Surat al-Baqarah
Hukum-hukum puasa
Bolehnya mencium bagi orang yang puasa (2)
Sebagaimana juga telah diriwayatkan dari Abu Dawud dari Jabir bin 'Abdillah ra-dhiyallaahu 'anhu, dia berkata, "'Umar bin al-Khaththab berkata, 'Aku sangat riang, lalu aku mencium isteriku pada saat aku sedang berpuasa. Maka aku bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, 'Wahai Rasulullah, aku hari ini telah melakukan sebuah perkara yang besar, aku berciuman sedangkan aku berpuasa!' Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
'Bagaimana pendapatmu, jika engkau berkumur-kumur dengan air dan engkau dalam keadaan puasa?' Maka aku menjawab, 'Tidak apa-apa.' Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, 'Ya, begitulah!'" (1)
Karena itulah Ibnul Qayyim berkata dalam Zaadul Ma'ad (2), "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mencium sebagian isterinya pada saat beliau berpuasa Ramadhan. Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyamakan ciuman itu dengan berkumur pakai air."
Ibnul Qayyim melanjutkan, "Tidak benar ada pembedaan antara lelaki yang telah tua dan anak-anak muda, sebab tidak ada dalil manapun yang menyebutkan hal tersebut."
Aku katakan, "Adapun sandaran bagi orang-orang yang membedakan antara lelaki yang sudah tua dengan yang masih muda, mungkin dalil yang mereka pakai adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tentang kasus orang yang berpuasa bersentuhan dengan isterinya. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi keringanan atasnya. Sementara yang lain lagi datang dengan persoalan yang sama, namun Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarangnya. Dan kebetulan, ternyata yang diberi keringanan itu adalah kakek-kakek tua, sedangkan yang dilarang itu adalah seorang yang masih muda. (3)
Aku katakan, "Hanya saja, hadits ini adalah hadits lemah (dha'if), karena di dalamnya ada Abul Anbas yang tidak dinyatakan sebagai perawi kredibel, kecuali oleh Ibnu Hibban. Sedangkan Ibnu Hibban sebagaimana yang kita ketahui, dia kadang menguatkan orang-orang yang tidak diketahui (majhul) sesuai dengan kaidah kaidah dalam penerimaan hadits. Dengan demikian, maka hadits ini tidak bisa diterima jika hanya dia yang meriwayatkannya. Selain itu hadits ini juga berlawanan dengan hadits Muslim yang disebutkan sebelumnya, dimana si penanya yang bernama 'Umar bin Abu Salamah, dia adalah anak Ummul Mukminin Ummu Salamah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa saat itu ia masih muda. Namun Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam kenyataannya tidak membedakan antara yang muda dan yang tua.
Namun apa hukumnya jika seorang lelaki mencium isterinya, lalu perempuan itu keluar mani dan laki-laki itu pun keluar mani?
Ketahuilah, wahai saudari-saudariku, sesungguhnya boleh bagi seorang lelaki untuk mencium isterinya saat dia puasa, namun dengan syarat hendaknya dia tidak sengaja melakukan itu, supaya keluar mani. Maka jika dia keluar mani atau isterinya keluar mani, maka puasanya menjadi rusak (batal) dan dia wajib untuk mengqadha' puasanya. Sebab keluar mani itu bertentangan dengan hakikat puasa, hal ini bisa dilihat dari dua sisi:
Pertama: Sesungguhnya yang demikian itu adalah salah satu bentuk pelampiasan dan pengumbaran nafsu, yang menafikan adab sopan santun puasa. Padahal Allah telah berfirman dalam sebuah hadits qudsi, "Dia meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena Aku..." (4) Sementara sudah diketahui bersama, bahwa sengaja mengeluarkan mani itu sama sekali tidak bisa disebut meninggalkan syahwat (hawa nafsu).
Kedua: Telah disebutkan dalam hadits Jabir ra-dhiyallaahu 'anhu sebuah sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kepada 'Umar ra-dhiyallaahu 'anhu, "Apa pendapatmu jika engkau berkumur-kumur?" Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam hanya menyerupakan ciuman dengan berkumur-kumur, jadi sudah pasti jika air kumur-kumur itu masuk ke perut, maka puasanya batal dan jika tidak, maka tidak batal. Ini menunjukkan bahwa ciuman itu hanyalah semisal dengannya.
Bersambung...
===
(1) HR. Abu Dawud 2385, hadits ini dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam buku Shahih Sunan Abi Dawud.
(2) Zaadul Ma'ad 2/55, yang kami tahqiq dan diterbitkan oleh Maktabah at-Taufiqiyyah.
(3) HR. Abu Dawud 2387, dengan derajat lemah.
(4) HR. Muslim 1151.
===
Maraji'/ Sumber:
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.
===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT