Skip to main content

Qadha' Puasa (2) | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Keenambelas.

Qadha' Puasa (2).

2. Tidak wajib untuk mengqadha' puasa secara berurutan dan berkesinambungan, karena keeratan sifat qadha' dengan sifat pelaksanaan. Yang demikian itu sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Maka berpuasalah pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185)

Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma) mengatakan: "Tidak ada masalah untuk mengqadha' puasa secara terpisah-pisah." (128)

Abu Hurairah (radhiyallahu 'anhu) mengemukakan: "Jika mau, dia boleh mengqadha' dengan bilangan ganjil." (129)

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi (IV/ 259) dan ad-Daraquthni (II/ 191-192), melalui jalan 'Abdurrahman bin Ibrahim dari al-'Ala' bin 'Abdirrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu': "Barangsiapa mempunyai hutang puasa Ramadhan, maka hendaklah dia mengerjakannya secara berurutan dan tidak memutus-mutuskannya," maka sesungguhnya hadits tersebut dha'if.

Ad-Daraquthni mengatakan: "'Abdurrahman bin Ibrahim adalah seorang yang dha'if."

Al-Baihaqi mengemukakan, dinilai dha'if oleh Ibnu Ma'in, an-Nasa-i, dan ad-Daraquthni.

Di dalam kitab at-Talkhiishul Habiir (II/ 206), Ibnu Hajar menukil dari Ibnu Abi Hatim bahwa dia menolak hadits itu sendiri karena 'Abdurrahman.

Uraian tentang kedha'ifan hadits ini telah disampaikan secara rinci oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil no. 943.

Dan yang terdapat di dalam kitab Silsilatul Ahaadiits adh-Dha'iifah (II/ 137), yang menghasankan hadits ini, maka hal tersebut ditolak. (130) Karena itu, berhati-hatilah.

Ringkas kata dapat dikatakan bahwanya tidak dibenarkan adanya hadits yang marfu' -menurut yang kami ketahui- dalam masalah mengqadha' puasa secara terpisah-pisah, dan tidak juga berturut-turut. Adapun yang mendekati pengertian itu dan mudah dipahami, bolehnya dua cara tersebut. Demikian pula yang dikemukakan oleh Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Abu Dawud di dalam Masaa-ilnya (hal. 95) mengatakan: "Aku pernah mendengar Ahmad ditanya tentang qadha' puasa Ramadhan, maka dia menjawab: "Jika mau, dia boleh memisah-misahkan, dan jika mau, dia juga boleh melakukannya secara berurutan." Wallaahu a'lam.

Oleh karena itu, diperbolehkannya pemisahan hari-hari qadha' puasa tidak berarti dilarangnya mengqadha' secara berurutan.

Baca selanjutnya:

===

(128) Disampaikan oleh al-Bukhari sebagai komentar (IV/ 189), dan disambungkan oleh 'Abdurrazzaq, ad-Daraquthni, dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih. Lihat juga buku Taghliiqut Ta'liiq (III/ 186).

(129) Lihat mengenai hal itu dalam buku Irwaa-ul Ghaliil (IV/ 95).

(130) Dan kami telah menambahkan penjelasan mengenai hal ini melalui penafsiran dari Syaikh kami, mudah-mudahan Allah memberikan manfaat padanya.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog