Skip to main content

Shalat Tarawih (2) | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Keduapuluhsatu.

Shalat Tarawih (2).

2. Jumlah Raka'at Shalat Tarawih.

Orang-orang berbeda pendapat dalam memberikan batasan jumlah raka'at shalat Tarawih. Pendapat yang sejalan dengan petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah delapan raka'at di luar witir. Hal tersebut sesuai dengan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma:

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan shalat sunat lebih dari sebelas raka'at, baik pada malam bulan Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya." (177)

Apa yang disampaikan oleh 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma itu dibenarkan oleh Jabir bin 'Abdillah radhiyallahu 'anhu, dimana dia menyebutkan:

"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat menghidupkan malam dengan orang-orang pada bulan Ramadhan, beliau mengerjakan delapan raka'at dan mengerjakan shalat Witir." (178)

Setelah 'Umar bin al-Khaththab (radhiyallahu 'anhu) menghidupkan Sunnah ini, orang-orang pun bersepakat untuk mengerjakannya sebelas raka'at, sesuai dengan Sunnah yang shahih, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik (I/ 115) dengan sanad yang shahih, melalui jalan Muhammad bin Yusuf dari as-Sa-ib bin Yazid, bahwasanya dia bercerita: "'Umar bin al-Khaththab pernah menyuruh 'Ubay bin Ka'ab dan Tamim ad-Dari untuk mengimami orang-orang dengan sebelas raka'at." Selanjutnya, dia berkata: "Pada saat itu imam membaca 200 ayat sehingga kami bersandar pada sebuah tongkat karena lamanya berdiri, dan kami tidak kembali kecuali di ambang fajar."

Kemudian Yazid bin Khushaifah menyalahinya seraya berkata: "Shalat Tarawih dikerjakan dua puluh raka'at." Dan ini jelas tidak benar, karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah (meyakinkan) daripada Yazid bin Khushaifah. Dan yang seperti ini tidak bisa disebut sebagai tambahan status tsiqah, dan ia berstatus maqbul. Sebab, penambahan tsiqah tidak mengundang pertentangan, melainkan di dalamnya terkandung penambahan ilmu atas apa yang diriwayatkan tsiqah yang pertama, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Fat-hul Mughiits (I/ 199), Mahaasinul Ishthilaah (hal. 185), dan al-Kifaayah (hal. 424-425). Seandainya riwayat Yazid itu shahih, maka ia berupa perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf berupa ucapan. Dan ucapan itu lebih dikedepankan atas perbuatan, sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam ilmu Ushul Fiqih.

Di dalam kitab al-Mushannaf (7730), 'Abdurrazzaq meriwayatkan dari Dawud bin Qais dan lain-lain, dari Muhammad bin Yusuf, dari as-Sa-ib bin Yazid bahwa 'Umar telah menyatukan orang-orang pada bulan Ramadhan di bawah pimpinan Imam 'Ubay bin Ka'ab dan Tamim ad-Dari, dengan dua puluh satu raka'at, mereka membaca 200 ayat, dan mereka pulang di ambang fajar."

Riwayat ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhammad bin Yusuf, dari as-Sa-ib bin Yazid. Dan lahiriyah sanad riwayat 'Abdurrazzaq adalah shahih, dimana semua rijalnya adalah tsiqah.

Sebagian mereka telah berhujjah dengan riwayat ini dengan anggapan bahwa hadits Muhammad bin Yusuf mudhtharib. Hal itu dimaksudkan untuk menggugurkannya dan kemudian menyerahkan kepada mereka pendapat yang menyatakan shalat Tarawih itu dua puluh raka'at yang disebutkan di dalam hadits Yazid bin Khushaifah.

Itu jelas anggapan yang tidak dapat diterima, karena hadits tersebut berstatus mudhtharib, diriwayatkan dari satu perawi dua kali atau lebih, atau dua perawi atau beberapa perawi dengan sisi yang berbeda-beda, saling berdekatan, mempunyai kedudukan sama, dan tidak ada yang mentarjih. (179)

Dan syarat tersebut sama sekali tidak terdapat di dalam hadits Muhammad bin Yusuf, karena riwayat Malik lebih rajih daripada riwayat 'Abdurrazzaq.

Kami kemukakan hal ini dengan asumsi keselamatan sanad 'Abdurrazzaq dari 'illat, tetapi masalahnya berbeda dengan hal tersebut. Dan kami akan jelaskan sebagai berikut:

a. Yang meriwayatkan hadits dari 'Abdurrazzaq lebih dari satu orang, yang di antaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin 'Ibad ad-Dabari.

b. Hadits ini dari riwayat ad-Dabari, dari 'Abdurrazzaq dan dialah yang meriwayatkan kitab ash-Shaum. (180)

c. Ad-Dabari telah mendengar beberapa karya 'Abdurrazzaq, sedang dia pada saat itu baru berusia tujuh tahun. (181)

d. Ad-Dabari bukan sebagai perawi satu hadits pun dan dia bukan termasuk rijal ini (perawi-perawi hadits). (182)

e. Oleh karena itu, terjadi banyak kesalahan di dalam riwayatnya dari 'Abdurrazzaq. Telah pula diriwayatkan dari 'Abdurrazzaq beberapa hadits munkar. Dan beberapa orang ulama telah mengumpulkan berbagai kesalahan dan kekeliruan ad-Dabari di dalam kitab Mushannaf 'Abdirrazzaq. (183)

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa riwayat ini munkar, dimana ad-Dabari telah menentang perawi yang lebih tsiqah daripada dirinya. Dan yang membuat hati tenang, bahwa hal tersebut termasuk dari kekeliruannya, dimana dia menyalahi yang sebelas raka'at. Dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak melakukan kekeliruan. (184)

Oleh karena itu, riwayat ini munkar dan menyimpang sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil). Sehingga tegaslah bahwa Sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam kitab al-Muwaththa' (I/ 115) adalah dengan sanad shahih, dari Muhammad bin Yusuf, dari as-Sa-ib bin Yazid. Karenanya, berhati-hatilah. (185)

Baca selanjutnya:

===

(177) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (III/ 61), dan Muslim (736). Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam bukunya Fat-hul Baari (IV/ 54) mengatakan, "Demikianlah kenyataannya dengan keberadaannya yang lebih tahu tentang keadaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam hari daripada orang lain."

(178) Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab Shahihnya (920), ath-Thabrani di dalam kitab ash-Shagiir (hal. 108), Ibnu Nashr di dalam kitab Qiyaamul Lail (hal. 90), dan sanad hadits ini hasan dalam beberapa syahid.

(179) Tadriibur Raawi (I/ 262).

(180) Al-Mushannaf (IV/ 153).

(181) Miizaanul I'tidaal (I/ 181).

(182) Miizaanul I'tidaal (I/ 181).

(183) Miizaanul I'tidaal (I/ 181).

(184) Lihat secara cermat kitab Tahdziibut Tahdziib (VI/ 310) dan juga kitab Miizaanul I'tidaal (I/ 181).

(185) Untuk mendapatkan keterangan lebih rinci sekaligus untuk menghilangkan kesimpangsiuran, maka silahkan lihat:

1. Al-Kasyfush Shariih 'an Aghlaathish Shaabuuni fii Shalatit Taraawiih karya Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid.

2. Al-Mashaabiih fii Shalaatit Taraawiih karya as-Suyuthi dengan komentarnya terbitan Daar 'Ammar.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog