Surat al-Baqarah
Hukum Bersenggama dengan Wanita yang Sedang Haidh
Allah berfirman,
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, 'Haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.'" (QS. Al-Baqarah: 222)
As-Suyuthi menjelaskan dalam tafsirnya, (1)
Yang dimaksud "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh," yakni, tentang haidh itu sendiri atau tempat keluarnya haidh. Apa yang harus dilakukan oleh perempuan tentangnya? "Katakanlah, 'Haidh itu adalah kotoran.'" Yakni, haidhnya itu sendiri atau tempatnya.
"Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita," janganlah kamu mencampurinya, "di waktu haidh," yakni di waktunya atau di tempatnya.
"Dan janganlah kamu mendekati mereka," yakni dengan jima'. "Sebelum mereka suci," huruf tha'nya dibaca sukun dan kadang juga dibaca dengan taysdid juga dalam huruf ha' di dalamnya adalah idgham ta' pada aslinya, yakni mandi setelah selesainya haidh. "Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu," yakni dengan jima'.
"Di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu," yakni dengan menjauhinya pada masa haidh (yaitu) bagian kemaluan depan, jangan sampai melewati itu. "Sesungguhnya Allah mencintai," yakni kecintaan yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. "Orang-orang yang bertaubat," yakni dari dosa, "Dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri," yakni dari kotoran.
Sebab Turunnya Ayat ini
Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Anas (ra-dhiyallaahu 'anhu), sesungguhnya orang-orang yahudi, jika ada salah seorang wanita di antara mereka sedang haidh, maka mereka tidak boleh makan dan tidak boleh berkumpul di dalam rumah. Maka shahabat-shahabat Rasulullah lalu bertanya kepada Nabi (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam).
Sehingga kemudian Allah menurunkan ayat, "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, 'Haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (QS. Al-Baqarah: 222)
Maka Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) pun bersabda, "Lakukan apa saja, kecuali nikah (berhubungan intim)." Apa yang dikatakan oleh Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) ini ternyata sampai ke telinga orang-orang yahudi. Maka mereka berkata, "Tidaklah Muhammad membiarkan perkara kami, kecuali dia akan selalu melakukan sesuatu yang berbeda dengan kami." Maka kemudian datanglah Usaid bin Hudhair dan Ubbad bin Bisyr (ra-dhiyallaahu 'anhuma), seraya berkata, "Wahai Rasulullah, orang-orang yahudi itu berkata begini dan begitu! Tidakkah boleh bagi kita untuk berhubungan intim dengan mereka (di saat sedang haidh)?"
Maka berubahlah wajah Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam), hingga kami mengira bahwa mereka berdua akan mendapat marah besar. Lalu keduanya keluar, kemudian Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) kami beri minum susu, Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) mengirimkan utusan untuk menyusul mereka berdua. Lalu oleh beliau (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) keduanya diberi minum dengan susu itu. Maka tahulah keduanya bahwa Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) tidak marah atas keduanya.
Aku katakan, "Oleh sebab itu, wajib bagimu wahai saudariku para muslimah, untuk tahu hukum-hukum haidh!"
Kami akan mulai sekarang tentang hal-hal yang keluar dari rahim seorang wanita, yang tidak akan lepas dari tiga hal:
Pertama: Darah haidh, yakni darah kental yang warnanya kehitaman.
Kedua: Darah nifas, yakni darah yang keluar setelah melahirkan.
Ketiga: Darah istihadhah, yakni darah yang tidak biasa keluar dari wanita secara normal, dia adalah darah penyakit yang keluar terputus-putus tidak teratur, yang mengikuti darah haidh. Darah ini tidak terhenti kecuali jika sembuh darinya.
Hukum bagi wanita yang sedang mengalami darah istihadhah adalah suci, dan tidak ada larangan apapun untuk melakukan shalat atau puasa, sebagaimana hal itu telah menjadi kesepakatan para 'ulama, dan juga sesuai dengan atsar yang marfu'. Dengan syarat, memang benar-benar diketahui bahwa hal itu adalah darah penyakit dan bukan darah haidh. (2)
===
(1) Tafsir Jalalain 1/45.
(2) Jami' Ahkam al-Qur-an, al-Qurthubi, 3/87.
===
Maraji'/ Sumber:
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.
===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT