Skip to main content

Tafsir wanita: Apakah Keharaman Jima' dengan Wanita Haidh ini juga Termasuk Hanya Sekedar Menyentuh? Bagaimana Hukum Seorang Suami yang Menggauli Isterinya yang Sedang Haidh?

Tafsir wanita

Surat al-Baqarah

Pertama; Darah Haidh

Apa Saja yang Diharamkan Bagi Wanita yang Haidh?

Jima'

Apakah Keharaman ini juga Termasuk Hanya Sekedar Menyentuh?

Al-Qurthubi berkata (1), "Para 'ulama berbeda pendapat mengenai sejauh mana berhubungan dengan wanita yang sedang haidh, dan apa yang dibolehkan dari wanita itu?"

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Abbas dan 'Ubaidah al-Salmani, bahwa seorang lelaki wajib menjauhi tempat tidur isterinya jika dia sedang haidh. Namun pendapat ini adalah pendapat yang syadz (ganjil), keluar dari pendapat umum para 'ulama. Walaupun dari keumuman ayat memang mungkin saja untuk diartikan demikian, namun as-Sunnah (al-Hadits), sebagai penjelas al-Qur-an berseberangan dengan pendapat ini.

Bahkan seorang bibinya, yang bernama Maimunah, dengan keras menentangnya dan berkata, "Apakah kau tidak suka dengan Sunnah Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam)?" (2)

Imam Malik, asy-Syafi'i, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan sejumlah besar 'ulama lain berkata, "Sebagai suaminya, ia berhak berhubungan intim dengan isterinya selain pada apa yang ada di atas sarung (maksudnya: vagina)." Ini sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam saat beliau ditanya oleh seorang lelaki, "Apa yang boleh aku lakukan terhadap isteriku, pada saat dia sedang haidh?" Maka Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) bersabda, "Hendaknya dia mengencangkan sarungnya, lalu kamu melakukan apa saja selain apa yang ada di bawahnya." (3)

Juga sabdanya kepada 'Aisyah (ra-dhiyallaahu 'anhuma) saat dia sedang haidh, "Kencangkan sarungmu, kemudian kembalilah kamu ke tempat tidurmu." (4)

Abu Masy'ar meriwayatkan dari Masruq, dia berkata, "Aku bertanya kepada 'Aisyah (ra-dhiyallaahu 'anhuma), 'Apa yang boleh aku lakukan pada isteriku, saat dia sedang haidh?' Maka dia menjawab, 'Apa saja kecuali pada vagina.'"

Para 'ulama berkata, "Bersentuhan dengan wanita yang haidh, dengan cara memakai sarung seperti itu, merupakan tindakan hati-hati dan merupakan usaha memutus sarana yang mengantarkan pada senggama. Sebab jika diperbolehkan untuk bersentuhan secara langsung dengan pahanya, maka itu menjadi sarana yang akan mengantarkannya pada tempat darah yang haram -sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan para 'ulama- maka diperintahkan hal itu, sebagai tindakan hati-hati."

Sedangkan semestinya yang diharamkan itu sendiri adalah tempat darahnya. Dengan demikian, maka terjadilah sinkronisasi dengan makna atsar dan tidak terjadi pertentangan. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua!

Bagaimana Hukum Seorang Suami yang Menggauli Isterinya yang Sedang Haidh?

Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya (5),

"Imam Malik, asy-Syafi'i dan Abu Hanifah berkata, 'Hendaknya dia beristighfar kepada Allah, dan tidak ada sanksi apa-apa baginya." Ini merupakan perkataan Rabi'ah, Yahya dan Abu Sa'id. Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Dawud.

Diriwayatkan sebuah pendapat dari Muhammad bin al-Hasan, "Hendaknya dia bersedekah setengah dinar."

Ahmad berkata, "Alangkah indahnya hadits 'Abdurrahman dari Muqsim dari 'Abdullah bin 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma) dari Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam), 'Hendaknya dia bersedekah satu dinar atau setengah dinar.'" (6)

Dia mengatakan, demikianlah riwayat yang shahih. Dia menambahkan "Satu dinar atau setengah dinar." Imam ath-Thabrani menyatakan bahwa yang demikian ini adalah mustahab, dan jika dia tidak melakukan, maka tidak ada sanksi apapun. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi'i saat dia berada di Baghdad.

Ada sebagian ahli hadits yang berkata, "Sesungguhnya bagi seorang yang bersenggama dengan wanita yang sedang haidh, maka wajib baginya untuk bersedekah dengan satu dinar, dan jika dia bersenggama pada saat sedang terputusnya haidh, maka dia membayar sebanyak setengah dinar." (7)

Apakah boleh berhubungan intim (senggama) sehabis masa haidh sebelum dia mandi?

Al-Qurthubi berkata (8), "Malik dan jumhur 'ulama berpendapat, 'Sesungguhnya kesucian seorang wanita yang haidh, sehingga boleh berhubungan intim dengan suaminya adalah jika dia sudah mandi dengan air, sebagaimana yang dilakukan saat seseorang habis junub. Tidak boleh baginya untuk bertayammum atau dengan cara lainnya." Pendapat ini adalah pendapat imam Malik, asy-Syafi'i, ath-Thabari, Muhammad bin Maslamah, para 'ulama Madinah dan yang lainnya.

Yahya bin Bakir dan Muhammad bin Ka'ab al-Kurazhi berkata, "Jika seorang wanita selesai haidh, kemudian dia bertayammum karena tidak mendapatkan air untuk mandi, maka boleh bagi suaminya untuk berhubungan intim dengannya."

Mujahid, Ikrimah dan Thawus berkata, "Terhentinya darah membuat seorang suami boleh berhubungan intim dengan isterinya, namun dengan syarat dia berwudhu'."

Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad berkata, "Jika darah terhenti setelah sepuluh hari dari masa haidh, maka boleh bagi suaminya berhubungan intim dengannya walaupun dia belum mandi. Namun jika terhentinya darah itu sebelum sepuluh hari, maka tidak boleh baginya untuk berhubungan intim, hingga dia mandi atau masuk baginya waktu shalat."

Dalil kami (9) adalah sesungguhnya Allah memberikan dua persyaratan dalam masalah itu:

Pertama: Putusnya darah, yakni berdasarkan pemahaman dari firman-Nya, "Sehingga mereka suci."

Kedua: Mandi dengan air, yakni berdasarkan pemahaman dari firman-Nya, "Apabila mereka telah suci," yakni mereka telah mandi dengan air. Ini sama dengan kebolehan menyerahkan harta (anak yatim) dengan syarat:

Pertama: Sehingga orang itu mukallaf, siap untuk nikah. Kedua: Telah sampai usia dewasa (rusdy).

Demikian pula dengan firman Allah tentang seorang wanita yang ditalak, "Perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain." (QS. Al-Baqarah: 230)

Kemudian datang Sunnah dari Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) yang menerangkan syarat yang berupa hubungan intim. Dengan demikian, kehalalannya sangat tergantung pada dua hal: adanya akad nikah dan hubungan intim.

===

(1) Jami' Ahkam al-Qur-an 3/78.

(2) Aku katakan, "Syaikh Mushthafa al-Adawi melemahkan kebenaran penisbatan perkataan ini kepada 'Abdullah bin 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma) dalam bukunya Jami' Ahkam an-Nisa' 1/143-144, bahkan dia menyebutkan satu perkataan lain dari 'Abdullah bin 'Abbas yang berbeda sama sekali dengan perkataan Ibnu 'Abbas tadi. Dan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh jumhur 'ulama.

(3) Hadits ini adalah hadits mursal. HR. Malik 126, ad-Darimi 1032, dari Zaid bin Aslam.

(4) HR. Abu Dawud 212, at-Tirmidzi 133, Ibnu Majah 651, dari hadits Hizam bin Hakim dari ayahnya. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud.

(5) Jami' Ahkam al-Qur-an 3/78.

(6) HR. Abu Dawud 264, at-Tirmidzi 136, an-Nasa-i 279, Ibnu Majah 640. Hadits ini dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Irwa' al-Ghalil 197.

(7) Ibnu 'Abdil Bar berkata: Hujjah orang yang tidak mewajibkan kaffarat bagi orang itu kecuali istighfar atau taubat dalam periwayatannya ada sesuatu yang absurd dari 'Abdullah bin 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma). Hadits mudhtharab semacam ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan seseorang itu hendaknya diposisikan tidak berdosa. Dan tidak boleh ditetapkan sebuah hukum di dalamnya bagi seorang yang miskin atau orang yang tidak miskin kecuali adanya dalil yang tidak terbantahkan dan tidak cacat. Namun dalam hal itu, hal ini sama sekali tidak ada.

(8) Jami' Ahkam al-Qur-an 3/78.

(9) Ini adalah perkataan al-Qurthubi dalam tafsirnya, dimana kami masih bersama tafsirnya yang sangat indah. Kemudian lihat ringkasan tafsirnya yang kami tulis dimana di dalamnya kami hanya mengambil bagian yang berhubungan dengan hukum-hukum fikih tanpa yang lain. Kami dalam buku itu seakan telah menghimpun hukum-hukum wanita dan laki-laki dalam satu buku.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog