Skip to main content

Tafsir wanita: Tidak Boleh Bercampur Saat Sedang Beri'tikaf

Tafsir wanita

Surat al-Baqarah

Hukum-hukum puasa

Tidak Boleh Bercampur Saat Sedang Beri'tikaf

Allah berfirman,

"Tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itu larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 187)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya (1), "Ali bin Abi Thalhah berkata (2) dari Ibnu 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma), 'Ini berhubungan dengan orang yang sedang melakukan i'tikaf di dalam masjid pada bulan Ramadhan atau pada selain Ramadhan. Allah mengharamkan laki-laki yang beri'tikaf untuk berhubungan dengan isterinya pada malam atau siang hari hingga dia selesai melakukan i'tikaf."

Adh-Dhahhaq berkata, "Ada seorang lelaki yang ketika dia beri'tikaf, dia keluar masjid dan melakukan hubungan badan dengan isterinya kapan saja jika dia mau. Maka lalu Allah turunkan firman-Nya, 'Jangan kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf di dalam masjid.'"

Artinya, janganlah kamu mendekati mereka selagi kamu sedang i'tikaf di dalam masjid, dan ketika selain di dalam masjid. Semua yang dituturkan mereka adalah sesuatu yang telah disepakati di kalangan para 'ulama, bahwa orang yang sedang beri'tikaf tidak boleh berhubungan dengan isterinya selama dia beri'tikaf di dalam masjid. Andaikata dia pulang ke rumahnya untuk sebuah keperluan yang amat mendesak, maka dia tidak boleh tinggal lama di rumahnya kecuali sesuai dengan kadar yang dibutuhkan untuk menyelesaikan keperluannya yang amat mendesak itu, seperti buang hajat atau makan.

Tidak boleh baginya mencium isterinya, dan tidak juga memeluknya. Hendaknya dia menyibukkan diri dengan i'tikafnya. Tidak boleh juga baginya mengunjungi orang sakit, namun tidak apa-apa untuk menanyakan kondisinya saat dia berada di tengah jalan, misalnya.

Kemudian yang dimaksud dengan mubaasyarah dalam ayat ini, adalah jima' dan semua tindakan yang mengantarkan kepada jima', seperti: berciuman, berpelukan, dan tindakan-tindakan lain yang semisal dengan itu.

Sedangkan memberikan sesuatu padanya dan yang serupa dengannya, maka yang demikian tidak apa-apa dilakukan. Sebab telah diriwayatkan dari 'Aisyah (ra-dhiyallaahu 'anhuma) dalam Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim, bahwa sesungguhnya dia berkata, "Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) mendekatkan kepalanya dan aku menyisirnya. Saat itu aku sedang dalam keadaan haidh. Beliau (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) tidak pernah masuk rumah kecuali ada kebutuhan yang sangat mendesak sebagai manusia umumnya."

'Aisyah juga berkata, "Ada seorang yang sedang sakit di rumahnya. Dan beliau (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) menanyakan kondisinya sambil berjalan." (3)

Sedangkan firman-Nya, "Itu larangan Allah," yakni inilah yang Kami jelaskan dan Kami wajibkan. Kami jelaskan pengertiannya, hukum-hukumnya, apa yang Kami bolehkan, dan apa yang Kami haramkan. Kami sebutkan pula tujuannya, rukhshah dan azimahnya.

Batasan-batasan Allah adalah syari'at Allah Sub-haanahu wa Ta'aala yang telah Dia terangkan. Maka janganlah kalian terlalu berlebihan mendekatinya dan jangan pula kalian terlalu melampaui batas-batasnya.

Dhahhaq dan Muqatil berkata mengenai firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala, "Itu larangan Allah," maksudnya adalah melakukan jima' pada saat i'tikaf.

Syaikh Nashiruddin as-Sa'di memberikan tambahan dengan berkata (4), "Itu; semua yang telah disebutkan -yakni haramnya makan, minum, jima', dan semua hal yang membatalkan puasa, haramnya berbuka tanpa ada udzur dan haramnya bersetubuh atas orang yang i'tikaf dan larangan-larangan itulah larangan Allah, yang Allah jelaskan kepada hamba-hamba-Nya, dan Allah larang mereka untuk melakukannya. Allah berfirman, "Maka janganlah kamu mendekatinya," kalimat ini jauh lebih baik daripada mengatakan, janganlah kamu melakukannya. Sebab kata 'jangan mendekat' sudah mencakup larangan untuk melakukan perbuatan yang diharamkan tadi dan melarang semua sarana yang akan menggiringnya ke sana.

Seorang hamba diperintahkan untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan haram, dan menjauhi sejauh-jauhnya sesuai dengan kadar kemampuannya dan meninggalkan semua sebab dan sarana yang bisa mendorong ke sana. Sedangkan dalam perintah, Allah berfirman, "Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya." (QS. Al-Baqarah: 229)

"Demikianlah," yakni Allah menerangkan hukum-hukum-Nya dengan keterangan yang sangat jelas dan dengan penjelasan yang demikian gamblang.

"Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 187) Sebab jika kebenaran telah jelas bagi mereka, maka mereka mengikutinya, dan jika jelas kepada mereka sesuatu yang batil, maka mereka akan meninggalkannya. Sebab manusia bisa saja melakukan sesuatu yang haram karena dia tidak tahu bahwa hal itu adalah haram. Dan andaikata dia tahu tentang keharamannya, mungkin saja dia tidak akan melakukannya. Oleh sebab itu, jika Allah telah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia dengan jelas dan gamblang, maka tidak ada alasan lagi bagi mereka dan tidak ada hujjah. Dan yang demikian itu akan menjadi sebab ketakwaan kepada Allah.

Aku katakan: Dengan demikian wahai saudariku kaum muslimah, jika engkau atau suamimu telah niat untuk beri'tikaf, maka janganlah kamu berdua berdekatan dengan melakukan jima', karena ini akan menafikan adab sopan santun i'tikaf yang disyari'atkan. Di mana ayat di atas menjelaskan kepada kita, bahwa melakukan hubungan badan pada malam bulan Ramadhan bagi mu'takif (orang yang beri'tikaf) merupakan salah satu bentuk perbuatan yang merusak makna i'tikaf.

===

(1) Tafsir al-Qur-an al-'Azhim 1/298.

(2) Dia mendengar dari 'Abdullah bin 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma) dengan sanad terputus antara keduanya, di antara keduanya ada Mujahid. Hanya saja tafsirnya bisa diterima karena diketahui siapa orang yang berada di antara keduanya.

(3) HR. Al-Bukhari 296, dan Muslim 316.

(4) Tafsir as-Sa'di hal. 87.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog