Skip to main content

Tafsir wanita: Apa Saja yang Diharamkan Bagi Wanita yang Haidh? Shalat dan Puasa

Tafsir wanita

Surat al-Baqarah

Pertama; Darah Haidh

Apa Saja yang Diharamkan Bagi Wanita yang Haidh?

Shalat dan Puasa

Dari Abu Sa'id al-Khudri (ra-dhiyallaahu 'anhu), dia berkata, "Ketika Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) keluar pada saat hari raya 'Idhul Adh-ha atau 'Idul Fithri ke tempat shalat. Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) melewati kaum wanita. Maka beliau bersabda, 'Wahai kaum wanita, hendaklah kalian banyak bersedekah, sebab Allah memperlihatkan padaku bahwa penghuni Neraka terbanyak adalah dari kalian!' Maka mereka bertanya, 'Karena apakah kami masuk Neraka wahai Rasulullah?'

Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) bersabda, 'Karena kalian banyak melaknat dan ingkar terhadap kebaikan. Tidak aku lihat orang yang kurang akalnya dan agamanya, yang mampu meruntuhkan hati laki-laki lebih dari kalian!' Mereka bertanya, 'Apa kekurangan akal dan agama kami wahai Rasulullah?'

Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) bersabda, 'Tidakkah kesaksian seorang wanita itu separuh kesaksian seorang laki-laki?' Mereka menjawab, 'Betul, wahai Rasulullah!' Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) bersabda, 'Ini adalah bentuk kekurangan akal kalian. Bukankah jika haidh, dia tidak shalat dan tidak puasa?' Mereka berkata, 'Betul, wahai Rasulullah!' Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) bersabda lagi, 'Itulah kekurangan agama kalian!'"

Hanya saja wanita yang haidh, dia tidak mengqadha' shalatnya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Mu'adzah, sesungguhnya seorang wanita berkata kepada 'Aisyah (ra-dhiyallaahu 'anhuma), "Apakah salah seorang di antara kami jika telah suci dari haidhnya harus mengqadha' (shalat)?" Maka 'Aisyah bertanya, "Apakah kamu ini dari golongan Haruriyah (1)? Kami mengalami haidh pada masa Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam), namun beliau tidak memerintahkan itu." Atau dia berkata, "Kami tidak melakukan itu!"

Dalam riwayat Muslim dari Mu'adzah, dia berkata, "Aku bertanya kepada 'Aisyah (ra-dhiyallaahu 'anhuma), 'Kenapa wanita yang haidh mesti mengganti puasa (qadha') dan tidak mengganti shalat?' 'Aisyah balik bertanya, 'Apakah kami ini dari golongan Haruriyah?' Aku katakan, "Bukan, aku bukan golongan Haruriyah, namun aku hanya bertanya!' Dia lalu berkata, 'Kami pernah mengalami itu pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, namun kami hanya diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat.'" (2)

Ada pertanyaan lain, "Apa yang mesti dilakukan seorang wanita yang habis masa haidhnya pada akhir siang (sore hari), apakah dia shalat Zhuhur dan 'Ashar, atau hanya shalat 'Ashar saja?" Demikian pula jika dia suci pada akhir malam, apakah dia wajib shalat Maghrib dan 'Isya atau hanya shalat 'Isya saja?

Untuk masalah ini, Ibnu Taimiyah memberikan jawabannya dalam kitab Majmu' al-Fatawa 21/434, "Jumhur 'ulama, seperti Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad berkata, 'Jika ada seorang wanita haidh, kemudian bersih pada akhir siang, maka dia harus shalat Zhuhur dan 'Ashar. Dan jika dia suci pada akhir malam, maka dia harus shalat Maghrib dan 'Isya. Hal ini sebagaimana yang dinukil dari 'Abdurrahman bin 'Auf, Abu Hurairah, dan Ibnu 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhum). Sebab waktu itu, adalah waktu yang bersama yang menjadi bagian dari dua shalat jika seseorang berada dalam keadaan udzur (sebagai contoh: seorang musafir, sah melakukan shalat Maghrib di waktu 'Isya, dan juga shalat Zhuhur di waktu 'Ashar atau yang biasa disebut jamak takkhir, -ed). Jika dia suci di akhir siang, berarti waktu Zhuhur masih tersisa baginya maka hendaknya dia melakukannya sebelum shalat 'Ashar. Jika dia suci di akhir malam berarti waktu Maghrib masih tersisa jika dia berada dalam keadaan udzur, maka hendaknya dia melakukannya sebelum melakukan shalat 'Isya.

Pendapat yang serupa dengan ini dikatakan oleh Imam asy-Syaukani dalam buku Nail al-Authar (3), "Para 'ulama salaf telah berbeda pendapat mengenai seorang wanita yang suci dari haidhnya setelah waktu shalat 'Ashar dan setelah waktu shalat 'Isya. Apakah dia wajib shalat dua-duanya (Zhuhur dan 'Ashar, atau Maghrib dan 'Isya) atau hanya satu yang terakhir saja?"

Dia juga berkata, "Dari 'Abdullah bin 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma) berkata, 'Jika seorang wanita yang haidh, suci setelah waktu shalat 'Ashar, maka hendaknya dia melakukan shalat Zhuhur dan 'Ashar, dan jika dia suci setelah waktu shalat 'Isya, maka hendaknya dia shalat Maghrib dan 'Isya."

Dari 'Abdurrahman bin Auf ra-dhiyallaahu 'anhu, dia berkata, "Jika seorang wanita yang sedang haidh, suci sebelum tenggelam matahari maka dia harus shalat Zhuhur dan 'Ashar, dan jika dia suci sebelum fajar menyingsing, maka hendaknya dia shalat Maghrib dan 'Isya."

Keduanya diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dalam Sunannya dan al-Atsram. Dia mengatakan, bahwa Ahmad berkata, "Mayoritas tabi'in berpendapat seperti pendapat ini, kecuali al-Hasan seorang."

===

(1) Haruriyah adalah khawarij dimana di antara pokok agama mereka, hanya mengambil apa yang ditunjukkan al-Qur-an saja dan menolak semua hadits secara mutlak, -penj.

(2) HR. Al-Bukhari 321, dan Muslim 335.

(3) Nail al-Authar 1/350.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT