Skip to main content

Sifat Shalat Nabi: Salah Paham dan Jawabannya (4)

Pendahuluan

Edisi Pertama

5. Salah Paham dan Jawabannya (4)

Keempat, di kalangan sebagian ahli taqlid tersebar luas keragu-raguan yang menghalangi mereka untuk mengikuti Sunnah yang bertentangan dengan pendapat madzhab-madzhab mereka. Mereka beranggapan bahwa mengikuti Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berarti menyalahi pendiri madzhab. Menurut mereka, hal ini berarti mencela imam mereka, padahal mencela sesama Muslim tidak boleh, apalagi mencela seorang imam?

Aku jawab: Anggapan semacam ini bathil. Hal ini akibat dari sikap meninggalkan Sunnah, sebab kalau tidak karena itu, tentulah anggapan semacam itu tidak akan mungkin dikemukakan oleh seorang Muslim yang berakal. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sendiri telah bersabda:

"Apabila seorang hakim yang menetapkan hukum menghukum dengan berijtihad, ia mendapat pahala dua jika ijtihadnya benar, dan jika ijtihadnya salah, pahalanya satu."
(Hadits Riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)

Hadits ini menolak anggapan mereka dan menegaskan bahwa perkataan "si fulan salah", secara agama berarti "si fulan mendapat satu pahala." Bila orang yang ijtihadnya salah mendapat satu pahala, lalu mengapa ada anggapan bahwa menyalahkan orang tersebut berarti mencelanya? Anggapan semacam ini tidak diragukan lagi adalah satu pandangan yang bathil yang harus ditarik kembali oleh orang yang mempunyai anggapan semacam itu, sebab kalau tidak, hal itu berarti ia telah mencela kaum Muslim, bukan hanya perorangan, tetapi juga tokoh-tokoh imam mereka, baik dari kalangan Shahabat radhiyallaahu 'anhum, tabi'in, imam-imam mujtahid, maupun lain-lainnya. Kami berkeyakinan bahwa para tokoh tersebut juga pernah saling menyalahkan dan saling membantah. (53) Apakah seseorang yang berakal akan beranggapan bahwa hal semacam itu dapat diartikan mereka saling mencela? Bahkan tersebut dalam riwayat yang shahih bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah menyalahkan Abu Bakar radhiyallaahu 'anhu ketika dia menakwilkan mimpi seseorang. Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya:

"Engkau benar sebagian, tapi engkau salah sebagian."
(Hadits Riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Baca kitab Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, hadits nomor 121)

Apakah dengan ucapannya itu berarti Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mencela Abu Bakar?

Sungguh mengherankan keraguan semacam ini begitu berpengaruh kepada orang-orang. Mereka menolak Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam karena menyalahi madzhab mereka, sebab dengan mengikuti Sunnah berarti mereka mencela imam mereka, sedangkan mengikuti pendapat imam sekalipun berlawanan dengan Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, menurut mereka, adalah sikap menghormati dan memuliakan imam. Oleh karena itu, mereka terus menerus melestarikan sikap taqlid dengan alasan agar tidak mencela imam.

Mereka ternyata lupa dan bukan aku katakan pura-pura lupa, karena keraguan semacam ini menyebabkan mereka terjerumus ke dalam keadaan yang lebih buruk lagi daripada keadaan yang ingin mereka hindari. Jika ada orang yang berkata kepada mereka bahwa bila mengikuti seseorang itu berarti penghormatan terhadap yang bersangkutan dan menyalahi pendapatnya berarti mencelanya, pertanyaan kepada engkau ialah: "Mengapa engkau membolehkan menyalahi Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, tidak mau mengikutinya dengan alasan engkau ingin tetap mengikuti imam madzhab yang berlainan dengan Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, padahal dia bukan orang yang maksum dan mencela orang semacam itu tidaklah dihukum kafir? Jika menurut engkau menyalahi pendapat imam adalah sikap mencela diri yang bersangkutan, menyalahi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tentulah merupakan celaan yang lebih berat lagi terhadap beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Bahkan hal semacam itu telah membuatnya kafir. Semoga Allah melindungi kita dari hal semacam itu. Sekiranya ada orang yang berkata kepada mereka semacam itu, tentulah mereka tidak akan sanggup menjawabnya. Akan tetapi, sayangnya, ada suatu kata yang sering kali kami dengar dari mereka, yaitu pernyataan: "Kami tinggalkan Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, karena kami percaya sepenuh hati kepada imam madzhab kami dan dialah orang yang lebih tahu tentang Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam daripada kami."

Jawaban kami terhadap pernyataan seperti itu telah kami paparkan secara panjang lebar dalam kata pendahuluan sebelumnya. Oleh karena itu, di sini kami akan mengemukakan satu jawaban saja secara ringkas dan insya Allah merupakan jawaban telak. Aku katakan:

"Bukan hanya imam madzhab kalian saja yang lebih tahu daripada kalian tentang Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Ada puluhan, malah ratusan imam yang lebih tahu daripada kalian tentang Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Jika terdapat hadits shahih yang bertentangan dengan madzhab kalian, sedangkan di antara para imam itu ada yang mengambilnya dan hal itu engkau akui juga, pernyataan engkau di atas sama sekali tidak ada gunanya. Sikap engkau yang sudah menolak akan mendorong engkau untuk mengatakan: "Kami mengambil Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ini karena percaya imam madzhab telah mengambilnya." Mengikuti imam yang sesuai dengan Sunnah lebih utama daripada mengikuti imam yang berbeda pendapatnya dengan Sunnah. Hal ini sudahlah jelas dan gamblang, tidak sulit dipahami seseorang, insya Allah.

Oleh karena itu, di sini aku dapat mengatakan bahwa kitab kami ini, karena di dalamnya terkumpul hadits-hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang shahih tentang tata cara shalat beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengikutinya. Dalam buku ini tidak ada hal-hal yang oleh para 'ulama disepakati sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan. Bahkan setiap masalah yang tersebut dalam buku ini pasti ada segolongan dari mereka yang menyetujuinya. Bagi yang tidak sesuai dengannya akan termaafkan dan akan diberi satu pahala jika dalam masalah itu tidak ada nash yang tegas atau ada nash tetapi tidak dapat dijadikan hujjah atau alasan-alasan lain yang di kalangan para 'ulama diketahui sebagai hal yang bisa dimaafkan. Sebaliknya, bila seseorang menemukan adanya nash yang shahih, tidak ada lagi alasan baginya untuk meneruskan taqlidnya, tetapi dia wajib mengikuti nash yang terjaga kesuciannya. Inilah tujuan dari penulisan muqaddimah buku ini. Allah telah berfirman dalam surat al-Anfal (8): ayat 24:

"Wahai orang yang beriman, perkenankanlah seruan Allah dan Rasul-Nya, jika kamu diseru kepada hal yang menghidupkan kamu. Ketahuilah, sesungguhnya Allah mengatur seseorang dengan hatinya dan sesungguhnya hanya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan."

Allah memfirmankan yang benar dan Dialah pemberi petunjuk ke jalan yang benar serta Dialah sebaik-baik pelindung dan penolong. Semoga semua rahmat dicurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, keluarganya, dan para Shahabatnya. Segala puji hanya bagi Allah, Rabb seluruh alam.

Damaskus, 20/5/1381 H.
Muhammad Nashiruddin al-Albani

Bersambung...

===

(53) Baca kitab Kalam Imam Muzani halaman 62 dan kitab Kalam al-Hafizh Ibnu Rajab halaman 54.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shalaati an-Nabiyyi Shallallaahu 'alaihi wa Sallama min at-Takbiiri ilaa at-Tasliimi Ka-annaka Taraaha, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, Penerbit: Maktabah al-Ma'aarif, Riyadh - Kerajaan Arab Saudi, Cetakan Kedua Edisi Revisi, Tahun 1996 M/ 1417 H, Judul terjemahan: Sifat Shalat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, Penerjemah: Muhammad Thalib, Penerbit: Media Hidayah, Yogyakarta - Indonesia, Cetakan 13.

===

Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com

===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT