Skip to main content

Ringkasan pendapat 'ulama mengenai khitan untuk perempuan | Surat al-Baqarah | Sunnah-sunnah fitrah | Tafsir Wanita

Surat al-Baqarah

Sunnah-sunnah fitrah

Pertama; Khitan

Ringkasan pendapat 'ulama mengenai khitan untuk perempuan

Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata (1), "Khitan dalam pandangan Imam asy-Syafi'i dan kebanyakan 'ulama, adalah wajib hukumnya. Sementara dalam pandangan Imam Malik khitan adalah sunnah. Imam asy-Syafi'i berpendapat bahwa khitan itu adalah wajib hukumnya, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi pucuk penis hingga terlihat semua pucuk dzakar. Sedangkan bagi wanita yang wajib adalah memotong bagian paling atas dari kulit yang ada di vagina."

Ibnu Qudamah berkata (2), "Khitan itu hukumnya wajib bagi laki-laki, dan sebagai sebuah keutamaan bagi perempuan. Ia tidak wajib bagi perempuan. Ini adalah merupakan pendapat kebanyakan orang-orang yang berilmu."

Ahmad berkata, "Khitan bagi laki-laki itu lebih ditekankan, karena jika ia tidak dikhitan, maka kulitnya akan menjulur dan melingkupi pada pucuk dzakar, sehingga ia tidak akan sepenuhnya bersih. Khitan untuk wanita lebih ringan dan lebih sederhana."

Abu 'Abdillah berkata, "Ibnu 'Abbas sangat menekankan masalah khitan ini. Sampai-sampai dia berkata, 'Dalil yang menjadi landasan wajibnya adalah, bahwa menutup aurat itu wajib. Maka andaikata khitan itu tidak wajib, niscaya tidak akan boleh bagi seseorang melihat kehormatan orang lain yang dikhitan. Khitan juga merupakan syi'ar kaum muslimin. Dengan demikian, maka ia adalah wajib, sebagaimana syi'ar-syi'ar yang lain. Khitan juga disyari'atkan untuk kaum wanita."

Abu 'Abdillah berkata, "Bahwa hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh 'Aisyah yang berbunyi, 'Jika dua khitan telah bertemu,' (3) secara tidak langsung dari hadits ini mengandung makna, bahwa kaum wanita pun dikhitan."

Sebagaimana hadits 'Umar radhiyallaahu 'anhu, "Sesungguhnya khitanah itu dikhitan." Maka dia berkata, "Apakah masih ada yang tersisa jika dia dikhitan?" (4)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata (5), "Syaikh Abu 'Abdillah bin al-Haj memberikan penjelasan dalam al-Madkhal; bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan 'ulama, apakah khitan itu berlaku umum atau dibedakan antara wanita-wanita Timur dan Barat (wilayah Maghrib! Afrika Utara, -penj), karena tidak adanya keutamaan dari disyari'atkannya bagi wanita Maghrib."

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

(1) Kitab Syarh Muslim 3/147.

(2) Kitab al-Mughni, Imam Ibnu Qudamah, 1/101.

(3) Hadits Riwayat Imam at-Tirmidzi 109, Imam Ibnu Majah 607, dari hadits 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma. Imam at-Tirmidzi berkata, "Bahwa hadits ini adalah hadits hasan shahih." Dan memang demikianlah adanya.

(4) Lafazhnya akan dikemukan setelah ini.

(5) Kitab al-Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, 10/340.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog