afdhal ini lahir di kota 'Akka. Ayahnya adalah seorang wakil raja di wilayah 'Akkad. Ia (yakni ayahnya) menjadi wazir yakni pembantu raja yang bernama al-Muntashir billah (427-487 H = 1036-1094 M) -sebagaimana disebutkan sebelum ini-, sekaligus seorang panglima perang angkatan bersenjata kerajaa Fathimiyyah di Mesir, sehingga ayahnya ini berhasil menaklukkan banyak wilayah untuk kerajaan Fathimiyyah sampai wafatnya. Kemudian kedudukannya digantikan oleh puteranya yang bernama Ahmad, Abul Qasim Syahansyah ini dan diberi gelar dengan al-Afdhal. Ia dikenal sebagai seorang yang memiliki keagungan dan karismatik di tengah-tengah kerajaan Fathimiyyah.

Walaupun ia berada di tengah kerajaan Fathimiyyah yang beragama syi'ah rafidhah isma'iliyyah bathiniyyah, akan tetapi ia sendiri dan ayahnya (Badr al-Jamali) serta puteranya (Abu 'Ali Ahmad bin al-Afdhal) berpegang kepada madzhab Ahlus Sunnah.

Imam adz-Dzahabi mengatakan, "Para penguasa (kerajaan Fathimiyyah) membencinya lantaran ia adalah seorang pengikut Ahlus Sunnah wal Jama'ah."

Abu Ya'la al-Qalanisi berkata, "Al-Afdhal adalah seorang panglima perang yang memiliki 'aqidah yang lurus dan benar, dan ia adalah seorang pengikut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, ia telah menjalankan kehidupan yang penuh dengan karismatik, dan memiliki akhlaq yang mulia, dan belum ada seorang pun penguasa yang sepertinya."

Kemudian saat raja al-Musta'li billah (487-495 H = 1094-1101 M) mati pada tahun 495 H = 1101 M, maka puteranya yang bernama al-Amir biahkamillah (495-525 H = 1101-1130 M) langsung menggantikan posisinya, padahal saat itu ia masih berusia 5 tahun -dan belum ada seorang pun raja yang naik tahta kerajaan lebih muda daripadanya-, maka wazir al-Afdhal inilah yang kemudian menjalankan pemerintahan.

Namun al-Amir biahkamillah itu kemudian menjadi seorang yang jahat dan fasiq. Sehingga ia sendiri yang membuat makar untuk membunuh wazir ayahnya: al-Afdhal Syahansyah ini, sehingga al-Afdhal wafat dibunuh oleh al-Amir biahkamillah pada tahun 515 H = 1121 M. Setelah al-Afdhal memerintah selama 28 tahun. Sedangkan yang menggantikan posisinya setelah itu adalah al-Bathaa-ihi pada tahun 519 H.

Syaikh az-Zirikli berkata tentang panglima al-Afdhal, "Ia adalah seorang panglima perang yang memiliki kecerdikan dalam keputusannya, dan sangat pandai dalam menjalankan pemerintahan..."

Dari keturunan al-Afdhal ada juga yang menggantikan posisi ayah dan kakeknya ini beberapa tahun setelah itu, yakni puteranya sendiri yang bernama Abu 'Ali Ahmad bin al-Afdhal. Ia juga seperti ayah dan kakeknya bermdzhab dengan madzhab Ahlus Sunnah. Dan dikenal sebagai seorang yang ditaati dan disegani, dan juga dikenaal sebagai seorang panglima perang yang gagah berani. Ia menjabat sebagai panglima pada masa pemerintahannya al-Hafizh lidinillah (525-544 H = 1130-1149 M).

(Lihat kitab Siyar A'lamin Nubala' 19/507-510, kitab Wafayatul A'yan 2/448-451, kitab al-A'lam 1/103)

Faidah:

Adapun ayahanda al-Afdhal adalah Badr al-Jamali (405-487 H = 1014-1094 M).

Nama beliau adalah Badr bin 'Abdillah al-Jamali, Abu Najm. Beliau adalah seorang panglima perang negeri Mesir. Badr al-Jamali ini berasal dari negeri Armenia, awal karirnya dimulai saat ada seorang raja yang dikenal dengan sebutan Jamalud Daulah bin 'Ammar. Dan Badr al-Jamali ini dahulu adalah seorang budak yang kemudian dibeli raja tersebut ketika ia masih kecil, kemudian Badr al-Jamali ini dididik oleh Jamalud Daulah, sehingga akhirnya Badr al-Jamali menyandarkan diri kepada bekas tuannya itu, sehingga ia disebut dengan sebutan al-Jamali sebagai bentuk penyandaran seorang budak kepada bekas tuannya yang telah memerdekakan dirinya. Dari Badr al-Jamali ini ada keturunannya yang juga menjadi panglima perang kerajaan juga seperti dia nantinya, yaitu seorang panglima perang kerajaan yang bernama al-Afdhal Syahansyah.

Badr al-Jamali ini juga pernah menjabat sebagai walikota Damaskus pada masa pemerintahan raja al-Mustanshir billah di Mesir (455 H), kemudian ia juga pernah dipanggil ke Mesir untuk memadamkan api fitnah, sehingga akhirny ia menjadi seorang kepercayaan raja di Mesir.

Badr al-Jamali ini juga dikenal memiliki 'aqidah (keyakinan) yang baik, berakhlaq mulia, perjalanan hidupnya baik, hingga akhirnya Badr al-Jamali pun mati terbunuh pada tahun 515 H.

(Lihat riwayat hidupnya di kitab Siyar A'lamin Nubala' 19/507 dan kitab al-A'lam 2/45 karya az-Zirikli)

(52) Keterangan al-Maqrizi dari Ibnu al-Makmun di atas juga telah dinukil oleh sejumlah penulis sejarah perayaan maulidaan, silahkan merujuk ke kitab-kitab berikut ini: al-Ibda' fi Madharil Ibtida' halaman 254 oleh Syaikh 'Ali Mahfuzh, kitab al-Qaulul Fashl fi Hukmil Ihtifal bi Maulidi Khairir Rasul halaman 454 H -di dalam Kumpulan Rasaa-il fi Hukmil Ihtifali bil Maulidin Nabawi, kitab al-Maulidun Nabawi Tarikhuhu Hukmuhu Atsaruhu wa Aqwalul 'Ulama fihi halaman 4, kitab at-Tabarruk Anwa'uhu wa Ahkamuhu halaman 362, lihat pula catatan kaki kitab al-Ba'its 'ala Inkaril Bida' wal Hawadits halaman 31.

===

Maroji'/ Sumber:
Judul buku: Benarkah Shalahuddin al-Ayubi merayakan Maulid Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam?, Penulis: Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa rahimahullaah, Muraja'ah: Ustadz 'Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullaah, Penerbit: Maktabah Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta - Indonesia, Cetakan ketiga, Syawwal 1435 H/ Agustus 2014 M.

===

Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com

===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog