Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Shalat
Pakaian untuk Shalat (4)
Jadi, yang boleh lihat oleh para pria ajnabiy tinggallah pakaian yang tampak saja. Dengan demikian, Ibnu Mas'ud (ra-dhiyallaahu 'anhu) menyebutkan hukum yang final sedangkan Ibnu 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma) menyebutkan hukum pertama. (13)
Karena itu, firman Allah:
"...atau kepada wanita-wanita Islam atau kepada budak-budak mereka..."
Menunjukkan bahwa seorang wanita muslimah diperbolehkan memperlihatkan perhiasan bathinah (yang tertutup) kepada budaknya. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat:
Yang pertama: Yang dimaksud adalah budak-budak wanita atau budak-budak wanita dari kalangan ahli Kitab, sebagaimana yang telah dikatakan Ibnul Musayyib dan dikuatkan oleh Ahmad dan ulama-ulama lainnya rahimahumullaah.
Yang kedua: Yang dimaksudkan adalah budak laki-laki, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma) dan ulama-ulama lainnya. Ini juga merupakan pendapat Imam asy-Syafi'i dan ulama-ulama lainnya rahimahumullaah, serta merupakan pendapat Imam Ahmad (rahimahullaah) dari riwayat yang lain. Pendapat ini mengandung konsekuensi diperbolehkannya seorang budak laki-laki melihat majikan-majikan wanita mereka.
===
(13) Demikian menurut penulis rahimahullaah Ta'ala. Maksud beliau bahwa ketika Ibnu Mas'ud (ra-dhiyallaahu 'anhu) menyebutkan bahwa penafsiran perhiasan yang tampak adalah pakaian, sebagaimana belum lama disebutkan, yang beliau sebutkan tidak lain hukum yang baku, sedangkan ketika Ibnu 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma) menyebutkan bahwa penafsirannya adalah wajah dan kedua telapak tangan, tidak lain yang disebutkannya itu hukum sebelumnya. Tetapi ini mustahil, karena kedua shahabat mulia ini mengeluarkan pernyataannya berkenaan dengan penafsiran ayat yang telah disebutkan, "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak darinya," dan ayat ini menunjukkan hukum syar'i terakhir mengenai masalah ini. Jadi, dalam masalah ini kedua shahabat ini berselisih pendapat. Bagaimana bisa dikatakan bahwa perkataan Ibnu Mas'ud merupakan hukum terakhir sedangkan perkataan Ibnu 'Abbas adalah hukum pertama. Karena itu, sebagian salaf memadukan kedua pendapat tersebut. Ibnu Jarir (rahimahullaah) berkata dalam tafsirnya 18/94, setelah menyebutkan kedua pendapat di atas dengan sanad masing-masing, "Ada shahabat lain yang berpendapat bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah wajah dan pakaian."
Kemudian dia meriwayatkan dengan dua sanadnya yang shahih, dari al-Hasan al-Bashri bahwasanya ia berkata mengenai penafsiran ayat, "Kecuali yang biasa tampak darinya," katanya: "Wajah dan pakaian."
Kemudian, Ibnu Jarir memilih bahwa penafsiran yang tepat adalah wajah dan dua telapak tangan. Kebenaran pendapat ini masih bisa diperdebatkan pula berdasarkan Uslub Qur-ani pada ayat itu, sebagaimana telah aku jelaskan dalam al-Hijab. Namun, aku menyetujui pendapat yang dipilihnya ini, dipandang dari aspek fikih. Lihatlah bukuku tersebut pada hal. 17-24.
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: Hijabul Mar'ah wa Libasuha fish Shalah, Penulis: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah, Pentahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, Judul terjemahan: Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Shalat, Penerjemah: Hawin Murtadho, Editor: Muslim al-Atsari, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan kedua, Mei 2000.
===
Buku ini hadiah dari al-Akh Khaerun -semoga Allah menjaganya dan mempertemukan kembali kami di dunia ini dan mengumpulkan kami di akhirat kelak dalam Surga- untuk perpustakaan Baitul Kahfi.
===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT