Jual Beli Secara Kredit: Dalil-dalil dari as-Sunnah yang Menunjukkan Dibolehkannya Memberikan Tambahan Harga Karena Penundaan Pembayaran atau Karena Penyicilan
Hukum dan Kode Etiknya Menurut Syari'at Islam
Pembahasan Kedua:
Hukum Jual Beli Kredit
Kedua:
Dalil-dalil yang Menunjukkan Dibolehkannya Memberikan Tambahan Harga Karena Penundaan Pembayaran atau Karena Penyicilan:
B. Dalil dari As-Sunnah:
1. Diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma bahwa saat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan mengusir bani Nadhir, datanglah beberapa orang sambil berkata, "Wahai Nabi Allah! Engkau mengusir kami, sementara masih banyak orang yang berhutang kepada kami dan belum terbayar?" Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
"Turunkan jumlah hutang itu, dan suruh bayar dengan segera." (39)
Mengurangi jumlah hutang dan memutihkan sisanya karena untuk mempercepat waktu pembayaran dibolehkan menurut as-Sunnah (di atas). Maka menambah jumlah hutang karena penundaan waktu pembayaran hukumnya juga sama.
Doktor Rafiq al-Mishri menegaskan: "Tampaknya hutang-hutang masyarakat Islam kala itu kepada bani Nadhir adalah bentuk hutang yang tertentu waktu pembayarannya, sehingga karena penundaan waktu pembayarannya jumlahnya bisa bertambah. Sehingga mereka harus menanti waktu pembayaran sehingga dapat memperoleh uang mereka secara utuh, yakni dengan nilai yang paling tinggi. Bisa juga mereka mengambilnya lebih cepat, namun hanya mendapatkan nilai saat itu setelah dipotong pengurangan waktu pembayaran, dengan mengikuti standar pertambahan jumlah hutang bila dibayar tertunda.
Mengurangi jumlah pembayaran hutang karena pembayaran yang disegerakan, sama dengan penambahan jumlahnya bila pembayarannya ditunda. Masing-masing memang masih kontroversial di kalangan ulama. Hanya saja bentuk kedua telah disahkan oleh mayoritas ahli Fiqih, sementara bentuk pertama justru dilarang oleh mayoritas ahli Fiqih. Yang memperbolehkan hanya sebagian kecil di antara mereka saja. Di antaranya adalah Ibnu 'Abbas dan Zaid bin Tsabit ra-dhiyallaahu 'anhum, dari kalangan Shahabat, serta Zufar, dari kalangan ahli Fiqih Mesir, dan Ibrahim an-Nakha'ie, Thawus, az-Zuhri dan Abu Tsaur. Dari Imam Ahmad disebutkan juga dua riwayat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim memilih pendapat yang memperbolehkannya. Begitu juga pendapat dari Imam asy-Syafi'i. (40)
Fatwa yang memperbolehkannya juga dinukil dari Ibnu Abidin. Ia menyatakan: "Orang-orang yang berhutang boleh membayar hutangnya sebelum waktu yang ditentukan, atau bila ia meninggal dunia maka hutangnya dialihkan, bisa diambil dari harta warisannya, tidak boleh mengambil kelebihan keuntungan dari penundaan pembayaran transaksi jual beli dari waktu yang mereka sepakati, kecuali sebatas keterlambatannya saja (yang ditentukan di awal transaksi, dan tidak bisa bertambah lagi, kalau kontan sekian dan kalau secara berjangka sekian, -pent)." Itulah jawaban para ulama kontemporer. Itu mengindikasikan bahwa apabila hutang itu ditentukan waktu pembayarannya, lalu orang yang berhutang hendak membayarnya sebelum waktunya, pihak pemberi hutang harus dipaksa menerimanya, seperti disebutkan dalam al-Khaniyyah. Arti ucapan beliau: 'tidak boleh mengambil kelebihan keuntungan dari penundaan pembayaran transaksi jual beli', bentuknya adalah sebagai berikut: Seseorang membeli sesuatu seharga sepuluh dinar kontan, lalu ia menjualnya lagi kepada orang lain seharga dua puluh dinar dengan pembayaran tertunda, yakni selama sepuluh bulan. Kalau ia mampu membayarnya dalam lima bulan atau meninggal dunia sebelum itu, maka cukup diambil pembayaran lima bulan saja, sisanya dibiarkan hingga lima bulan lagi.
Beliau melanjutkan: "Alasannya adalah untuk bersikap santun terhadap sesama. Sementara al-Hanuti memberi alasan, agar tidak sama dengan syubhat riba, karena bila dikaitkan dengan riba, sifatnya adalah lampiran dari riba sebenarnya. Itu bisa diarahkan sebagai berikut: Keuntungan tersebut diambil dari pertambahan waktu. Pertambahan waktu memang bukan harta dan tidak bisa dikompensasikan dengan harta. Akan tetapi dalam jual beli murabahah mereka menganggapnya sebagai harta. Yakni saat mereka membicarakan penundaan pembayaran yang berkonsekuensi bertambahnya harga. Kalau pembayarannya diterima sebelum waktunya, pembayaran itu harus diambil tanpa kompensasi. Wallaahu Ta'ala a'lam." (41)
2. Riwayat 'Abdullah bin 'Amru bin al-Ash (ra-dhiyallaahu 'anhu) bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memerintahkannya mempersiapkan bala tentara. Namun beliau kehabisan unta. Ia menukar satu ekor unta jantan dengan dua ekor unta lain, di antara unta-unta sedekah yang ada. (42)
Hadits itu mengindikasikan diperbolehkan menambah harga dari harga kontan saat pembayaraan tertunda.
3. Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma) secara marfu' bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa yang meminjamkan sesuatu, hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran yang jelas dan dalam timbangan yang jelas." (43)
Indikasi dalam hadits ini adalah bahwa jual beli dengan pembayaran tertunda atau dengan kredit adalah kebalikan dari bentuk jual beli as-Salam, akan tetapi satu jenis. Karena dalam kasus kedua jual beli itu, pembayarannya tidak sama dengan barang dagangan. Dalam jual beli as-Salam, pembeli memberikan uang muka terlebih dahulu kepada penjual sebagai tanda terjadinya transaksi, kemudian barang akan diterima di lain waktu yang telah ditentukan. Karena pada umumnya, uang muka yang diserahkan lebih kecil jumlahnya dari harga barang yang akan diterima. Sementara pembayaran yang diserahkan secara tertunda atau total jumlah cicilan kredit justru lebih besar dari harga barang yang dijual. Dengan demikian, jual beli kredit adalah lawan dari jual beli as-Salam.
Contohnya, kalau total harga satu takaran gandum adalah dua dirham, syari'at memperbolehkan seseorang meminjamkan dua dirham untuk dikembalikan dalam bentuk dua takaran gandum beberapa waktu kemudian. Atau meminjamkan dua takaran secara langsung dan dibayar dengan dua atau tiga dirham di waktu mendatang. (44)
===
(39) Dikeluarkan oleh ad-Daruquthni (3:46), namun dalam sanadnya terdapat seorang perawi bernama Muslim bin Khalid, dan beliau berkata: Muslim bin Khalid dapat dipercaya, akan tetapi hafalannya jelek dan dalam hadits ini ia amat labil. Begitu juga dikeluarkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (2:52) dan dinyatakan shahih oleh beliau. Juga diriwayatkan oleh al-Haitsami dalam al-Majma' mengatakan: "Ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Ausath dan dalam sanadnya terdapat juga Muslim bin Khalid az-Zanji. Ia perawi lemah, namun ada juga yang menyatakan dia dapat dipercaya," (4:133).
(40) Ba'i at-Taqsith hal. 46.
(41) Al-Uqud ad-Durriyyah (1:278), Hasyiyah Ibn 'Abidin (5:160), (7:757). Dinukil dari Ba'i at-Taqsith oleh Doktor Rafiq al-Mishry hal. 47.
(42) Dikeluarkan oleh Ahmad no. 6557 dan Abu Dawud dalam kitab al-Buyu' no. 3357 dan Ad-Daruquthni (3:70) dan al-Hakim (2:56). Beliau berkomentar: "Shahih berdasarkan sistem periwayatan Muslim namun tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim", serta disetujui oleh adz-Dzahabi. Al-Hafizh dalam Fathul Bari berkomentar: "Sanadnya kuat", (4:489). Sementara az-Zaila'i dalam Nashbur Rayah menyatakan: "Ibnul Qaththan berkata dalam kitabnya: 'Hadits ini dha'if, sanadnya saling berlawanan.'" Hadits ini dinyatakan lemah oleh al-Albani dalam Dha'if Sunan Abi Dawud hal. 337 hadits no. 728. Ahmad Syakir berkata dalam Takhrij Musnad: "Sanadnya shahih." Beliau membantah mereka yang menyatakan lemah hadits ini dalam sebuah ulasan yang apik. Silakan merujuknya dalam al-Musnad 2:171 (hadits 6593 (10:97)).
(43) Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam kitab as-Salam no. 2241, 2253, dan lafazh beliau, oleh Muslim kitab al-Musaqat no. 1604, dan at-Tirmidzi dalam kitab al-Buyu' no. 1311 serta an-Nasa-i dalam kitab al-Buyu' no. 4616 dan Abu Dawud dalam kitab al-Buyu' no. 3463 serta Ibnu Majah dalam kitab at-Tijarah no. 2280 dan Ahmad no. 1938, 2544, 3360, lalu ad-Darimi dalam kitab al-Buyu' no. 2583.
(44) Lihat ad-Diraasat asy-Syar'iyyah Liahammil Uqud al-Maaliyyah al-Mustahdahtsah hal. 430.
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: Bai'ut Taqsiith Ahkaamuhu wa Adaabuh, Penulis: Syaikh Hisyam bin Muhammad -hafizhahullaah- Sa'id Aali Barghasy, Sambutan: Syaikh 'Abdullah bin 'Abdirrahman al-Jibrin, Tanpa keterangan penerbit, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun, Judul terjemah: Hukum Jual Beli Secara Kredit, Penerjemah: Abu Umar al-Maidani, Penerbit: At-Tibyan, Solo - Indonesia, Tanpa keterangan cetakan, Tanpa keterangan tahun.
===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT