Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Shalat
Mukaddimah (2)
Kelalaian terhadap adab yang wajib dilaksanakan dalam shalat tersebut, menurut aku disebabkan oleh dua hal:
Pertama: Banyak orang yang menyangka bahwa pakaian yang wajib dikenakan di dalam shalat adalah yang menutupi aurat saja. Pembatasan ini, selain tidak berdasarkan dalil sama sekali, juga bertentangan secara nyata dengan nash-nash di muka, khususnya hadits pertama yang menunjukkan batalnya shalat seseorang yang tidak menutupi kedua pundaknya dengan kain. Ini adalah pendapat pengikut madzhab Hanbali. (2) Tidak diragukan lagi, ini adalah pendapat yang benar.
Kedua: Kejumudan mereka melakukan taklid buta. Bisa jadi mereka pernah membaca atau mendengar nash-nash tersebut, tetapi mereka tetap tidak terpengaruh dan tidak menjadikannya sebagai pendapat yang harus mereka pegangi, karena madzhab yang mereka anut sepanjang kehidupan mereka menjadi penghalang untuk mengikuti pendpat tersebut. Karena itu, as-Sunnah berada di satu sisi sedangkan mereka berada di sisi yang lain, sebagaimana keadaan mereka dalam masalah ini, kecuali sedikit saja di antara mereka yang mendapatkan perlindungan Allah. Semoga Allah membalas Syaikhul Islam dengan kebaikan, karena beliau telah membuka jalan untuk mereka di dalam risalah yang penuh berkah ini, agar mereka mengetahui berbagai hakekat yang telah mereka lalaikan, di antaranya adalah dalam masalah ini.
Karena melaksanakan shalat dengan kedua pundak yang terbuka saja tidak diperbolehkan, maka lebih tidak diperbolehkan lagi apabila shalat itu dengan paha terbuka, baik dikatakan bahwa paha itu merupakan aurat ataukah tidak. Ini merupakan salah satu kedalaman pemahaman beliau rahimahullaah.
Ini berkenaan dengan pakaian laki-laki dalam shalat. Mengenai wanita, Syaikh rahimahullaah menjelaskan bahwa ia berkewajiban mengenakan jilbab apabila keluar dari rumahnya, akan tetapi tidak berkewajiban untuk mengenakan jilbab tersebut apabila melaksanakan shalat di rumahnya. Yang wajib dikenakannya adalah khimar (kerudung) dan pakaian yang bisa menutupi punggung telapak kaki, meskipun apabila ia sujud bisa jadi bagian bawah telapak kaki kelihatan. Seorang wanita juga diperbolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangannya, sekalipun di luar shalat menurut pendapat yang dipilih oleh beliau, bagian tersebut merupakan aurat. (3) Sebaliknya, apabila sedangkan melaksanakan shalat sendirian, seorang wanita diwajibkan untuk mengenakan khimar, sekalipun di luar shalat diperbolehkan membuka bagian kepalanya di dalam rumah dan di hadapan orang-orang yang memiliki hubungan mahram dengannya. Dengan demikian, kadang-kadang seseorang yang melaksanakan shalat itu berkewajiban menutupi apa yang boleh diperlihatkan di luar shalat dan sebaliknya diperbolehkan membuka bagian tubuhnya yang ditutupinya dari penglihatan kaum laki-laki. Ini merupakan detail-detail masalah yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam rahimahullaah. Semoga Allah membalaskan jasanya terhadap Islam dengan balasan yang lebih baik.
Selain itu, meskipun beliau menegaskan bahwa hijab (kerudung) itu merupakan kewajiban khusus bagi wanita-wanita merdeka, tanpa menjadi kewajiban bagi budak-budak wanita, dan bahwa seorang budak wanita diperbolehkan menampakkan bagian kepala dan rambutnya, akan tetapi beliau kembali membahas masalah ini melalui sudut pandang kaidah-kaidah Islam yang bersifat umum, di antaranya, "Mencegah kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan." Maka, beliau tidak membiarkan masalah ini tetap dalam kemutlakannya yang mengandung konsekuensi diperbolehkannya budak-budak wanita yang cantik untuk menampakkan rambutnya! Setelah memberikan pengantar yang bermaanfaat, beliau mengatakan: "Demikian pula halnya dengan seorang wanita budak, bila dikhawatirkan ia bisa menimbulkan fitnah, maka ia berkewajiban untuk mengenakan hijab." Kemudian beliau menegaskan hal itu dengan perkataannya, "Bila seseorang membiarkan budak-budak wanita dari bangsa Turki yang cantik-cantik itu berjalan di tengah-tengah manusia di negeri dan di waktu-waktu seperti ini, seperti kebiasaan wanita-wanita budak berjalan, maka ini termasuk kerusakan."
Aku katakan: Berdasarkan hal ini bisa disimpulkan bahwa pendapat Ibnu Taimiyah ini merupakan pendapat yang wasath (pertengahan) antara jumhur yang tidak mewajibkan wanita-wanita budak mengenakn khimar secara mutlak dan Ibnu Hazm serta ulama lainnya yang mewajibkan hal itu kepada mereka secara mutlak pula. Jelas sekali bahwa pendapat Ibnu Taimiyah yang demikian itu tidak lain merupakan hasil perpaduan antara beberapa atsar yang menguatkan pendapat jumhur dengan kaidah yang telah disinggung tadi. Pendapat ini sendiri, sekalipun lebih mendekati kebenaran daripada pendapat jumhur yang kami jelaskan bantahannya dalam buku Hijab al-Mar'ah al-Muslimah, masih mengandung satu masalah, karena penilaian mengenai kecantikan, yang merupakan penyebab dikhawatirkannya kerusakan, adalah perkara yang relatif. Alangkah banyak wanita-wanita budak yang berkulit hitm, justru memiliki anggota badaan dan postur tubuh yang indah sehingga bisaa memikat laki-laki yang berkulit putih, atau boleh jadi menurut mereka budak-budak tersebut tidak cantik, tetapi bagi orang-orang dari kalangan bangsanya mungkin dianggap cantik. Jadi, perkara ini tidak memiliki patokan yang pasti. Wallaahu a'lam.
===
(2) Lihat Manar as-Sabil 1/74, cet. Maktab Islamiy dan hasiyah Syaikh Sulaiman rahimahullaah terhadap al-Muqhi 1/116.
(3) Adapun jumhur ulama, Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi'i, dan Ahmad dalam salah satu riwayat yang disebutkan oleh penulis (Ibnu Taimiyyah) sendiri, berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangannya (wanita) bukanlah aurat. Pendapat tersebut aku kuatkan dalam bukuku Hijab al-Mar'ah al-Muslimah. Pendapat itu aku kuatkan dengan al-Qur-n, as-Sunnah, dan atsar yang mengisahkan wanita-wanita Salaf, yang bisa jadi dalil-dalil itu tidak terdapat dalam buku lain. Bukan berarti menutup kedua anggota tubuh tersebut (wajah dan kedua telapak tangan) tidak disyari'atkan. Sama sekali tidak demikian. Bahkan, yang lebih utama adalah menutupinya, sebagaimana telah aku jelaskan secara terperinci dalam bab khusus yang aku tulis, yang berjudul Masyru'iyatu Satril Wajh. Karena itu, barangsiapa mencoba membantah aku dalam masalah ini dengan menuduh bahwa aku mengatakan ataau hampir-hampir mengatakan wajibnya membuka wajah bagi wanita, maka ia tidak akan beruntung. Ia telah berdusta dan mengada-ada, sebagaimana telah dijelaskan di muka.
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: Hijabul Mar'ah wa Libasuha fish Shalah, Penulis: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah, Pentahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, Judul terjemahan: Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Shalat, Penerjemah: Hawin Murtadho, Editor: Muslim al-Atsari, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan kedua, Mei 2000.
===
Buku ini hadiah dari al-Akh Khaerun -semoga Allah menjaganya dan mempertemukan kembali kami di dunia ini dan mengumpulkan kami di akhirat kelak dalam Surga- untuk perpustakaan Baitul Kahfi.
===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT