Skip to main content

Shahih Fiqih Sunnah: Adab Buang Hajat (2)

Shahih Fiqih Sunnah

Jilid 1

Kitab Thaharah

Istinja'

Adab Buang Hajat

5. Tidak menghadap atau membelakangi kiblat ketika duduk untuk buang hajat. Dasarnya adalah hadits Abu Ayyub al-Anshari ra-dhiyallaahu 'anhu dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

"Jika kalian buang air besar, janganlah menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya. Tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat."

Abu Ayyub berkata, "Kami pergi ke Syam. Kami dapati di sana tempat-tempat buang air menghadap ke kiblat. Kami pun membelokkan sedikit darinya, dan meminta ampu kepada Allah Sub-haanahu wa Ta'aala." (145)

Akan tetapi telah shahih dari Ibnu 'Umar (ra-dhiyallaahu 'anhuma), ia berkata, "Suatu hari aku menaiki atap rumah kami. Aku melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertumpuh di atas dua batu bata dengan menghadap Baitul Maqdis untuk buang hajat." (146)

Jika beliau (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) menghadap Baitul Maqdis di Madinah -padahal beliau di Madinah- berarti beliau membelakangi Ka'bah!

Penulis berkata: Dalam memahami hadits ini ada empat pendapat yang masyhur di kalangan 'ulama. (147)

Pertama, larangan menghadap dan membelakangi kiblat secara mutlak, baik di dalam ruangan maupun di tempat terbuka. Ini adalah madzhab Abu Hanifah, Ahmad dan Ibnu Hazm, serta pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Hazm menuliknya dari Abu Hurairah, Abu Ayyub, Ibnu Mas'ud dan Saraqah bin Malik, serta dari 'Atha', an-Nakha'i, ats-Tsauri dan Abu Tsaur. (148) Mereka berdalil dengan hadits Abu Ayyub yang telah disebutkan di atas.

Mereka menjawab hadits dari Ibnu 'Umar dengan beberapa hal:

a. Larangan harus didahulukan daripada dalil yang membolehkan.

b. Tidak ada yang menunjukkan hal itu (pembolehan) terjadi setelah larangan menghadap dan membelakangi kiblat.

c. Perbuatan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidaklah bertentangan dengan perkataan yang khusus ditujukan untuk ummat. Kecuali bila ada dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan beliau itu untuk dicontoh. Jika tidak, maka perbuatan itu khusus untuk beliau.

Penulis berkata: Poin terakhir ini mungkin dikuatkan dengan kemungkinan bahwa Ibnu 'Umar melihat perbuatan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tersebut tanpa sengaja. Sepertinya Nabi (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) tidak menghendaki penjelasan tentang sebuah hukum syar'i yang baru dari perbuatan beliau tersebut.

Kedua, larangan ini khusus bagi yang buang hajat di tanah lapang bukan di dalam bangunan. Ini pendapat Malik, asy-Syafi'i, salah satu dari dua riwayat yang paling shahih dari Ahmad, dan Ishaq. Mereka menempuh jalur kompromi di antara dua dalil. Menurut mereka, kaidah "mendahulukan ucapan dari perbuatan" baru bisa dipakai dalam keadaan adanya khushusiyyah (dalil yang mengkhususkan), sementara tidak ada dalil yang menetapkan adanya khushusiyyah dalam masalah ini.

Ketiga, boleh membelakangi kiblat dan tidak boleh menghadap kiblat. Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Ahmad, karena mengamalkan zhahir hadits Ibnu 'Umar dan hadits Abu Ayyub.

Keempat, boleh menghadap dan membelakangi kiblat secara mutlak. Ini adalah pendapat 'Aisyah, Urwah, Rabi'ah dan Dawud. Argumen mereka bahwa hadits-hadits (dalam masalah ini) saling kontradiktif, maka masalah ini dikembalikan kepada hukum asal, yaitu boleh.

Penulis berkata: Barangkali pendapat pertama -yaitu haram secara mutlak- itulah yang kuat dalilnya dan yang paling selamat untuk diamalkan. Wallaahu a'lam.

===

(145) Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari 394, Muslim 264, dan selainnya.

(146) Shahih, diriwayatkan al-Bukhari 145, Muslim 266, dan selainnya.

(147) Disebutkan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu' 2/82 dan al-Hafizh menambahkan dalam al-Fath 1/296 tiga pendapat yang lain.

(148) Al-Muhalla 1/194, al-Fath 1/296, al-Ausath 1/334, as-Sail al-Jarrar 1/69 dan al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah 8.

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: Shahih Fiqh as-Sunnah, wa adillatuhu wa taudhih madzahib al-a'immah, Penulis: Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Ta'liq: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, Penerbit: Maktabah at-Taufiqiyah, Kairo - Mesir, tanpa keterangan cetakan, Tahun 1424 H/ 2003 M, Judul terjemah: Shahih Fiqih Sunnah Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka at-Tazkia, Jakarta, Cetakan IV, Syawwal 1430 H/ September 2009 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog