Skip to main content

Qadha' Puasa (3) | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Keenambelas.

Qadha' Puasa (3).

3. Para 'ulama telah sepakat bahwa orang yang meninggal dunia sedang dia mempunyai tanggungan kewajiban beberapa shalat yang ditinggalkannya, maka walinya atau yang lainnya tidak berkewajiban untuk mengqadha'nya. Demikian halnya dengan orang yang tidak mampu mengerjakan puasa, maka tidak seorang pun boleh mengganti puasanya itu semasa hidupnya, tetapi dia harus memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Anas radhiyallahu 'anhu dalam atsar yang telah kami sebutkan tadi.

Tetapi, orang yang meninggal dunia sedang dia mempunyai nadzar puasa, maka walinya harus berpuasa untuknya. Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Barangsiapa meninggal dunia sedang dia mempunyai tanggungan puasa, maka walinya yang harus membayar puasanya itu." (131)

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, dia bercerita, "Ada seseorang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia sedang dia mempunyai hutang puasa satu bulan, apakah aku harus membayarnya?' Beliau bersabda: 'Ya, karena hutang kepada Allah itu lebih harus (wajib) dibayar.'" (132)

Hadits-hadits yang bersifat umum di atas secara lantang menjelaskan disyari'atkannya puasa oleh wali sebagai ganti puasa orang yang sudah meninggal dari segala macam puasa. Demikian pula yang menjadi pendapat sebagian penganut madzhab Syafi'i dan juga pendapat Ibnu Hazm (VII/ 2 dan 8).

Hanya saja, hadits-hadits yang bersifat umum ini dikhususkan lagi, dimana seorang wali tidak harus membayar puasa orang yang meninggal dunia kecuali puasa nadzar. Hal itu pula yang disampaikan oleh Imam Ahmad, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Masaa-ilul Imam Ahmad, riwayat Abu Dawud, hal. 96, dia bercerita, aku pernah mendengar Ahmad bin Hanbal mengatakan: "Tidak boleh dibayarkan hutang puasa orang yang sudah meninggal dunia, kecuali puasa nadzar." Abu Dawud mengemukakan, kukatakan kepada Ahmad: "Lalu bagaimana dengan puasa Ramadhan?" Dia menjawab: "Dibayar dengan memberi makan (orang miskin)."

Inilah pendapat yang menenteramkan jiwa dan melapangkan hati serta mendinginkan dada. Pendapat ini ditarjih oleh fiqih dalil, karena di dalamnya terkandung pengamalan terhadap semua hadits yang disebutkan mengenai hal tersebut tanpa adanya penolakan sedikit pun terhadapnya, dengan pemahaman yang benar terhadapnya, khususnya hadits pertama. Dimana 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma tidak memahami kemutlakan hal tersebut pada puasa Ramadhan dan yang lainnya, tetapi dia berpendapat untuk membayar dengan memberikan makan orang miskin. Dan itu merupakan riwayatnya dengan dalil, apa yang diriwayatkan oleh 'Umrah, bahwa ibunya meninggal dunia dengan memiliki hutang puasa Ramadhan. Dia bertanya kepada 'Aisyah: "Apakah aku harus membayarnya?" 'Aisyah menjawab: "Tidak. Tetapi, keluarkanlah sedekah sebagai gantinya setiap hari setengah sha' kepada orang miskin." Diriwayatkan oleh ath-Thahawi di dalam kitab Musykilul Aatsaar (III/ 142). Ibnu Hazm di dalam kitab al-Muhalla (VII/ 4). Lafazh di atas miliknya dengan sanad yang shahih.

Telah menjadi ketetapan bahwa perawi hadits ini lebih mengetahui apa yang diriwayatkannya dan memberikan penjelasan sebagai berikut: "Jika seseorang jatuh sakit pada bulan Ramadhan, kemudian dia meninggal dunia dan tidak mengerjakan puasa, maka puasanya itu dibayar dengan memberi makan orang miskin dan tidak ada kewajiban qadha' baginya. Dan jika dia mempunyai nadzar puasa, maka nadzar itu harus dibayar oleh walinya." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm di dalam kitab al-Muhalla (VII/ 7), dan dia menilai shahih sanadnya.

Sebagaimana diketahui bahwa Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma adalah perawi hadits kedua, khususnya dia meriwayatkan sebuah hadits yang di dalamnya ditegaskan tentang seorang wali yang membayar nadzar puasa untuk si mayit, "Bahwa Sa'ad bin 'Ubadah radhiyallahu 'anhu pernah meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana dia berkata: 'Sesungguhnya ibuku sudah meninggal sedang dia mempunyai hutang puasa?' Beliau bersabda: 'Bayarkanlah untuknya.' Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain.

Uraian di atas sesuai dengan kaidah-kaidah syari'at dan dasar-dasarnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-'Allamah Ibnu Qayyim di dalam kitab I'laamul Muwaqqi'iin. Dan dia tambahkan keterangan dan tahqiqnya di dalam kitab Tahdziibu Sunan Abi Dawud (III/ 279-282). Silahkan buku tersebut dibaca, karena ia sangat penting.

Baca selanjutnya:

===

(131) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 168) dan Muslim (1147).

(132) Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/ 169) dan Muslim (1148).

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog