Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Shalat
Pakaian untuk Shalat (3)
Ketika beliau (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) memilih Shafiyah binti Huyay, pada masa perang Khaibar, para shahabat (ra-dhiyallaahu 'anhum) berkata, "Bila beliau (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) menghijabnya (11) berarti ia menjadi salah satu ummahatul mukminin. Jika tidak, berarti menjadi salah seorang budak beliau. Lalu beliau (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) menghijabnya." Karena itulah, Allah memerintahkan agar tidak ada yang meminta kepada isteri-isteri beliau, puteri-puteri beliau, dan isteri-isteri orang beriman agar mengulurkan jilbabnya.
Jilbab adalah mala'ah. Ibnu Mas'ud (ra-dhiyallaahu 'anhu) dan ulama yang lain menyebutnya dengan rida'. Masyarakat umum menyebutnya izar, yaitu semacam baju kurung besar yang menutup kepala dan seluruh badan wanita.
Ubaidah dan ulama lainnya rahimahumullaah menyebutkan bahwa jilbab itu adalah pakaian yang menutup anggota tubuh, mulai dari bagian atas kepala, sehingga hanya kedua matanya saja yang tampak. Ia sejenis dengan niqab (cadar).
Jadi, para wanita dahulu mengenakan niqab. Di dalam ash-Shahih disebutkan:
"Sesungguhnya wanita-wanita yang sedang melakukan ihram, tidak mengenakan niqab dan tidak mengenakan qaffazain (dua sarung tangan)."
Jika mereka disuruh mengenakan jilbab, agar tidak dikenal (12) artinya mereka diperintahkan menutup wajah atau menutup wajah dengan niqab, maka wajah dan kedua tangan itu termasuk perhiasan yang tidak boleh mereka perlihatkan kepada pria ajnabiy.
===
(11) Maksudnya menutupi wajahnya, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa jalur periwayatan. Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menutup wajah isteri-isterinya dengan hijab. Dan ini lebih utama, sebagaimana telah aku jelaskan dalam Hijab al-Mar'ah al-Muslimah hal. 50. Tidak demikian halnya budak-budak wanita beliau. Sebab, hadits tersebut menunjukkan bahwa beliau (Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) tidak menutup wajah mereka dengan hijab. Bukan berarti bahwa tidak menutup kepala dan leher dengan jilbab, atau minimal dengan khimar, merupakan sunnah bagi budak-budak wanita, sebagaimana telah aku jelaskan dalam buku tersebut hal. 44-45. Hadits tersebut muttafaq 'alaihi dan takhrijnya bisa engkau lihat pada hal. 46.
(12) Ayat tersebut menyatakan: "Yang demikian itu supaya lebih mudah dikenal." Jadi penafsiran dengan penambahan kata "laa" yang artinya "tidak" bertentangan dengan pernyataan asli ayat tersebut, sementara tidak ada alasan yang membenarkan penafsirannya. Karena tanpa penafsiran semacam itupun makna ayat tersebut telah benar. Dalam penafsirannya, Ibnu Katsir (rahimahullaah) berkata: "Bila mereka melakukan hal itu, niscaya bisalah diketahui bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka, bukan budak atau pelacur." Penafsiran semacam itu juga terdapat dalam Tafsir Ibnu Jarir. Jadi, ucapan beliau, "Artinya mereka diperintahkan untuk menutup wajah" merupakan pendapat yang tidak tepat alasannya, demikian pula pendapat beliau setelah itu. Memang, ada hadits shahih yang menunjukkan bahwa penggunaan niqab telah dikenal, tetapi tidak menunjukkan bahwa hukumnya wajib atau bahwa hal itu yang dimaksudkan dalam ayat tersebut.
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: Hijabul Mar'ah wa Libasuha fish Shalah, Penulis: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah, Pentahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, Judul terjemahan: Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Shalat, Penerjemah: Hawin Murtadho, Editor: Muslim al-Atsari, Penerbit: at-Tibyan, Solo - Indonesia, Cetakan kedua, Mei 2000.
===
Buku ini hadiah dari al-Akh Khaerun -semoga Allah menjaganya dan mempertemukan kembali kami di dunia ini dan mengumpulkan kami di akhirat kelak dalam Surga- untuk perpustakaan Baitul Kahfi.
===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT