Skip to main content

Shahih Fiqih Sunnah: Khitan

Shahih Fiqih Sunnah

Jilid 1

Kitab Thaharah

Sunan al-Fithrah

Khitan

Makna dan Hukumnya

Khitan adalah masdar dari khatana, yaitu memotong. Khitan ialah memotong kulit yang menutupi kemaluan laki-laki dan memotong kulit yang ada di sebelah atas kemaluan perempuan. (164)

Mengenai hukum khitan, 'ulama memiliki tiga pendapat:

1. Wajib atas pria dan wanita.

2. Dianjurkan bagi keduanya.

3. Wajib bagi pria, dan dianjurkan bagi wanita.

Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata dalam al-Mughni 1/85, "Berkhitan diwajibkan bagi kaum pria, dan merupakan kehormatan (dianjurkan) bagi kaum wanita, bukan diwajibkan. Ini pendapat mayoritas 'ulama."

An-Nawawi rahimahullaah berkata dalam al-Majmu' 1/301, "Madzhab yang shahih yang telah dinashkan oleh asy-Syafi'i dan telah diputuskan oleh jumhur 'ulama bahwa khitan itu wajib atas pria dan wanita."

Penulis berkata: Adapun khitan bagi anak laki-laki, secara zhahirnya hukumnya wajib, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Karena khitan adalah millah (ajaran) Ibrahim 'alaihis salaam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Nabi Ibrahim Khalil ar-Rahman (kekasih Yang Maha Pemurah) berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun." (165)

Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman kepada Nabi-Nya:

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), 'Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif." (QS. An-Nahl: 123)

2. Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepada seseorang yang baru masuk Islam:

"Buanglah darimu bulu-bulu kekafiran dan berkhitanlah." (166)

3. Khitan merupakan syi'ar kaum Muslimin dan yang membedakan mereka dari kaum yahudi dan nashrani. Karena itu, khitan hukumnya wajib seperti syi'ar-syi'ar Islam lainnya.

4. Khitan adalah memotong sesuatu dari badan -padahal memotong sesuatu dari badan adalah haram- dan sesuatu yang haram tidak diperbolehkan kecuali dengan sesuatu yang wajib. Ini adalah madzhab Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad. Bahkan dalam hal ini Malik bersikap sangat keras, sampai-sampai ia mengatakan, "Barangsiapa yang tidak berkhitan, maka ia tidak boleh menjadi imam dan tidak diterima syahadatnya." Banyak ahli fiqih menukil dari Malik, berkhitan adalah sunnah. Namun, menurutnya, meninggalkan sunnah itu dosa. (167)

Adapun bagi perempuan, disyari'atkan juga berkhitan. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Jika dua khitan bertemu, maka wajib mandi." (168)

Dua khitan, yaitu kulit yang dipotong dari kemaluan anak laki-laki dan kemaluan anak perempuan. Di dalamnya terdapat penjelasan bahwa anak perempuan juga berkhitan.

Terdapat hadits-hadits yang mensinyalir tentang wajibnya berkhitan bagi anak perempuan, namun kesemuanya tidak terlepas dari permasalahan. Di antaranya adalah hadits Ummu 'Athiyah (ra-dhiyallaahu 'anha), ada seorang perempuan yang biasa mengkhitan di Madinah, maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya:

"Janganlah habiskan, karena hal itu sangatlah berharga bagi wanita dan sangat disukai oleh suami." (169)

Dalam riwayat lain:

"Jika engkau ingin memotongnya, potonglah sedikit tapi jangan dihabiskan. Karena hal itu lebih menceriakan wajah dan lebih menyenangkan suami." (170)

Akan tetapi hadits-hadits ini sanadnya dha'if, walaupun al-'Allamah al-Albani (rahimahullaah) menshahihkannya dalam as-Silsilah ash-Shahihah 722.

Jika demikian halnya, maka boleh dikatakan bahwa berkhitan itu wajib atas wanita -walaupun hadits-haditsnya dha'if- seperti halnya laki-laki. Karena pada asalnya laki-laki dan perempuan memiliki persamaan dalam hukum, kecuali ada dalil yang membedakannya. Namun, tidak ada dalil yang membedakannya di sini.

Namun, ada yang berpendapat lain bahwa berkhitan itu dianjurkan bagi wanita, bukan suatu kewajiban. Aspek perbedaan (171) antara laki-laki dan perempuan, khitan bagi kaum laki-laki memiliki maslahat yang berhubungan dengan salah satu syarat sah shalat, yaitu thaharah (suci). Apabila kulit itu masih tersisa, maka air seni akan terkumpul padanya.

Adapun berkenaan dengan kaum wanita, faidah yang dapat diambil adalah untuk mengurangi syahwatnya. Ini untuk mengejar keutamaan dan bukan untuk menghilangkan kotoran.

Penulis berkata: Khitan bagi kaum wanita hukumnya antara istihbab (sunnah) dan wajib. Disebutkan dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:

"Khitan itu sunnah bagi kaum laki-laki, dan kehormatan bagi kaum wanita." (172)

Namun sanadnya dha'if. Seandainya shahih, maka akan menjadi kata pemutus dalam perselisihan ini. Wallaahu a'lam.

===

(164) Tuhfah al-Maudud, Ibnu al-Qayyim hal. 106, 132, dan al-Majmu' 1/301.

(165) Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari 6298, dan Muslim 370.

(166) Dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani (rahimahullaah) dengan syawahid (pendukung)nya, diriwayatkan oleh Abu Dawud 356, dan al-Baihaqi 1/172. Dalam sanadnya terdapat dua perawi yang majhul (tidak dikenal) dan sanadnya terputus. Namun Syaikh al-Albanu menyatakan hasan dengan adanya riwayat yang menguatkannya yang beliau nisbatkan kepada Shahih Abi Dawud 383 dan dalam al-Irwa' 79, tapi penulis belum menemukannya. Hadits ini dinyatakan dha'if oleh an-Nawawi dan asy-Syaukani.

(167) Tuhfah al-Maudud hal. 113.

(168) Shahih, diriwayatkan oleh dengan lafal ini dari Ibnu Majah 611, dan dalam Shahihain dengan lafal: "Pertemuan antara khitan dengan khitan yang lain, maka wajib mandi."

(169) Dha'if, diriwayatkan oleh Abu Dawud 5271 dan didha'ifkannya.

(170) Munkar, diriwayatkan oleh al-Khatib dalam at-Tarikh 5/327. Lihat Jami' Ahkam an-Nisa' 1/19.

(171) Perbedaan ini disebutkan oleh al-'Allamah Ibnu al-'Utsaimin rahimahullaah dalam al-Mumti 1/134.

(172) Dha'if, diriwayatkan oleh Ahmad 5/75.

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: Shahih Fiqh as-Sunnah, wa adillatuhu wa taudhih madzahib al-a'immah, Penulis: Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Ta'liq: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahumullaah, Penerbit: Maktabah at-Taufiqiyah, Kairo - Mesir, tanpa keterangan cetakan, Tahun 1424 H/ 2003 M, Judul terjemah: Shahih Fiqih Sunnah Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka at-Tazkia, Jakarta, Cetakan IV, Syawwal 1430 H/ September 2009 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog