Skip to main content

Sifat Shalat Nabi: Salah Paham dan Jawabannya (2/5)

Pendahuluan

Edisi Pertama

5. Salah Paham dan Jawabannya (2/5)

Ringkasnya, para Shahabat radhiyallaahu 'anhum berbeda dan berselisih pendapat karena darurat, namun mereka menolak perbedaan dan perselisihan pendapat itu sendiri dan menghindarkan diri dari hal semacam itu, selama mereka mendapatkan jalannya.

Adapun golongan ahli taqlid, sekalipun mereka memiliki kesempatan untuk menghindarkan diri dari perbedaan dan perselisihan pendapat, ternyata mereka tidak mau bersepakat dan menempuh jalan ke sana, bahkan mereka terus mengokohkan keadaan semacam itu. Oleh karena itu, sungguh semakin jauh jurang perbedaan dan perselisihan pendapat di antara mereka.

Inilah perbedaan yang membedakan antara para Shahabat radhiyallaahu 'anhum dan golongan Salaf dengan ahli taqlid dilihat dari sebab timbulnya perbedaan dan perselisihan pendapat.

Adapun sisi dampaknya sudahlah sangat jelas. Para Shahabat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu', ternyata tetap teguh memelihara kesatuan, jauh dari perpecahan, dan tidak bercerai berai. Sebagai contoh mengenai membaca bismillaah dengan keras. Sebagian shahabat menyatakan boleh dan sebagian lagi menyatakan tidak boleh. Ada pula masalah angkat tangan bersamaan dalam takbir dalam shalat, ada yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat tidak. Juga masalah menyentuh perempuan setelah wudhu', ada yang berpendapat batal dan ada yang berpendapat tidak. Sekalipun demikian mereka tetap shalat berjama'ah di belakang seorang imam dan tidak mau meninggalkan imam yang dianggap berbeda pendapat dengan dirinya.

Golongan ahli taqlid, karena perbedaan pendapat yang tidak dapat dipertemukan sama sekali, menyebabkan barisan kaum Muslim bercerai berai, padahal rukun Islam yang terpenting sesudah dua kalimat syahadat adalah shalat. Orang yang berbeda madzhab tidak mau shalat berjama'ah di belakang imam yang tidak sama madzhabnya dengan alasan imamnya bathil atau setidak-tidaknya melakukan hal-hal yang berbeda dengan madzhab makmum. Hal ini pernah kami dengar dan kami saksikan sendiri seperti juga yang disaksikan oleh orang lain. (50) Bagaimana tidak terjadi dampak negatif semacam itu, karena sebagian dari kitab-kitab madzhab yang terkenal dewasa ini menerangkan hal ini bathil, hal ini makruh, sehingga akibatnya di suatu masjid jami' didirikan shalat berjama'ah empat kali karena mengikuti empat madzhab. Engkau bisa melihat beberapa orang tengah duduk menantikan datang imamnya, sedangkan kelompok lain sedang shalat dipimpin oleh imamnya.

Bahkan perselisihan dan perbedaan ini mencapai keadaan lebih ekstrim pada segolongan ahli taqlid, misalnya larangan menikah antara pengikut Hanafi dan pengikut Syafi'i. Selanjutnya, muncullah fatwa dari segolongan 'ulama Hanafi, yang disebut mufti tsaqalaini. Fatwa ini membolehkan pernikahan antara laki-laki pengikut Hanafi dan perempuan pengikut Syafi'i. Alasannya bahwa perempuan pengikut madzhab Syafi'i ini dapat disamakan dengan kedudukan ahli kitab. (51) Dari fatwa ini dapat dipahami bahwa pernikahan sebaliknya tidak boleh, yaitu bila perempuan dari madzhab Hanafi dan laki-laki dari madzhab Syafi'i, sebagaimana laki-laki ahli kitab tidak boleh menikahi perempuan Muslimat.

Itulah dua contoh perbedaan madzhab yang ternyata berpengaruh buruk pada ummat akibat perselisihan dan perbedaan 'ulama mutaakhir yang ternyata terus dipertahankan. Hal ini berbeda dengan perbedaan pendapat kalangan Salaf yang tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap ummat. Oleh karena itulah, golongan Salaf ini merupakan golongan yang selamat karena mereka mematuhi larangan bercerai berai dalam beragama. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh golongan mutaakhir. Semoga Allah memberikan petunjuk jalan yang lurus kepada kita.

Perbedaan dan perselisihan mereka (golongan mutaakhir) ternyata bahaya dan bencananya tidak hanya menimpa diri mereka, tetapi merembet ke mana-mana, bahkan sungguh amat disesalkan hal tersebut berpengaruh pula sampai ke beberapa negeri kuffar, sehingga mereka terhalangi untuk masuk Islam beramai-ramai. Dalam sebuah buku berjudul Zhulamun minal Gharbi karya Muhammad al-Ghazali halaman 200 disebutkan:

"Pada sebuah konferensi di Universitas Princeton, Amerika Serikat, salah seorang pembicaranya ditanya oleh peserta, yang kebanyakannya adalah para orientalis dan para pemerhati masalah-masalah Islam:

'Dengan ajaran apa kaum muslim bisa maju ke pentas dunia? Apakah dengan ajaran Islam yang dipahami golongan Sunni, atau yang dipahami golongan syi'ah imamiah atau syi'ah zaidiyah', padahal di antara mereka sendiri terjadi perselisihan?

Terkadang ada segolongan yang menyelesaikan suatu masalah dengan pemikiran yang modern, tetapi yang lain tetap dengan pemikiran yang kuno dan jumud.

Ringkasnya, para da'i membiarkan objek dakwahnya dalam kebingungan karena mereka sendiri mengalami kebingungan." (52)

Dalam pendahuluan buku berjudul Hadiyatus Sulthan ila Muslimi Biladi Jaban, karya Imam Muhammad Sulthan Ma'sumi, dia menulis:

"Ada sebuah pertanyaan diajukan kepadaku oleh dua orang Muslim bangsa Jepang dari kota Tokyo dan Osaka Jepang Timur, yang isinya:

'Apakah hakikat agama Islam itu? Apakah makna madzhab itu? Apakah orang harus mengikuti salah satu madzhab empat untuk menjalankan Islam? Apakah seseorang harus mengikuti madzhab Malik, atau Hanafi, atau Syafi'i, atau yang lain (Hambali), atau sama sekali tidak?

Sebab di sini telah terjadi perselisihan yang hebat dan perdebatan yang sengit.' Ketika ada beberapa orang Jepang yang berpikir jernih hendak masuk Islam, mereka datang ke salah satu organisasi Islam yang ada di Tokyo. Sekelompok muslim India menyatakan kepada mereka, agar mereka (orang Jepang tersebut) memilih madzhab Hanafi karena beliau adalah pelita ummat.

Akan tetapi sekelompok orang dari Indonesia (Jawa) mengharuskan mereka mengikuti Syafi'i. Ketika orang-orang Jepang ini mendengar pernyataan mereka, benar-benar mereka merasa heran dan menjadi bingung untuk mewujudkan keinginannya. Di sini masalah madzhab telah menjadi perintang bagi orang lain untuk masuk Islam.

Bersambung...

===

(50) Baca bab 8 dari Kitab Ma la Yajuzu fihi al-Khilaf halaman 65-72. Engkau akan menemukan banyak contoh seperti kami kemukakan di sini.

(51) Kitab al-Bahru ar-Raiq.

(52) Aku katakan di sini: "Tulisan-tulisan Muhammad Ghazali yang akhir-akhir ini banyak tersebar di sana-sini seperti bukunya yang berjudul as-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits, dimana dia sendiri termasuk kategori da'i-da'i semacam itu, yaitu da'i yang kebingungan. Sebelumnya kami telah membaca buku ini dan memberi komentar terhadap beberapa Hadits yang terdapat di dalamnya serta koreksi-koreksi dalam beberapa masalah fiqh. Sebagian dari tulisan yang ada dalam buku itu penuh dengan hal-hal yang menunjukkan kebingungannya, penyimpangannya dari Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan menjadikan akalnya sebagai hakim dalam mengesahkan atau mendha'ifkan hadits. Ia tidak mau berpegang pada dasar-dasar 'ilmu hadits atau para ahli dan mereka yang tahu seluk beluk hadits. Bahkan hal yang sangat aneh dilakukannya ialah menshahihkan hadits yang jelas-jelas dha'if. Akan tetapi, tidak aneh karena kita melihat dia mendha'ifkan hadits-hadits yang jelas disepakati shahihnya oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim sebagaimana dapat engkau baca hal ini dalam komentarku pada dua muqaddimah bukunya berjudul Fiqhus Sirah yang telah aku beri takhrijnya terhadap hadits-hadits yang termuat di dalamnya pada cetakan ke-4. Hal ini aku lakukan atas permintaan dia sendiri melalui salah seorang temanku dari kalangan al-Azhar. Oleh karena itu, segera aku berikan takhrij buku tersebut, dengan perkiraan bahwa hal itu menunjukkan adanya perhatian dia secara sungguh-sungguh terhadap hadits-hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan sirah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam serta ingin memeliharanya dari pemalsuan yang datang dari luar. Sekalipun ia menyatakan pujian terhadap komentar dan catatanku serta dengan terus terang menyatakan gembiranya dalam komentarnya di bawah judul Haula Ahaadiits Hadzal Kitab, namun dia sendiri berbicara tentang metode yang digunakannya dalam menerima hadits-hadits dha'if dan menolak hadits-hadits shahih semata-mata ditinjau dari segi matannya. Dengan cara semacam ini dia ingin memberikan kesan kepada pembaca bahwa metode penelitian dan koreksi yang ditentukan oleh 'ilmu hadits bagi dia sama sekali tidak ada artinya, selama hal itu bertentangan dengan kritik yang logis, padahal metode kritik yang logis berbeda antara seseorang dan yang lainnya. Terkadang suatu hadits yang diterima oleh seseorang ditolak oleh lainnya. Dengan metode semacam ini agama menjadi permainan nafsu, tanpa memiliki kaidah dan prinsip-prinsip baku, dan hanya tergantung pada selera perorangan. Hal ini jelas bertentangan dengan metode yang diikuti oleh para 'ulama kaum Muslim bahwa sanad hadits merupakan bagian dari agama. Seandainya hadits itu boleh tanpa sanad, tentu orang akan berbicara sesuka hatinya dan inilah yang dilakukan oleh Ghazali dalam sebagian hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Sirahnya. Kitabnya memuat sebagian besar hadits mursal dan mu'dhal. Hadits dha'if dikatakan shahih seperti yang terlihat dalam takhrijku terhadap bukunya. Sekalipun demikian ternyata dia tetap keras kepala dengan memberikan pernyataan-pernyataan di bawah judul di atas:

"Aku telah melakukan ijtihad agar dapat menempuh cara yang benar dan merujuk pada sumber-sumber yang dipercaya, dan aku kira aku telah sampai dengan baik pada tingkatan ini. Aku telah mengumpulkan riwayat-riwayat yang dapat menenangkan hati seorang 'alim yang berpandangan luas."

Begitulah dia berujar. Seandainya dia ditanya, apakah kaidah yang engkau pergunakan dalam ijtihad engkau itu, apakah kaidah itu berupa prinsip-prinsip 'ilmu hadits yang merupakan satu-satunya jalan untuk dapat mengetahui mana riwayat yang shahih dan mana yang dha'if dari sirah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, jawabnya tentu ia akan mengatakan berdasarkan pemikiran pribadi. Itu adalah salah satu bentuk kebobrokannya. Sebagai buktinya, dia berani menshahihkan hadits yang tidak shahih sanadnya dan dia berani melemahkan hadits walaupun sanadnya shahih menurut Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, seperti yang pernah aku kemukakan pada muqaddimah kitabnya Fiqhus Sirah di atas dan yang telah dicetak pada terbitan keempat seperti tersebut di atas. Namun sungguh disayangkan pada terbitan-terbitan berikutnya, seperti terbitan Darul Qalam, Damaskus, dan lain-lain, muqaddimah itu telah dibuangnya. Hal semacam ini membuat sebagian orang menduga bahwa tujuan penghapusannya pada buku terbitan-terbitan baru tersebut hanyalah mengejar lakunya buku di kalangan pembaca yang telah mampu menghargai kesungguhan para pengabdi Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berusaha dengan keras untuk memilah mana hadits dha'if dan mana hadits shahih menurut kaidah-kaidah 'ilmiah, bukan selera pribadi dan dorongan nafsu yang bermacam-macam, seperti dilakukan Ghazali dalam bukunya. Begitu juga yang ia lakukan dalam bukunya yang terakhir berjudul as-Sunnah Nabawiyyah Baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits. Di situ nampak jelas bahwa Ghazali menempuh metode mu'tazilah. Jadi, bagi Ghazali jerih payah ahli hadits yang telah berlangsung puluhan tahun dalam memilah hadits shahih dari yang dha'if tidak ada artinya. Begitu pula segala jerih payah para imam ahli fiqh yang telah meletakkan kaidah-kaidah ushul dan membuat kaidah-kaidah furu', tidak ada gunanya, sebab Ghazali bisa mengambil mana saja seenaknya dan meninggalkan mana saja seenaknya, tanpa terikat oleh satu kaidahpun. Banyak ahli 'ilmu telah melakukan sanggahan terhadap hal ini. Mereka telah menjelaskan secara rinci tentang kebingungan dan penyelewengan Ghazali. Tulisan yang terbaik dalam hal ini ialah yang ditulis oleh Dr. Rabi' bin Hadi al-Madkhali yang dimuat dalam Majalah al-Mujahid Afghaniyah nomor 9-11 dan tulisan Shalih bin 'Abdul 'Aziz bin Muhammad 'Ali Syaikh dengan judul al-Mi'yaru li 'ilmil Ghazali (Bobroknya 'ilmu Ghazali).

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shalaati an-Nabiyyi Shallallaahu 'alaihi wa Sallama min at-Takbiiri ilaa at-Tasliimi Ka-annaka Taraaha, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, Penerbit: Maktabah al-Ma'aarif, Riyadh - Kerajaan Arab Saudi, Cetakan Kedua Edisi Revisi, Tahun 1996 M/ 1417 H, Judul terjemahan: Sifat Shalat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, Penerjemah: Muhammad Thalib, Penerbit: Media Hidayah, Yogyakarta - Indonesia, Cetakan 13.

===

Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com

===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog