Skip to main content

Tafsir wanita: Definisi Darah Haidh dan Masa Haidh

Tafsir wanita

Surat al-Baqarah

Pertama; Darah Haidh

Definisi

Secara bahasa, kata haidh adalah masdar (infinite noun) dari kata haadha, yang artinya mengalir.

Jika disebutkan, perempuan haidh artinya, perempuan yang darahnya mengalir. Kata tunggal dari haidh itu adalah haydhah, sedangkan jamaknya (pluralnya) adalah haidh, atau haydhaat, sedangkan hiyadh adalah darah haidh.

Secara istilah, yang dimaksud dengan haidh adalah darah alami yang keluar dari seorang perempuan sehat, tanpa adanya sebab melahirkan, darah ini berasal dari dasar rahim yang biasa dialami oleh kaum perempuan jika dia telah baligh pada waktu-waktu tertentu.

Al-Qurthubi menambahkan dalam tafsirnya (1): Sedangkan darahnya -yakni haidh itu- adalah darah yang kental berwarna kehitaman. Jika ini terjadi maka seorang wanita hendaknya meninggalkan shalat dan puasa. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.

Kadangkala haidh itu bersambung dan kadangkala terputus. Jika bersambung maka hukumnya telah jelas yang berlaku padanya. Namun jika terputus-putus, dimana dia melihat darah sehari kemudian suci sehari, atau melihat darah dua hari kemudian suci dua hari, maka jika demikian, sesungguhnya ketentuan bagi dia adalah meninggalkan shalat pada saat ada darah, kemudian mandi pada saat tidak ada darah, dan mengerjakan shalat.

Untuk masa-masa dimana dia mengeluarkan darah, itulah yang dihitung, sedangkan masa-masa suci yang berseling itu tidak dihitung. Dan jangan pula dihitung dalam iddah dan tidak pula istibra'. Haidh itu sebagai sesuatu yang Allah ciptakan untuk wanita dan merupakan tabi'at alami yang biasa terjadi dari mereka.

Masa Haidh

Al-Qurthubi berkata (2), "Para 'ulama berbeda pendapat mengenai lamanya masa haidh. Para fuqaha' Madinah berkata, 'Sesungguhnya masa haidh itu tidak lebih dari lima belas hari, namun bisa saja jadi lebih dari lima belas hari, dan seterusnya. Sedangkan jika ternyata lebih dari lima belas hari, maka itu tidak lagi disebut haidh, namun ia adalah istihadhah. Ini adalah madzhab Malik dan sahabat-sahabatnya.'"

Juga diriwayatkan dari Malik, bahwa tidak ada batas minimal dan maksimal bagi seorang wanita yang haidh, kecuali sesuai kebiasaan apa yang ada pada wanita. Seakan-akan dia menarik pendapatnya yang pertama dan dia mengembalikannya pada kebiasaan wanita.

Muhammad bin Maslamah berkata, "Batas minimal suci adalah lima belas hari." Pandangan ini adalah pandangan sebagian besar 'ulama Baghdad dari kalangan penganut madzhab Maliki. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi'i, Abu Hanifah dan sahabat-sahabat mereka berdua serta ats-Tsauri.

Ini adalah pandangan yang tepat dalam masalah ini. Sebab Allah Yang Mahaagung telah menjadikan iddah bagi wanita-wanita yang masih haidh (belum manopause), itu tiga kali masa haidh ('ulama lain ada yang mengatakan; tiga kali masa suci, -edt). Sedangkan wanita-wanita yang tidak haidh baik karena tua (manopause) atau karena masih kecil (belum baligh) adalah tiga bulan.

Dengan demikian, setiap 'quru' (masa haidh dan suci) itu adalah sebulan. Dan dalam sebulan itu terdiri dari masa haidh dan suci. Jika masa haidh sedikit maka masa suci menjadi panjang, dan sebaliknya jika masa haidhnya panjang maka masa suci pendek. Maka jika masa haidh lima belas hari sempurnalah dalam satu bulan masa haidh dan suci sebagaimana hal itu dikenal dalam kebiasaan wanita dan sesuai penciptaan mereka yang disebutkan dalam al-Qur-an dan as-Sunnah.

Aku katakan, "Yang paling benar adalah apa yang menjadi pendapat Imam Malik terakhir, yakni tidak ada batasan minimal dan maksimal untuk masa haidh. Ini semua kembali kepada kebiasaan para wanita. Ini pula yang menjadi pendapat Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' al-Fatawa 21/623."

Sedangkan orang-orang yang mengatakan bahwa haidh itu lima belas hari, sebagaimana yang dikatakan oleh asy-Syafi'i dan Ahmad, mengatakan bahwa batas minimal haidh adalah sehari -sebagaimana dikatakan oleh Imam asy-Syafi'i dan Ahmad- atau tanpa batas sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik. Maka mereka mengatakan bahwa tidak ada satu pun riwayat yang datang dari Nabi (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) dan para shahabatnya (ra-dhiyallaahu 'anhum) dalam masalah ini. Maka hendaknya ini dikembalikan kepada kebiasaan yang ada pada wanita sebagaimana yang kami katakan sebelumnya. Wallaahu a'lam.

===

(1) Jami' Ahkam al-Qur-an, al-Qurthubi, 3/87.

(2) Jami' Ahkam al-Qur-an, al-Qurthubi, 3/87.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog