Skip to main content

Tafsir wanita: Bolehnya mencium bagi orang yang puasa (4)

Tafsir wanita

Surat al-Baqarah

Hukum-hukum puasa

Bolehnya mencium bagi orang yang puasa (4)

Imam asy-Syafi'i berkata dalam kitabnya al-Umm (1), "Jika dia bersetubuh dengan isteri yang baligh, maka kaffaratnya tidak dijatuhkan kepada si perempuan. Cukup si lelaki membayar kaffarat dan itu telah cukup bagi dirinya dan isterinya. Sebagaimana juga dalam umrah dan haji. Inilah yang berjalan dalam Sunnah.

Tidakkah kau ketahui, bahwa Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) tidak pernah bersabda, kalau perempuan harus membayar kaffarat, sebagaimana dia tidak pernah bersabda bahwa lelaki yang bercampur dengan isterinya, si perempuan harus membayar kaffarat."

Imam asy-Syafi'i juga berkata, "Jika ada orang yang berkata, 'Lalu bagaimana dengan hukuman atas sebuah tindakan kriminal (had) yang dijatuhkan kepada wanita karena jima', namun tidak ada tebusan (kaffarat) atasnya?'"

Dia berkata, "Had itu tidak sama dengan kaffarat. Tidakkah kau perhatikan bahwa had atas perilaku kriminal itu berbeda antara orang merdeka, hamba sahaya, janda dan perawan. Namun tidak ada perbedaan kaffarat atas pelaku jima' pada bulan Ramadhan, walaupun keduanya ada perbedaan dalam hal tersebut. Madzhab kami dan apa yang kami nyatakan, jika ada khabar (nash) yang membedakan antara sesuatu, maka hendaknya dia juga harus dibedakan sebagaimana nash tersebut membedakan."

Hanya saja al-Khathabi membantah apa yang dikatakan oleh asy-Syafi'i tersebut dengan berkata (2), "Dengan adanya kewajiban kaffarat bagi laki-laki yang melakukan tindakan kejahatan, maka sepatutnya wajib pula bagi seorang wanita yang melakukan hal yang sama, untuk dijatuhkan kaffarat atasnya. Sebab syari'at telah menyamakan antara manusia dalam masalah hukum, kecuali dalam masalah-masalah yang ada dalil yang menunjukkan kekhususannya.

Jika telah diwajibkan atas perempuan untuk mengqadha' puasa karena dia berbuka dengan melakukan jima' secara sengaja sebagaimana hal itu juga diwajibkan bagi laki-laki, maka wajib pula baginya untuk membayar kaffarat, dengan illat ini sebagaimana yang berlaku bagi laki-laki. Demikian adalah madzhab mayoritas 'ulama."

Aku katakan: Sebagian 'ulama telah membahas masalah ini secara detail. Dan mereka berkata, "Jika wanita merasa suka (menikmati) dengan apa yang dilakukan, maka wajib baginya untuk membayar kaffarat. Namun jika dia tidak suka dan dia dipaksa, maka tidak wajib baginya untuk membayar kaffarat."

Di antara mereka ada juga yang merinci, bahwa wajib atas keduanya untuk membayar qadha', namun hanya bagi laki-laki saja yang wajib untuk membayar kaffarat dengan memberi makanan. Sebab hal itu termasuk merupakan kewajiban suami untuk memberi nafkah atasnya.

Dalam hal ini Imam al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya (3), "Para 'ulama juga berbeda pendapat mengenai wanita yang disetubuhi suaminya pada bulan Ramadhan. Malik, Abu Yusuf dan madzhab fikih aliran rasional berkata, 'Wajib bagi perempuan sebagaimana wajib atas suaminya.'"

Imam asy-Syafi'i berkata, "Tidak ada kewajiban baginya kecuali hanya satu kaffarat saja. Baik si isteri setuju atau pun dia dipaksa. Sebab Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) memberi jawaban kepada orang yang bertanya tadi dengan satu kaffarat saja, dan beliau tidak merincinya."

Diriwayatkan dari Abu Hanifah, "Sesungguhnya jika dia setuju dengan ajakan suaminya, maka atas masing-masing dari keduanya wajib membayar kaffarat. Namun jika dia dipaksa, maka hanya ada satu kaffarat saja. Ini adalah pendapat Sahnun bin Said al-Maliki."

Imam Malik berkata, "Wajib baginya dua kaffarat. Ini adalah pendapat akhir madzhabnya di kalangan sahabat-sahabatnya." (4)

As-Sarakhsyi berkata dalam kitab al-Mabsuth 3/79, "Jika seorang lelaki telah berhubungan badan dengan isterinya pada vagina, dan ujung dzakarnya sampai tenggelam, meskipun tidak sampai keluar mani, maka wajib bagi keduanya untuk mengqadha' puasanya, membayar kaffarat, dan mandi. Adapun mandi ini dilakukan, karena dia telah membuka pengatup mani, sedangkan kaffarat, karena dia telah membatalkan puasa (berbuka) dengan cara melakukan sebuah tindakan kekeliruan besar dengannya."

Al-Kasani juga berkata dalam Badai' ash-Shanai' 2/10, "Andaikata dia memasukkan kemaluannya, meskipun dia tidak sampai mengeluarkan mani, maka wajib baginya untuk mengqadha' dan membayar kaffarat, karena berarti dia telah melakukan jima' baik dari segi bentuk maupun makna. Sebab yang dimaksud dengan jima' adalah memasukkan kemaluan pada kemaluan. Sedangkan keluarnya mani adalah sesuatu yang terjadi setelah jima', maka yang demikian tidaklah dianggap." (5)

===

(1) Al-Umm 2/100.

(2) Ma'alim as-Sunan 2/784.

(3) Jami' Ahkam al-Qur-an 2/215.

(4) Aku katakan: Pendapat seperti ini banyak diungkapkan oleh para 'ulama. Lihat misalnya buku Badai' ash-Shanai', al-Kasani 2/98. Juga al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/123. Fat-hul Baari 4/170.

(5) Aku kutip dari buku Jami' Ahkam an-Nisa', Syaikh Mushthafa al-Adawi 2/387.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT