Skip to main content

Kiai Meruqyah jin Berakting: Kesurupan: Kapan jin Masuk?

Kiai Meruqyah jin Berakting

Kesurupan

Kapan jin Masuk?

Bila anda melihat si A sedang mengobati si B lalu dia berkata bahwa B kemasukan jin, boleh jadi perkataannya sesuai dengan kenyataan, namun boleh jadi juga tidak. Bila ternyata tidak, maka yang kemasukan jin sebenarnya adalah si A. Bukan hanya kemasukan, bahkan sudah dikuasai. Sebab setan telah berbisik dan menyuruhnya untuk mengatakan kepada orang lain sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dengan berita dari si A, manusia di sekelilingnya sibuk mengurus si B karena percaya kepada berita tadi. Setan pun memanfaatkan kepercayaan tersebut dan masuk ke tubuh si B sehingga dapat mengatur si A untuk melakukan berbagai hal. Akhirnya si A dijadikan sebagai pemain yang diarahkan setan, sementara si B menjadi sarana permainan. Keduanya diatur oleh setan. Dengan menggunakan kedua orang ini setan telah sering berhasil menggoda dan menipu khalayak ramai.

Jadi, kapan jin dapat masuk ke dalam manusia dan dalam keadaan bagaimana manusia dapat dimasuki jin? Untuk menemukan jawabannya, mari kita perhatikan hadits di bawah ini:

Dari Shafiyyah binti Huyay (ra-dhiyallaahu 'anha), isteri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, bahwa dia datang menghadap kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk mengunjungi beliau sedang beri'tikaf di masjid pada sepuluh hari akhir bulan Ramadhan. Dia berbincang-bincang dengan beliau (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) pada satu saat di waktu 'Isya. Kemudian Shafiyyah berdiri untuk kembali, maka Rasul (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) pun berdiri bersamanya dan mengantarnya hingga sampai di pintu masjid yang dekat rumah Ummu Salamah (ra-dhiyallaahu 'anha), isteri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Maka lewatlah di depan mereka dua orang Anshar, keduanya mengucap salam kepada Nabi (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) dan isterinya lalu melanjutkan langkah. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Hati-hatilah kalian, dia adalah Shafiyyah puteri Huyay." Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, aduh Subhanallah." Hal itu sangat mengagumkan mereka, maka Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) bersabda, "Sesungguhnya setan berjalan pada putera Adam sejalan dengan perjalanan darahnya, dan aku khawatir dia melontarkan sesuatu pada hati kalian." (HR. Al-Bukhari) (1)

Pelajaran dari hadits:

1. Manusia setingkat shahabat pun memerlukan peringatan tentang bahayanya tipu daya setan. Hal ini memberi arti bahwa tingkatan kita, sebanyak apapun amal ibadah kita, tetap harus waspada akan datangnya tipu daya setan yang ghaib itu. Tidak layak bagi seseorang mengaku bahwa dirinya dapat mengusir setan. Tidak mustahil ketika seseorang mengaku jauh dari setan, justru dirinya sedang dibimbing setan untuk berkata seperti itu. Orang seperti itu merasa dirinya bersih, padahal orang yang merasa diri bersih membuktikan kesombongan, dan tiada yang sombong kecuali mendapat dukungan dari setan.

2. Ungkapan tasbih yang keluar dari lisan shahabat ternyata tidak menjamin mereka jauh dari setan atau dapat mengusir setan. Terbukti setelah mereka membaca tasbih, Rasulullah (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) tetap mengingatkan mereka agar tidak terganggu setan. Dari sini dapat kita ambil pelajaran bahwa pembacaan tasbih, isti'adzah, ayat kursi dan lainnya yang berlangsung sekarang dengan tujuan untuk mengusir setan tidak mustahil malah dapat menghadirkan setan dengan cara lain melalui pintu lain.(*) Karena itu, di samping pentingnya membaca do'a yang diajarkan al-Qur-an dan Rasul (dalam as-Sunnah), juga tidak kalah pentingnya menanamkan keyakinan yang benar yang membuat setan lemah menghadapinya.

3. Dalam perjalanannya, darah memasuki seluruh pelosok tubuh manusia. Dengan demikian peredaran darah memang merupakan salah satu pintu masuknya setan ke tubuh manusia.

4. Darah manusia mengalir sejak manusia lahir. Demikianlah setan memang membuntuti manusia sejak manusia itu ada. Karena itu berhati-hatilah mengatakan bahwa seseorang sedang kemasukan setan, jangan sampai setan justru masuk ke dalam hati kita yang mengatakannya dengan cara lain yang tidak terlihat.

Berlandaskan hadits di atas, kita dituntut untuk selalu lebih berhati-hati dalam menyikapi praktik dan makar setan. Bila seorang yang dikenal sebagai orang pintar atau ahli jin berkata bahwa seseorang kemasukan jin, boleh jadi apa yang dikatakannya benar, namun tidak mustahil juga dia sendiri pun justru sedang mendapat bimbingan dan bisikan dari setan. Karena dia mengatakan dan meyakinkan orang lain dengan sesuatu yang dia tidak tahu pasti karena ia sendiri tidak mampu melihat jin. Karena itu bagaimana dia dapat mengetahui bahwa orang yang sakit tersebut kemasukan jin padahal orang lain tidak mengetahuinya.

Tak seorang pun dapat membuktikan adanya jin pada diri seseorang kalau tidak diberitahu oleh jin atau setan itu sendiri. Mungkin sang ahli berdalih bahwa dia mengetahui berdasarkan tanda-tandanya. Baiklah, mudah-mudahan apa yang dikatakannya tepat, namun akan muncul pertanyaan lain: Darimana anda tahu bahwa yang anda lihat itu adalah tanda-tanda adanya jin. Apakah al-Qur-an menerangkannya atau adakah hadits mutawatir yang menjelaskannya. Kalau bukan dari al-Qur-an dan bukan pula dari hadits dan dianggap tidak tergoda setan, apakah mungkin dia mendapat berita dari Malaikat, padahal Malaikat tidak akan berbuat sesuatu kecuali ada perintah dari Allah.

"Mereka tidak pernah maksiat kepada Allah dan mereka selalu melakukan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim: 6)

Mungkin ada kita yang mengatakan bahwa ilmu Allah sangat luas dan Dia Mahakuasa memberi ilmu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Pernyataan ini tidak diragukan dan harus diyakini kebenarannya oleh setiap muslim. Namun untuk mengetahui masalah ghaib sangat memerlukan dalil syar'i yang dapat dijadikan sebagai pegangan. Bila tidak melalui dalil syar'i dan diberitakan bahwa Allah secara langsung memilih sebagian hamba-Nya untuk mengemban amanah urusan jin, mengapa hal ini baru terjadi pada zaman setelah Rasul (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) tiada dan tidak terdengar pada zaman Rasul (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) bahwa ada sebagian shahabat yang ahli di bidang ini? Padahal pada zaman Rasul (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) pun ilmu tersebut tentu sangat diperlukan bila memang ilmu tidak merugikan ajaran yang haq.

===

(1) HR. Al-Bukhari - Adabul Mufrad 1/438/1288, Muslim - Shahih 4/1712/2174, al-Bukhari - Shahih 2/716/1930, 2/1195/3107, Ibnu Hibban - Shahih 8/429/3671, Ibnu Khuzaimah - Shahih 3/349/2233, Ibnu Majah - Sunan 1/566/1779, Abu Dawud - Sunan 2/333/2470, Ahmad - Musnad 3/156/12614, ath-Thabrani - Mu'jam al-Kabir 24/72/189, an-Nasa-i - Sunan al-Kubra 2/263/3356, ath-Thabrani - Musnad asy-Syamiyyin 4/162/3004, al-Baihaqi - Sunan al-Kubra 4/324/8388, Abdu bin Hamid - Musnad 1/449/1556, Ibnu Abi Syaibah - Mushnaf 4/360/8065, ad-Darimi - Sunan 2/44/1780.

(*) Aku (Abu Sahla) berkata: Maksud penulis adalah Dzat yang dapat mengusir setan dari manusia adalah Allah, dan Dia juga yang mampu melindungi manusia dari gangguan setan. Manusia tidak dapat mengusir setan dari dirinya dan dari manusia lainnya, dan tidak dapat melindungi dirinya dan melindungi manusia lain dari gangguan setan.

Allah yang Maha menyembuhkan penyakit pada manusia. Manusia tidak dapat menyembuhkan dirinya dan manusia lainnya. Oleh sebab itu, pembacaan ayat al-Qur-an dan atau do'a-do'a ruqyah adalah sebagai tawassul (perantara) agar Allah mengijabah do'a kita dan menolong kita yakni menyembuhkan orang yang sakit.

===

Maraji'/ sumber:
Buku: Kiai Meruqyah Jin Berakting, Penulis: K.H. Saiful Islam Mubarak Lc. M.Ag, Editor: Eko Wardhana, Penerbit: PT. Syaamil Cipta Media, Bandung - Indonesia, Cetakan Februari 2004 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT