Skip to main content

Mukaddimah Penulis | Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah

Shalaatu at-Taraawiihi.

Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.

Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Mukaddimah Penulis.

Bismillahir Rahmanir Rahim.

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan ittiba' kepada Rasul-Nya sebagai tanda kecintaan hamba kepada-Nya. Allah yang Maha Perkasa berfirman:

"Katakanlah (wahai Muhammad): Seandainya kamu sekalian memang cinta kepada Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu." (QS. Ali 'Imran: 31)

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas penghulu dan suri tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang pernah bersabda -sebagaimana dalam riwayat yang shahih-:

"Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat aku (melakukan) shalat."

Demikian juga, semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada sanak keluarga dan para Shahabat beliau yang mencintai sekaligus mengikuti jejak beliau, lalu menghafal hadits-haditsnya untuk kemudian disampaikan kepada kita, juga atas mereka yang mengikuti petunjuk dan menelusuri jalan hidup mereka sampai datang hari Kiamat.

Amma ba'du,

Inilah tulisan ringkas kedua, dari enam tulisan yang terangkai dalam buku kami "Tasdidu al-Ishabah ila Man Za'ama Nushrata al-Khulafa ar-Rasyidin wa ash-Shahabah". Sebenarnya, pokok bahasan yang pertama tadi adalah: Menjelaskan berbagai kebohongan dan kekeliruan beberapa penulis (tak disebut di sini, -pent) yang berupaya menyanggah tulisan kami terdahulu, yaitu: "Al-Ishabah fi Nushrati al-Khulafa ar-Rasyidin wa ash-Shahabah", namun mereka keliru dan belum beruntung! Aku menjelaskan semuanya dalam tulisan yang telah aku sebutkan tadi. Yang mana tulisan itu tak lama lagi akan dicetak dan diterbitkan. Dengan harapan, ia akan dapat dipelajari oleh kalangan terpelajar dengan berbagai latar belakang mereka, hingga merasa puas dan senang hati. Karena di situ mereka akan mendapati, -meskipun dengan amat ringkas- berbagai kajian bermutu yang ditopang dengan berbagai argumentasi yang memuaskan, sikap yang adil dalam menyanggah, obyektif dalam mengkritik, serta jauh dari maksud membalas dendam atas sikap permusuhan orang lain. Semoga Allah Tabaraka wa Ta'ala sudi menerima dan menyisihkan pahala-Nya bagi kita hingga hari yang telah dijanjikan (Hari Kiamat).

"Hari dimana tak lagi bermanfaat harta maupun anak, melainkan bagi mereka yang menemui Allah dengan hati yang bersih." (QS. Asy-Syu'ara': 88-89)

Nah kini, kami sajikan kepada para pembaca yang budiman, tulisan ringkas kedua, yaitu yang pertama dari lima tulisan ringkas yang telah kami janjikan dalam risalah pendahulunya sebagaimana tersebut tadi. Kelima tulisan (yang telah kami janjikan) itu adalah:

1. Shalat Tarawih (risalah kita ini, -pent).

2. Shalatu al-Iedaini fil Mushalla hiya as-Sunnah (Shalat 'Ied di lapangan itulah yang Sunnah).

3. Al-Bid'ah.

4. Tahdziru as-Sajid min Ittikhadzi al-Quburi Masajid (Peringatan bagi orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid).

5. At-Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu (Tawassul, macam-macam dan hukumnya).

Tema pembahasan kita dalam tulisan kali ini: Membahas shalat Tarawih secara umum, kemudian hasil penelitian tentang jumlah bilangan raka'atnya secara lebih mendetail. Sebabnya, karena para penulis (yang menghujat tulisanku tadi) dalam buku mereka hal. 6 beranggapan, bahwa riwayat "Pelaksanaan Tarawih yang dua puluh raka'at" itu sah (shahih), berdasarkan kontinuitas para al-Khulafa ar-Rasyidin selain Abu Bakar ash-Shiddiq dalam melakukannya. Sebagaimana pada hal. 12 (buku asli, -pent) mereka juga menyandarkan munculnya bid'ah Tarawih itu kepada 'Umar bin al-Khaththab (radhiyallahu 'anhu).

Kemungkinan besar menurut persangkaanku, yang mereka maksudkan dengan bid'ah di situ adalah pelaksanaan Tarawih dengan berjama'ah. Karena mereka telah mengutip ucapan al-'Izzu bin 'Abdissalam rahimahullah, bahwasanya dia menyebutkan contoh-contoh bid'ah yang disunnahkan, di antaranya adalah "Shalat Tarawih". (1) Sedangkan Ibnu 'Abdissalam sendiri dengan menyebut shalat Tarawih secara mutlak, menghendaki bahwa yang dimaksud adalah pelaksanaannya secara berjama'ah, dan pelaksanaannya dengan dua puluh raka'at. (2)

Akan tetapi para penulis tadi, pada hal. 9 (buku asli, -pent) melontarkan satu ungkapan yang dapat dipahami bahwa mereka tidak berpendapat jika menambah jumlah raka'at dari apa yang ada dalam riwayat adalah bid'ah. Maka dari itu jelas, bahwa kebid'ahan yang mereka sandarkan kepada Amirul Mukminin 'Umar bin al-Khaththab (radhiyallahu 'anhu) itu adalah "berjama'ah dalam shalat Tarawih" yang diprakarsainya dan dilakukan manusia kala itu. Apapun yang mereka maksudkan dengan bid'ah di situ, mungkin yang tersebut tadi, mungkin juga lebih luas lagi dari itu, kita tetap berkeyakinan bahwa 'Umar bin al-Khaththab tak sedikitpun melakukan bid'ah dalam melaksanakan shalat tersebut, atau dalam melakukannya secara berjama'ah atau melakukannya dengan dua puluh raka'at. Namun dalam perbuatannya itu justru terdapat contoh yang baik bagi seorang mukmin yang hendak mengikuti Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sebaik mungkin. Dan kamipun yakin, bahwa tak ada riwayat yang shahih bahwa salah seorang dari al-Khulafa ar-Rasyidun pernah melakukan Tarawih dua puluh raka'at. Kenyataan ini harus segera dijelasan kepada ummat. Agar mereka tidak terperdaya dengan tuduhan para penulis itu bahwa 'Umar bin al-Khaththab melakukan kebid'ahan! Meskipun para penulis itu menganggapnya sebagai bid'ah hasanah. Karena satu konsep kebenaran yang diterapkan oleh para 'ulama: "Menjadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai ikutan, itu lebih baik dari melakukan kebid'ahan." Itu kalau diandaikan bahwa bid'ah itu memang ada yang hasanah (baik)! 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu pernah menyatakan:

"Beramal sekedarnya (3) dengan mengikuti Sunnah, adalah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid'ah."

Satu hal lagi yang aneh, sekaligus juga kezhaliman dan sikap melampaui batas yang mereka lakukan tatkala melemparkan tuduhan bahwa Amirul Mukminin telah berbuat bid'ah sebagaimana yang telah kami rinci, mereka justru menuduh kamilah yang menuduh dia ('Umar) telah berbuat bid'ah. Dalam hal itu, mereka melontarkan ungkapan-ungkapan yang beragam. Kami telah menukil salah satu di antaranya dan telah kami bantah dalam tulisan kami yang pertama (hal. 8-9 buku asli, -pent). Bantahan itu sudah cukup, dan tidak perlu kami ulang di sini. Mereka tak merasa cukup dengan tuduhan itu. Mereka masih juga menambah-nambah komentar yang justru malah menambah kehinaan kebatilan mereka. Mereka beranggapan dengan anggapan dusta bahwa kami telah melaknat 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu. Kami berlindung kepada Allah dari hal semacam itu, atau yang lebih remeh dari itu sekalipun. Mereka masih menambah dengan tuduhan lain lagi, yaitu bahwa kami telah melaknat generasi 'ulama as-Salaf seluruhnya. Mereka menyatakan (dengan memanggil kami) (pada hal. 10 buku asli, -pent): "Wahai orang yang menganggap sesat para 'ulama as-Salaf!" Mereka juga menyatakan: "Mereka (yaitu kami) telah melaknat induk ummat ini (para 'ulama as-Salaf) dan kaum Muslimin yang datang belakangan." Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Allah-lah sandaran kami dan Dia-lah sebaik-baik penolong. Sungguh tak pernah aku saksikan orang yang lebih nekat memfitnah para ahli kebaikan daripada mereka. Semoga Allah memperbaiki dan memberi mereka petunjuk menuju jalan yang lurus. Alangkah miripnya keadaan kami dan mereka dengan apa yang diceritakan ahli sya'ir:

"Orang lain yang memakan nangka, aku yang terkena getahnya, seolah-olah aku ini tamengnya orang yang berbuat dosa."

Atau lebih tepat lagi ucapan seorang penya'ir:

"Engkau melempar batu sembunyi tangan, dan akulah yang menjadi korban."

"Ibarat unta berkudis, membuat yang lain menyingkir, sementara dia tinggal makan seenaknya."

Kemudian, tulisan kami ini sendiri terdiri dari delapan fasal pembahasan:

Fasal I. Pendahuluan, tentang disunnahkannya berjama'ah dalam shalat Tarawih. (Hal. 9)

Fasal II. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat Tarawih lebih dari sebelas raka'at. (Hal. 16)

Fasal III. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hanya melakukan dengan 11 raka'at, hal itu menjadi dalil tidak dibolehkannya menambah jumlah raka'at. (Hal. 22)

Fasal IV. 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu menghidupkan kembali shalat Tarawih (berjama'ah) dan menyuruh manusia kala itu untuk shalat sebelas raka'at. (Hal. 41)

Fasal V. Tak ada riwayat shahih yang menyatakan bahwa ada seorang Shahabat yang pernah shalat Tarawih 20 raka'at. (Hal. 65)

Fasal VI. Kewajiban untuk konsisten melakukan Tarawih 11 raka'at dan dalil mengenai hal itu. (Hal. 75)

Fasal VII. Tata cara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan shalat Witir. (Hal. 86)

Fasal VIII. Anjuran untuk memperbagus shalat dan peringatan bagi mereka yang shalat asal-asalan. (Hal. 99)

Di samping masih banyak lagi fasal pembahasan lain yang bercabang-cabang, beberapa pengetahuan fiqih dan hadits serta bahasan-bahasan lain yang akan didapati pembaca. Aku memohon kepada Allah Ta'ala agar memberiku taufiq untuk menetapi kebenaran lewat apa yang telah kami tulis, dan juga yang lainnya. Semoga Allah menjadikannya sebagai amal yang ikhlas semata untuk dapat melihat wajah Allah yang Maha Mulia, dan dapat bermanfaat bagi saudara-saudara kita kaum Muslimin. Sesungguhnya Allah itu Maha Baik lagi Maha Penyayang.

Damsyiq, Sabtu 4/ 9/ (13)77 H.

Muhammad Nashiruddin al-Albani.

===

Catatan penterjemah:
Semua nomor halaman yang tertulis di dalam tanda kurung menyatakan nomor halaman buku aslinya (dalam bahasa Arab).

===

(1) [Peringatan: Di antara hal yang menunjukkan bahwa mereka itu tidak teliti dalam penukilannya: Mereka berdalil dengan ucapan al-'Izzu bin 'Abdissalam yang membagi bid'ah itu menjadi lima bagian. Mereka menyebutkan contoh-contoh untuk masing-masing bagian, kecuali bid'ah makruhah (yang dimakruhkan). Mereka sengaja menyingkirkan contoh-contoh yang disebutkan oleh al-'Izzu bin 'Abdissalam dalam al-Qawa'id (II: 96): "Adapun bid'ah yang dimakruhkan, contohnya misalnya: Menghias-hias masjid dan mendekorasi mushhaf al-Qur'an." Aku kira, orang yang tidak pintarpun bisa meraba-raba apa yang mendorong mereka untuk menyingkirkan keterangan itu yang berasal dari ucapan al-'Izzu bin 'Abdissalam sendiri! Apalagi kalau pembaca mendengar apa yang dibangga-banggakan oleh penulis buku al-Ishabah, yang mana dia sebagai penanggung jawab terbesar, karena di bawah namanya pada sampul buku itu dia lekatkan gelar Imam Masjid Jami' ar-Raudhah di Damaskus! Masjid itu dibangun lewat dana sejumlah para dermawan -semoga Allah memberi mereka ganjaran yang baik-. Namun kenyataannya, masjid itu akhirnya dibungkus oleh hiasan-hiasan yang menyolok. Dengan anggapan, itu merupakan ibadah dan pengabdian. Hal itu terjadi, karena bungkamnya orang-orang semacam penulis itu, dan karena mereka menyembunyikan ilmu. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu: "Bagaimana kamu nanti, bila datang fitnah menjeratmu, dimana orang-orang tua sudah mendekati liang kubur, anak-anakpun beranjak dewasa, kala itu, manusia mulai menjalankan kebiasaan yang apabila sedikit saja ditinggalkan, mereka akan berkomentar: 'Kamu telah meninggalkan Sunnah.'" Para sahabat Ibnu Mas'ud bertanya: "Kapan hal itu akan terjadi?" Dia menjawab: "Apabila para 'ulama di kalangan kamu sudah tiada, orang yang belajar di kalangan kamu banyak, namun yang alim di antara kamu jarang. Para pemimpin di antara kamu banyak, namun yang memelihara amanah di antaranya sedikit. Kala itu, dunia dicari dengan amalan Akhirat dan ilmu-ilmu dunia jadi rebutan."

(Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I: 60) dengan dua jalur sanad, yang satu shahih dan yang satunya lagi hasan, al-Hakim (IV: 514) dan Ibnu 'Abdil Barr dalam Jami'u Bayani al-'Ilmi (I: 188). Atsar ini, meskipun hanya merupakan ucapan Shahabat (bukan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), namun ia disederajatkan dengan hadits yang marfu', karena mengandung pembicaraan tentang hal-hal yang ghaib (yang belum terjadi) yang hanya dapat diketahui melalui wahyu. Dan itu merupakan keistimewaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagian besar di antaranya telah terbukti kebenarannya sebagaimana yang dapat kita saksikan, khususnya yang berkaitan dengan Sunnah dan bid'ah. Kita akan menemukan -di zaman ini- orang yang paling getol mengikuti Sunnah dan memerangi bid'ah malah mendapat tuduhan dari kalangan penentangnya sebagai ahli bid'ah dan tukang meninggalkan Sunnah? Hal itu disebabkan karena dia mengingkari bid'ah-bid'ah yang dilakukan dan dipegang teguh oleh orang banyak yang mana bid'ah-bid'ah itu sudah dianggap sebagai Sunnah. Risalah ini al-Ishabah adalah sebagai bukti kongkrit kenyataan ini.

Lalu bagaimana sikap orang-orang yang mengaku sebagai pembela para Shahabat tadi terhadap ucapan 'Umar (radhiyallahu 'anhu) tatakala dia menyuruh (manusia) untuk memperbaharui masjid an-Nabawi "Pokoknya bikin manusia terlindung dari hujan, hati-hati, jangan kalian warnai dengan merah atau kuning." Demikian juga ucapan Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma): "Janganlah kalian menghias-hiasinya sebagaimana yang diperbuat orang-orang yahudi dan nashrani." Imam al-Bukhari meriwayatkan kedua atsar itu dalam Shahihnya dengan sanad mu'allaq (terputus dari awal sanadnya) (I: 248-427). Tak ada tercatat, bahwa kedua Shahabat mulia tadi disanggah oleh Shahabat lain (dalam perkara itu). Hendaknya mereka (yang mengaku pembela Sunnah tadi) menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa mereka menyetujui para Shahabat itu dalam meninggalkan "menghias-hiasi" masjid, sekaligus menjelaskan bahwa itu adalah bid'ah yang dimakruhkan sebagaimana yang dijelaskan oleh al-'Izzu bin 'Abdissalam dan para tokoh 'ulama yang lain, kalau memang mereka jujur dalam membela para Shahabat tadi. Kalau tidak, berarti jelas bahwa mereka menulis buku hanya untuk mentolerir yang umum dilakukan orang banyak.]

(2) [Hal itu sudah dijelaskan bukan hanya oleh satu 'ulama, di antaranya al-Qasthalani dalam Syarhu al-Bukhari (V: 4).]

(3) [Yang dimaksudkan adalah sikap "tengah-tengah". Dalam Lisanul Arab disebutkan: Arti Qashad (sekedarnya) adalah lawan dari Ifrath, yaitu berlebih-lebihan. Yang dimaksudkan adalah antara berlebih-lebihan dengan berlalai-lalai. Atsar ini shahih. Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I: 72), al-Baihaqi (III: 19) dan al-Hakim (I: 103), lalu dia menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi.]

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shalaatu at-Taraawiihi, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, Tanpa keterangan penerbit, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun, Judul terjemahan: Shalat Tarawih Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Ustadz Abu Umar Basyir al-Maidani hafizhahullah, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan IV, Nopember 2000 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT