Skip to main content

Jual Beli Secara Kredit: Dalil-dalil dari as-Sunnah yang Menunjukkan Dibolehkannya Memberikan Tambahan Harga Karena Penundaan Pembayaran atau Karena Penyicilan (2)

Jual Beli Secara Kredit

Hukum dan Kode Etiknya Menurut Syari'at Islam

Pembahasan Kedua:

Hukum Jual Beli Kredit

Kedua:

Dalil-dalil yang Menunjukkan Dibolehkannya Memberikan Tambahan Harga Karena Penundaan Pembayaran atau Karena Penyicilan:

B. Dalil dari As-Sunnah (2):

4. Riwayat dari Ubadah bin ash-Shamit (ra-dhiyallaahu 'anhu) bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"...emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, (harus dilakukan dengan) takaran yang sama atau ukuran yang sama, dari tangan ke tangan. Kalau jenisnya berbeda, silakan mengadakan transaksi sesuai dengan kehendak kalian." (45)

Doktor Rafiq al-Mishri menegaskan: "Sebagian kalangan beranggapan bahwa penambahan harga karena penundaan pembayaran termasuk jenis riba yang diharamkan. (46) Kalau memang demikian, aku akan menyimpulkan untuk mereka hadits tentang riba itu sendiri yang mudah-mudahan bisa merubah pemahaman mereka bahwa tambahan ini, kalaupun secara bahasa disebut riba, namun hukumnya tidak haram."

Setelah dinukil hadits tersebut, Doktor Rafiq menyatakan: "Dari hadits ini, kita bisa menyimpulkan beberapa hukum berikut:

1. "Emas bisa ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum...dst." Yakni bahwa masing-masing barang yang ditukar itu harus sama jenisnya, harus sama ukurannya dan harus ada serah terima secara langsung.

Bisa dicermati bahwa di antara kesamaan yang optimal adalah bila terdapat pada jenis, ukuran dan juga waktu penyerahan.

Sementara dalam Syarah Fathul Qadier 7:7 beliau menegaskan: "Kesetaraan akan menjadi optimal bila terjadi kesamaan waktu serah terima. Karena transaksi kontan memiliki keistimewaan dibandingkan dengan transaksi tertunda."

Kalau dua komoditi transaktif memiliki kesamaan dalam jenis, macam dan takarannya, namun tidak sama waktu penyerahannya, salah satunya diserahkan kontan dan yang lain diserahkan secara tertunda, atau salah satunya diserahkan dalam waktu dekat sementara yang lainnya dalam waktu lama, akan rusaklah unsur kesetaraan antara keduanya dalam tukar menukar ini. Aartinya, transaksi itu menjadi transaksi yang mengandung riba. Para ulama fiqih menyebutkannya riba nasii-ah. Yakni bahwa orang yang mengambil kompensasi tunai berarti mengambil bunga dari orang yang memberikan kompensasi tertunda. Itu menunjukkan bahwa pembayaran segera itu lebih baik daripada yang tertunda, meskipun keduanya sama dalam segala hal, kecuali waktu penyerahan saja.

2. Emas bisa ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan jewawut, namun dengan syarat harus sama dan serah terima dilakukan secara langsung. Meski dibolehkan untuk tidak sama berat dan takarannya.

Kedua barang transaktif itu boleh berbeda karena keduanya tidak satu jenis, namun tetap tidak boleh dilakukan pengambilan keuntungan karena selisih waktu penyerahan, karena hal ini bisa menyerupai pinjaman berbunga. Karena seseorang bisa saja meminjamkan kepada orang lain beberapa dinar emas lalu meminta dikembalikan dalam bentuk dirham perak, sehingga ia bisa mendapatkan selisih keuntungan karena kedua barang tersebut berbeda, dan keuntungan kedua karena perbedaan waktu penyerahan. Itu pada hakikatnya mirip dengan pinjaman berbunga yang dilarang saat transaksi menggunakan sejenis alat tukar, dan saat pembayaran menggunakan jenis alat tukar lain.

Dari beberapa hadits yang memperbolehkan jual beli dengan pembayaran tertunda dan sebaliknya juga jual beli as-Salam (dengan penyerahan barang tertunda), bisa kita menyimpulkan:

3. Bahwa apabila emas ditukar dengan gandum atau perak ditukar dengan jewawut, boleh tidak sama ukuran atau beratnya dan boleh juga dengan pembayaran tertunda.

Demikianlah yang bisa kita cermati, bahwa riba fadhal dan riba nasii-ah diharamkan dalam jenis tukar menukar pertama (...emas ditukar dengan emas...), sementara riba nasii-ah diharamkan dalam jenis transaksi kedua (...emas ditukar dengan perak...).

Adapun dalam jenis transaksi ketiga (...emas ditukar dengan gandum...), masing-masing dari kedua jenis riba (secara bahasa) itu tidak ada yang diharamkan, riba fadhal ataupun riba nasii-ah. Perbedaab harga diperbolehkan dalam jenis transaksi ini, karena dua jenis barang transaksitifnya berbeda, sehingga juga diperbolehkan perbedaan harga karena perbedaan waktu pembayaran, yakni penundaan waktu pembayaran, yaitu yang disebut nasaa. Kalau kelebihan pembayaran tidak diperbolehkan karena penundaan pembayaran, maka penundaan pembayaran itupun tidaklah diperbolehkan.

Tidakkah kita ingat ucapan az-Zaila'ie dalam Tabyienul Haqaaiq 4:78: "Sesungguhnya pembayaran tertunda lebih kecil nilainya dibandingkan dengan pembayaran tunai. Oleh sebab itu, ajaran syari'at mengharamkan penambahan harga pada penundaan pembayaran, atau yang disebut nasaa, pada berbagai komoditi riba." Yang dimaksud adalah penukaran emas dengan emas, gandum dengan gandum, dan yang lainnya. Karena penundaan pembayaran menurut pandangan kami, dapat merusak kesetaraan dua barang transaktif yang dibarter. Dengan ditambahnya harga karena penundaan tersebut, nilai kedua barang tersebut bisa kembali sama.

Oleh sebab itu, apabila gandum ditukar dengan emas dengan pembayaran tertunda atau dengan dicicil, boleh saja menambah jumlah harga berjangka itu atau harga barang yang dikredit tersebut dari harga kontan. Yaitu untuk mewujudkan kesetaraan harga dalam barter tersebut. (47)

===

(45) Dikeluarkan oleh Muslim dari Ubadah bin ash-Shamit (ra-dhiyallaahu 'anhu) dalam kitab al-Musaaqat no. 1587 dan at-Tirmidzi dalam kitab al-Buyu' no. 1240, an-Nasa-i dalam kitab al-Buyu' no. 4560, 4561, 4562, 4563, 4564. Serta Abu Dawud dalam kitab al-Buyu' no. 3349, Ibnu Majah kitab at-Tijarah no. 2254, dan Ahmad no. 22175, 22220, juga oleh ad-Darimi dalam kitab al-Buyu' no. 2579.

Dikeluarkan juga oleh al-Bukhari secara ringkas daari hadits Abu Bakrah (ra-dhiyallaahu 'anhu) dalam kitab al-Buyu' dengan nomor 2175, 2182, dari hadits Abu Sa'id (ra-dhiyallaahu 'anhu) dalam kitab al-Buyu' dengan nomor 2176, 2177, 2179, serta dari hadits 'Umar bin al-Khaththab (ra-dhiyallaahu 'anhu) dalam kitab al-Buyu' dengan nomor 2134, 2170, 2174.

(46) Dalam hal ini penulis menganggap bahwa riba itu ada dua: Riba haram dan riba halal. Pendapat seperti ini memang dinukil dari sebagian ulama as-Salaf seperti Ibnu 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma). Beliau pernah menyatakan: "Ada dua bentuk riba, yang satunya halal dan yang lain haram. Adapun riba yang halal yaitu yang dihadiahkan dan untuk mencari yang lebih utama." (Al-Qurthubi 14:25)

Penulis berkata: "Dengan dasar itu, mereka mengkategorikan hadiah pahala sebagai riba yang halal. Akan tetapi pendapat yang diriwayatkan dari sebagian as-Salaf menurut kami bisa saja mengandung banyak arti lain. Pendapat yang agak liberal ini perlu diteliti ulang. Karena meskipun pendapat ini dinukil dari sebagian ahli Fiqih, akan tetapi jelas-jelas bertentangan dengan pengertian lahir dari firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "...dan Allah haramkan riba...", dimana keharamannya meliputi semua bentuk-bentuk riba. Demikian juga sebagian orang-orang yang lemah iman dan nekat memberikan fatwa serta hukum sebagai jalan untuk menghalalkan riba yang jelas haram. Di samping itu, jenis transaksi ini termasuk jual beli yang dihalalkan, bukan riba. Wallaahu a'lam.

(47) Ba'i at-Taqsieth oleh al-Mishry hal. 49-51.

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: Bai'ut Taqsiith Ahkaamuhu wa Adaabuh, Penulis: Syaikh Hisyam bin Muhammad -hafizhahullaah- Sa'id Aali Barghasy, Sambutan: Syaikh 'Abdullah bin 'Abdirrahman al-Jibrin, Tanpa keterangan penerbit, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun, Judul terjemah: Hukum Jual Beli Secara Kredit, Penerjemah: Abu Umar al-Maidani, Penerbit: At-Tibyan, Solo - Indonesia, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog