Skip to main content

Tafsir wanita: Kafa'ah (Kesetaraan) dalam Pernikahan

Tafsir wanita

Surat al-Baqarah

Kafa'ah (Kesetaraan) dalam Pernikahan

Definisi Kafa'ah

Kafa'ah secara bahasa berarti setara atau sama. Jika kita katakan: Fulan kafa'a Fulanah, itu berarti dia setara atau dia bisa menjadi suami perempuan itu. Para fuqaha memakai kata kuf'u tidak akan keluar jauh dari sekitar makna bahasa ini. (1)

Para fuqaha berbeda pendapat mengenai syarat-syarat kafa'ah yang seharusnya dimiliki oleh seorang suami terhadap calon isterinya.

Mayoritas mereka berpendapat -sebagaimana dikatakan oleh al-Khathabi- bahwa kafa'ah itu bisa dilihat dari empat hal: agama, merdeka, nasab dan profesi.

Jumhur fuqaha menganggap bahwa kafa'ah itu hanya merupakan kelaziman pernikahan dan bukan merupakan syarat sah pernikahan. Sebagian fuqaha menambahkan hendaknya kafa'ah juga dalam hal, sehat tidak memiliki cacat, dan juga dalam harta.

Apa yang disebutkan para 'ulama itu, semuanya akan kembali pada masing-masing mereka, agar sebuah keluarga itu benar-benar bisa kokoh dan stabil. Ketiadaan semua syarat itu atau sebagiannya saja, kadang tidak mampu mengantarkan pada kekokohan dan kestabilan keluarga, yang merupakan tujuan dari syari'at Islam.

Para fuqaha menyebutkan bahwa boleh bagi seorang wanita untuk meniadakan semua syarat itu, sebab pernikahan sah walaupun itu semua tidak ada, yang penting dia harus bertanggung jawab tentang pernikahannya ini di hadapan Allah.

Sebagian 'ulama mengambil jalan moderat dalam masalah ini, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ahmad, dimana dia mensyaratkan kafa'ah itu hanya dalam hal agama dan nasab, dia melihat bahwa dengan dua hal ini sudah cukup untuk membuat sebuah keluarga berhasil.

Namun, ada pula yang hanya membatasi pada soal agama saja, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik.

Ada pula yang memberi persyaratan sangat banyak, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam asy-Syafi'i dan Abu Hanifah. Keduanya menambahkan dalam hal: mereka, profesi, kemudahan hidup (kekayaan), dan tidak punya cacat pada syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya.

Mereka berijtihad dengan tujuan agar masalahnya betul-betul sampai pada titik yang sempurna, walaupun kami melihat bahwa agama telah cukup untuk menjadi syarat kafa'ah dalam masalah ini, sebab ia merupakan dasar utama seleksi. Namun demikian, jika sisi-sisi lain juga mendapat perhatian, maka bisa dipastikan pernikahan akan lebih kokoh. Ini semua bisa kita saksikan dari realitas yang ada.

Agar menjadi lebih utama bagimu, wahai saudariku muslimah, maka di bawah ini akan aku kemukakan beberapa pendapat 'ulama:

Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni 7/27, "Ada beberapa riwayat berbeda yang datang dari Ahmad mengenai syarat kafa'ah.

Diriwayatkan darinya, bahwa untuk itu ada dua syarat yang mesti, yaitu: Agama dan kedudukan. Namun juga diriwayatkan darinya bahwa dalam hal kafa'ah ini ada lima. Dua yang disebutkan tadi, kemudian yang lain: merdeka, profesi, dan kemudahan hidup (kekayaan)."

Sementara itu al-Qadhi menyebutkan dalam al-Mujarrad, bahwa ketiadaan tiga syarat terakhir itu, tidak sampaikan membatalkan nikah. Ini adalah satu riwayat, namun dalam riwayat lain, jika tidak ada dua syarat saja dari yang disebutkan pertama kali tadi, maka bisa membatalkan nikah.

Dia berkata, "Tampaknya yang bisa membatalkan nikah itu adalah pada masalah nasab saja dan bukan pada yang lain. Sebab, itu sebuah kekurangan yang urgen sedangkan yang lain tidak, dimana ketidakadaannya tidak akan berpengaruh pada anak cucu. Disebutkan dalam al-Jami' dua riwayat itu, dengan semua syarat. Ini juga disebutkan oleh Abu Khathab."

Malik berkata, "Kafa'ah hanya wajib dalam hal agama bukan lainnya." Ibnu 'Abdil Barr berkata, "Inilah madzhab Imam Malik dan sahabat-sahabatnya."

Dari Imam asy-Syafi'i disebutkan sebuah pendapat sebagaimana pendapat Imam Malik. Namun dalam pendapat yang lain, disebutkan bahwa syaratnya adalah lima sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelum ini, ditambah lagi dengan tidak ada cacat.

Demikian pula pendapat Abu Hanifah, ats-Tsauri, al-Hasan bin Hayyi, kecuali dalam masalah profesi dan selamat dari cacat. Sementara itu al-Hasan tidak menganggap kafa'ah dalam agama sebagai syarat, kecuali seorang pemabuk, yang jika dia keluar rumah, maka dia akan diperolok-olok oleh orang termasuk anak-anak kecil. Maka yang demikian, bagaimana pun tidak bisa disebut sebagai kufu.

Dalil dijadikannya agama sebagai salah satu syarat kafa'ah adalah, firman Allah yang berbunyi,

"Maka apakah sama antara orang yang beriman dengan orang yang fasik (kafir). Mereka tidak sama." (QS. As-Sajdah: 18)

Sedangkan dalil mengenai dijadikannya keturunan (nasab) sebagai salah satu syarat kafa'ah adalah, apa yang dikatakan oleh 'Umar bin al-Khaththab (ra-dhiyallaahu 'anhu), "Aku akan mencegah kemaluan-kemaluan orang-orang yang berasal dari keturunan terhormat kecuali dengan orang-orang yang sekufu."

Lalu ditanyakan padanya, "Dari sisi apa yang dimaksud dengan sekufu?" Dia menjawab, "Sekufu dari sisi keturunan."

Ini diriwayatkan oleh Abu Bakar 'Abdul 'Aziz dengan sanadnya, sebab orang-orang Arab menganggap nasab sebagai suatu yang mesti dalam kafa'ah. Mereka menghindari kawin dengan mantan-mantan budak, sebab hal itu sebagai suatu aib dan sebuah kekurangan.

Jika kafa'ah dinyatakan secara mutlak, maka hendaknya ia ditafsirkan pada apa yang biasa dikenal oleh kebanyakan orang. Sebab ketidakadaannya akan menjadi sebuah aib dan kekurangan. Maka hendaknya kafa'ah yang biasa dikenal (sesuai tradisi) itu, dianggap memiliki porsi yang sama sebagaimana agama.

===

(1) Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah 34/265-270.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog