Skip to main content

Fidyah (4) | Meneladani Shaum Rasulullah

Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan.

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah.

Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kedelapanbelas.

Fidyah (4).

4. Pengertian ini memperkuat bahwa ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap mukallaf, meliputi semua orang yang mampu mengerjakan puasa dan yang tidak mampu. Yang menjadi dalil tentang hal tersebut dalam Sunnah adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Salamah bin al-Akwa' radhiyallahu 'anhu, dia bercerita: "Kami pernah berada di bulan Ramadhan pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, boleh berpuasa bagi orang yang mau berpuasa, dan boleh tidak berpuasa bagi orang yang mau tidak berpuasa, tetapi harus membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin, sehingga turunlah ayat ini:

"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa." (QS. Al-Baqarah: 185)

Mungkin persoalan yang dimunculkan oleh hadits Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma) yang secara jelas menyatakan nasakh, bahwa rukhshah (keringanan) itu diberikan kepada orang tua, laki-laki maupun perempuan, jika keduanya mampu menjalankan puasa secara dipaksakan, tetapi masalah itu hilang jika telah tampak jelas oleh engkau bahwa ia dimaksudkan untuk dalil, bukan untuk pembatasan. Dan dalil pengertian ini adalah hadits itu sendiri, dimana jika keringanan itu untuk orang yang sudah tua, laki-laki maupun perempuan, kemudian dinasakh sehingga yang tersisa hanya bagi orang yang sudah tua laki-laki maupun perempuan, maka apa makna keringanan yang telah ditetapkan dan manfi (dinafi'kan), jika penyebutan orang-orang itu bukan untuk dalil dan tidak juga untuk pembatasan?

Jika engkau sudah memahami dan benar-benar meyakini, maka telah muncul ketetapan tegas pada dirimu bahwa makna ayat tersebut mansukh bagi orang yang mampu mengerjakan puasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu menjalankan puasa. Hukum yang pertama merupakan nasakh dengan menggunakan dalil al-Qur-an, sedangkan hukum yang kedua ditetapkan dengan dalil Sunnah, dan tidak dinasakh sampai hari Kiamat.

Hal tersebut diperkuat dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu 'Abbas di dalam riwayat yang jelas tentang nasakh: "Dan ditetapkan bagi orang laki-laki yang sudah tua dan wanita tua yang lemah, jika keduanya tidak mampu mengerjakan puasa, serta wanita hamil dan wanita yang menyusui jika keduanya khawatir pada dirinya atau pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa, tetapi harus memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin."

Pengertian itu semakin jelas oleh hadits Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, dimana dia bercerita, "Adapun masalah puasa, maka sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang ke Madinah, lalu beliau berpuasa selama tiga hari setiap bulannya, juga puasa 'Asyura'. Kemudian Allah mewajibkan kepada beliau puasa, dimana Dia menurunkan firman-Nya:

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa..." (QS. Al-Baqarah: 183)

Setelah itu, Dia menurunkan ayat lain:

"Bulan Ramadhan, yang di dalamnya diturunkan al-Qur-an..." (QS. Al-Baqarah: 185)

Dengan demikian, Allah telah menetapkan puasa bagi orang yang mukim (menetap di tempat tinggal) lagi sehat. Dan Dia berikan keringanan kepada orang yang sakit dan orang yang dalam perjalanan. Dia tetapkan ketentuan memberi makan orang miskin bagi orang yang sudah tua yang tidak mampu menjalankan puasa. Demikianlah dua ketentuan..." (137)

Kedua hadits ini secara jelas memberikan penjelasan bahwa ayat tersebut mansukh bagi orang yang mampu menjalankan puasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu menjalankannya. Dengan kata lain, ayat tersebut mempunyai keberadaan khusus.

Oleh karena itu, Ibnu 'Abbas sejalan dengan para Shahabat lainnya, dan haditsnya pun sejalan dengan dua hadits lainnya, yaitu hadits 'Abdullah bin 'Amr dan hadits Salamah bin al-Akwa' radhiyallahu 'anhum serta tidak pula bertolak belakang. Dengan demikian, ucapannya: "Ayat tersebut tidak dimansukh," ditafsirkan oleh ucapannya: "Ayat tersebut mansukh. Dengan kata lain, ayat tersebut mempunyai keberadaan khusus." Dengan demikian, tampak jelas bahwa nasakh dalam pemahaman para Shahabat bisa menerima pengkhususan dan pembatasan dalam pemahaman para ahli ushul yang hidup setelahnya. Hal itu pula yang diisyaratkan oleh al-Qurthubi rahimahullah di dalam tafsirnya. (138)

Baca selanjutnya:

===

(137) Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunannya (507), al-Baihaqi di dalam kitab Sunannya (IV/ 200), Ahmad di dalam kitab al-Musnad (V/ 246-247).

(138) Yang berjudul: "Al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan" (II/ 288).

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shaumin Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam fii Ramadhaan, Penulis: Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied al-Hilali dan Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid hafizhahumallaah, Penerbit: al-Maktabah al-Islamiyyah, Amman - Yordania, Cetakan IV, Tahun 1412 H/ 1992 M, Judul Terjemahan: Meneladani Shaum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M, Muraja'ah Terjemah: Taufik Saleh Alkatsiri, Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Kedua, Rabi'ul Akhir 1426 H/ Agustus 2005 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog